
Dolar AS Sudah Rp 14.500, Pertumbuhan Ekonomi Harus Mengalah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 July 2018 09:46

Untuk memancing arus modal di sektor keuangan, cara yang lumayan ampuh adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Inilah yang mendasari Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sampai 100 basis poin dalam 3 bulan terakhir. Agar pasar keuangan Indonesia lebih atraktif dan berdaya saing sehingga investor (terutama asing) berkenan untuk datang.
Namun, menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa konsekuensi. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana di perbankan pun ikut terkerek ke atas.
Tanda-tanda ke sana sudah mulai terlihat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% untuk rupiah, 1,5% untuk valas, dan 8,75% untuk rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kenaikan ini ditempuh sebagai respons atas kenaikan suku bunga acuan.
Saat suku bunga simpanan naik, maka akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit. Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih ngos-ngosan.
Pada Mei 2018, BI menyebut pertumbuhan kredit berada di 10,3% year-on-year (YoY). Baru mencapai batas bawah target BI yaitu 10-12% untuk 2018.
Ketika kredit lesu, pertumbuhan ekonomi pun terancam. Dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengajukan kredit karena biaya bunga yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman yang sudah diambil juga bisa naik sehingga membuat beban usaha meningkat. Hasilnya adalah ekspansi sulit terwujud. Pertumbuhan investasi, yang menyumbang sekitar 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dipertaruhkan.
Tidak hanya dunia usaha, masyarakat pun akan gentar mengambil kredit baru. Bagi yang sudah punya cicilan, pembayarannya akan naik karena bunga bergerak ke atas. Akibatnya, konsumsi rumah tangga akan tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dari pembentukan PDB.
BI menyebut kenaikan suku bunga acuan sebagai jamu pahit. Kalau melihat potensi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, rasanya memang pahit. Namun jamu ini mau tidak mau dibutuhkan agar rupiah bisa kembali perkasa.
(aji/aji)
Namun, menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa konsekuensi. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana di perbankan pun ikut terkerek ke atas.
Tanda-tanda ke sana sudah mulai terlihat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% untuk rupiah, 1,5% untuk valas, dan 8,75% untuk rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kenaikan ini ditempuh sebagai respons atas kenaikan suku bunga acuan.
Pada Mei 2018, BI menyebut pertumbuhan kredit berada di 10,3% year-on-year (YoY). Baru mencapai batas bawah target BI yaitu 10-12% untuk 2018.
Ketika kredit lesu, pertumbuhan ekonomi pun terancam. Dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengajukan kredit karena biaya bunga yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman yang sudah diambil juga bisa naik sehingga membuat beban usaha meningkat. Hasilnya adalah ekspansi sulit terwujud. Pertumbuhan investasi, yang menyumbang sekitar 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dipertaruhkan.
Tidak hanya dunia usaha, masyarakat pun akan gentar mengambil kredit baru. Bagi yang sudah punya cicilan, pembayarannya akan naik karena bunga bergerak ke atas. Akibatnya, konsumsi rumah tangga akan tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dari pembentukan PDB.
BI menyebut kenaikan suku bunga acuan sebagai jamu pahit. Kalau melihat potensi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, rasanya memang pahit. Namun jamu ini mau tidak mau dibutuhkan agar rupiah bisa kembali perkasa.
(aji/aji)
Next Page
Impor Pun Perlu Dikurangi
Pages
Most Popular