
Riset DBS: PDB Melambat, Dolar AS Tembus Rp 14.600
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
11 July 2018 19:16

Jakarta,CNBC Indonesia - Perekonomian Indonesia sedang memasuki tahun yang berat. Riset dari Bank DBS memperkirakan, ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh di kisaran 5%, jauh lebih rendah dibandingkan 2017 yang mencapai 5,3%. Bahkan dalam riset tersebut, nilai tukar rupiah pun diproyeksi akan menembus Rp 14.600/US$.
Kondisi tersebut terjadi akibat kuatnya pengaruh negatif baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, kuatnya dampak kenaikan suku bunga acuan Di AS hingga 4 kali tahun ini membuat Bank Indonesia (BI) harus mengambil langkah antisipatif.
Saat ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 100 bps ke posisi 5,25%. "Kami memperkirakan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan 50 bps lagi hingga akhir tahun 2018" ujar Radhika Dao dan Tim Riset Bank DBS.
Dampak dari kenaikan ini diperkirakan berimbas kepada pertumbuhan inflasi. Proyeksi Bank DBS, inflasi Indonesia hanya tumbuh sekitar 3,6% secara Year-on-Year (YoY) di Akhir tahun. Angka tersebut jauh lebih rendah dari periode tahun 2017 yang tumbuh hingga 4%.
Ekspektasi perlambatan tersebut seiring dengan kemungkinan tingkat melambatnya tingkat konsumsi masyarakat.
Tingkat konsumsi diperkirakan hanya tumbuh sekitar 4,5-5%. Konsumsi yang melambat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Bank DBS pun memperkirakan, konsumsi bukan lagi menjadi lead bagi ekonomi Indonesia tahun ini.
Sektor investasi diperkirakan akan menjadi lead seiring pertumbuhannya yang diperkirakan mencapai 8% YoY hingga kuartal III-2018. Namun, aliran modal yang masih terbatas berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu cepat.
Dari sisi internal, proyeksi melebarnya defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 dapat memberi tekanan bagi perekonomian. BI sebelumnya telah memperkirakan defisit transaksi berjalan mencapai 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
DBS sendiri memproyeksi secara keseluruhan pada tahun 2018, defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2,4% dari PDB.
Besarnya defisit ini dipengaruhi oleh besarnya defisit impor minyak. Pada tahun ini, pemerintah mematok target harga minyak di Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) US$ 48/barel.
Saat ini harga minyak global khususnya jenis lightsweet yang menjadi indikator harga minyak Indonesia telah mencapai US$ 73/barel. Selisih hingga US$ 25 barel ini yang menyebabkan defisit transaksi berjalan pada tahun ini akan melebar.
Dengan memperhatikan dampak negatif dari faktor-faktor tersebut, memperkuat proyeksi bahwa ekonomi Indonesia cenderung melambat tahun ini. Di sisi lain, kondisi tersebut juga menyebabkan nilai tukar rupiah sulit meninggalkan posisi Rp 14.000/US$.
(dru) Next Article Ternyata, Faktor Ini yang Membuat Dolar AS Sangat Perkasa
Kondisi tersebut terjadi akibat kuatnya pengaruh negatif baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, kuatnya dampak kenaikan suku bunga acuan Di AS hingga 4 kali tahun ini membuat Bank Indonesia (BI) harus mengambil langkah antisipatif.
Dampak dari kenaikan ini diperkirakan berimbas kepada pertumbuhan inflasi. Proyeksi Bank DBS, inflasi Indonesia hanya tumbuh sekitar 3,6% secara Year-on-Year (YoY) di Akhir tahun. Angka tersebut jauh lebih rendah dari periode tahun 2017 yang tumbuh hingga 4%.
Ekspektasi perlambatan tersebut seiring dengan kemungkinan tingkat melambatnya tingkat konsumsi masyarakat.
Tingkat konsumsi diperkirakan hanya tumbuh sekitar 4,5-5%. Konsumsi yang melambat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Bank DBS pun memperkirakan, konsumsi bukan lagi menjadi lead bagi ekonomi Indonesia tahun ini.
Sektor investasi diperkirakan akan menjadi lead seiring pertumbuhannya yang diperkirakan mencapai 8% YoY hingga kuartal III-2018. Namun, aliran modal yang masih terbatas berdampak kepada pertumbuhan ekonomi yang tidak terlalu cepat.
Dari sisi internal, proyeksi melebarnya defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 dapat memberi tekanan bagi perekonomian. BI sebelumnya telah memperkirakan defisit transaksi berjalan mencapai 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
DBS sendiri memproyeksi secara keseluruhan pada tahun 2018, defisit transaksi berjalan berada di kisaran 2,4% dari PDB.
Besarnya defisit ini dipengaruhi oleh besarnya defisit impor minyak. Pada tahun ini, pemerintah mematok target harga minyak di Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) US$ 48/barel.
Saat ini harga minyak global khususnya jenis lightsweet yang menjadi indikator harga minyak Indonesia telah mencapai US$ 73/barel. Selisih hingga US$ 25 barel ini yang menyebabkan defisit transaksi berjalan pada tahun ini akan melebar.
Dengan memperhatikan dampak negatif dari faktor-faktor tersebut, memperkuat proyeksi bahwa ekonomi Indonesia cenderung melambat tahun ini. Di sisi lain, kondisi tersebut juga menyebabkan nilai tukar rupiah sulit meninggalkan posisi Rp 14.000/US$.
(dru) Next Article Ternyata, Faktor Ini yang Membuat Dolar AS Sangat Perkasa
Most Popular