Konsumsi Meningkat, Benarkah Ini Masa Suram Industri Semen?
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
11 July 2018 17:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham produsen semen dari awal tahun hingga perdagangan kemarin (year to date/YTD) mayoritas terkoreksi cukup dalam. Kelebihan pasokan (oversupply) menjadi sentimen negatif yang mempengaruhi investor melepas kepemilikan saham-saham semen.
Dimulai dari harga saham produsen semen terbesar di Indonesia, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang harganya tercatat mengalami koreksi hingga 24,24% YTD ke level harga Rp7.500/saham. Lalu saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) turun 37,13% YTD ke level harga Rp13.800/saham.
Saham PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) juga tercatat mengalami koreksi dalam pada periode yang sama hingga 11,84% YTD ke level harga Rp3.350/saham. Satu-satunya saham produsen semen yang mengalami kenaikan adalah saham PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) 10,18% ke level harga Rp920/saham.
(RHG/hps) Next Article Diobral Investor Asing, Reli Koreksi Saham SMGR Berlanjut
Dimulai dari harga saham produsen semen terbesar di Indonesia, PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang harganya tercatat mengalami koreksi hingga 24,24% YTD ke level harga Rp7.500/saham. Lalu saham PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) turun 37,13% YTD ke level harga Rp13.800/saham.
Saham PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) juga tercatat mengalami koreksi dalam pada periode yang sama hingga 11,84% YTD ke level harga Rp3.350/saham. Satu-satunya saham produsen semen yang mengalami kenaikan adalah saham PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) 10,18% ke level harga Rp920/saham.
Namun sekedar catatan, kenaikan harga saham SMCB lebih disebabkan oleh faktor rumor yang mengabarkan perusahaan ini akan diakuisi oleh salah satu perusahaan semen besar dari China. Kabar terkait akuisisi tersebut berhembus kencang dalam sepekan terakhir, yang mendorong harga saham SMCB naik sebanyak 75,24% dalam sepekan.
Lantas apa yang menyebabkan performa emiten semen begitu suram?
Merespon kebijakan Presiden Joko Widodo yang berfokus pada pembangunan infrastruktur, permintaan komoditas semen sebenarnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), permintaan semen domestik meningkat 7,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi 66,35 juta ton.
Bahkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2017), permintaan semen domestik meningkat hampir mencapai 63%. Tercatat, konsumsi semen domestik hanya sebesar 40,78 juta ton pada 2010.
Jika melihat data permintaan seperti itu, seharusnya industri semen sedang berada dalam masa kejayaannya. Sayangnya, ada data lain yang menegasikan data permintaan yang kuat itu. Jumlah kapasitas terpasang produksi semen di Indonesia hingga akhir tahun 2017 mencapai 107,4 juta ton atau tumbuh 19,73% YoY, lebih kencang dari konsumsi domestik
Pertumbuhan kapasitas produksi semen pada tahun lalu jauh lebih kencang dari pertumbuhan kapasitas tahun 2016 yang hanya sebesar 1,70% YoY. Alhasil, dengan total kebutuhan nasional yang hanya sebesar 66,35 juta ton pada 2017, kelebihan pasokan pun mencapai 41,05 juta ton. Volume oversuplai itu membengkak nyaris dua kali lipat dari surplus pasokan tahun 2016 sebesar 28,06 juta ton.
Tingkat utilisasi industri semen pun turun dari angka 68,7% pada 2016 ke 65% di 2017. Bagi emiten tentu ini menjadi tidak efisien, karena tetap harus mengeluarkan biaya operasional tapi, produksi yang dihasilkan tidak maksimal.
Selain itu, akibat pasokan yang berlebih, otomatis harga semen pun tertekan. Tercatat harga semen curah turun 4,56% secara tahunan menjadi Rp754.068/ton pada 2017. Sedangkan, harga semen kemasan juga terkoreksi 3,57% secara tahunan menjadi Rp860.158/ton. Ketika harga semen melemah, keuntungan perusahaan pun menjadi taruhannya.
Salah satu faktor yang mendukung kondisi oversuplai yang makin besar di tahun lalu adalah penerapan strategi predatory pricing yang diduga dilakukan oleh PT Conch Cement Indonesia. Menggunakan strategi ini, perusahaan yang dimiliki perusahaan semen terbesar di China bernama Anhui Conch Cement Company Ltd tersebut, rela menjual rugi produknya guna mendapatkan pangsa pasar.
Benar saja, hanya dalam waktu 4 tahun, Conch Cement berhasil meraup pangsa pasar tanah air sebesar 4,6% , atau menjadi nomor empat terbesar di Indonesia. Hebatnya lagi, Conch Cement langsung menyasar pasar Indonesia Timur, yang semula hanya dijangkau mayoritas oleh PT Semen Indonesia Tbk (melalui PT Semen Tonasa).
Di tengah kondisi oversuplai ini, Conch Cement malah dikabarkan akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi tersebut ditargetkan bisa dilakukan dengan membangun sejumlah pabrik di beberapa daerah.
Pada tahun 2017 saja Conch Cement memiliki kapasitas produksi sebesar 2,3 juta ton. Jika nantinya ada tambahan sebesar 22,7 juta ton (menjadi 25 juta ton), dan dengan asumsi bahwa permintaan dan kapasitas produsen lainnya adalah tetap, oversuplai semen di Indonesia akan meroket menjadi 63,75 juta ton.
Andalkan Kebangkitan Sektor Properti dan Ekspor
Hanya ada dua cara untuk mengatasi masalah oversuplai tersebut. Pertama, mengurangi produksi semen tanah air. Namun, di tengah tingkat utilitas yang rendah, justru kebijakan ini akan menambah kerugian produsen semen domestik.
Maka dari itu cara yang masuk akal adalah cara kedua, yakni meningkatkan permintaan semen. Industri semen harus banyak-banyak berharap sektor properti di tanah air bisa segera bangkit dan mengerek permintaan semen. Sektor properti memang terbilang jauh lebih penting dalam mendongkrak permintaan semen ketimbang sektor infrastruktur.
Pasalnya, penjualan semen kemasan/sak yang biasa digunakan untuk pembangunan hunian memberikan kontribusi sekitar 75% dari total penjualan semen. Sementara itu, semen curah yang biasa digunakan sebagai bahan baku proyek-proyek infrastruktur hanya berkontribusi sekitar 25%.
Berbicara mengenai properti, belum lama ini ada relaksasi dari Bank Indonesia (BI) yang salah satunya berupa pelonggaran ketentuan uang muka alias loan to value (LTV).
Untuk rumah tapak dengan luas di atas 70 meter persegi misalnya, pembeli pertama yang sebelumnya diwajibkan membayar uang muka senilai 10-15% kini dibebaskan dari kewajiban membayar uang muka (0%).
Walaupun sekilas terlihat positif bagi sektor properti, kenyataannya bisa berbeda di lapangan. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings belum lama ini mengungkapkan bank-bank besar akan berhati-hati dalam menawarkan uang muka kurang dari 15% karena mereka ingin tetap dapat melindungi kualitas asetnya. Ini artinya, belum tentu penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan melesat signifikan, terlepas dari pelonggaran LTV yang diberikan bank sentral.
Pemintaan KPR juga belum tentu akan naik secara signifikan. Pasalnya, bank-bank sudah mulai menaikkan bunga KPR, seiring dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 100bps pada tahun ini (dari 4,25% menjadi 5,25%).
Misalnya, menurut Secured Loan Division Head PT OCBC NISP Tbk Veronika Susanti, pihaknya sudah menyesuaikan suku bunga KPR sebesar 50bps. "Sudah kami sesuaikan, pricing (suku bunga) baru menjadi 7,5% fix (tetap )3 tahun dan 7,99% fix 5 tahun. Sebelumnya, pricing 7% fix 3 tahun dan 7,5% fix 5 tahun," terangnya kepada CNBC Indonesia, Senin (9/7/2018).
Salah satu siasat lainnya untuk mengatasi oversuplai semen adalah dengan memperkuat pasar ekspor ke luar negeri. Di sepanjang tahun 2017, volume ekspor semen Indonesia hanya sekitar 3,41 juta ton, atau hanya sekitar 3% dari kapasitas terpasang produksi nasional di tahun 2017. Lima besar tujuan utama Indonesia adalah Sri Lanka, Australia, Bangladesh, Filipina, dan Timor Leste.
Oleh karena itu, Indonesia masih punya ruang untuk menggenjot volume eskpor komoditas semen, termasuk memperluas pasar tujuan. Salah satu negara tujuan lain yang bisa diprospek adalah Singapura, yang menjadi salah satu importir semen terbesar di dunia pada tahun 2016, dengan volume impor mencapai 5,09 juta ton. Sebagai informasi, Indonesia hanya mengekspor semen ke Singapura sebanyak 311 ton pada tahun 2017.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Lantas apa yang menyebabkan performa emiten semen begitu suram?
Merespon kebijakan Presiden Joko Widodo yang berfokus pada pembangunan infrastruktur, permintaan komoditas semen sebenarnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia (ASI), permintaan semen domestik meningkat 7,6% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada tahun 2017, menjadi 66,35 juta ton.
Bahkan, dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2017), permintaan semen domestik meningkat hampir mencapai 63%. Tercatat, konsumsi semen domestik hanya sebesar 40,78 juta ton pada 2010.
![]() |
Jika melihat data permintaan seperti itu, seharusnya industri semen sedang berada dalam masa kejayaannya. Sayangnya, ada data lain yang menegasikan data permintaan yang kuat itu. Jumlah kapasitas terpasang produksi semen di Indonesia hingga akhir tahun 2017 mencapai 107,4 juta ton atau tumbuh 19,73% YoY, lebih kencang dari konsumsi domestik
Pertumbuhan kapasitas produksi semen pada tahun lalu jauh lebih kencang dari pertumbuhan kapasitas tahun 2016 yang hanya sebesar 1,70% YoY. Alhasil, dengan total kebutuhan nasional yang hanya sebesar 66,35 juta ton pada 2017, kelebihan pasokan pun mencapai 41,05 juta ton. Volume oversuplai itu membengkak nyaris dua kali lipat dari surplus pasokan tahun 2016 sebesar 28,06 juta ton.
![]() |
Tingkat utilisasi industri semen pun turun dari angka 68,7% pada 2016 ke 65% di 2017. Bagi emiten tentu ini menjadi tidak efisien, karena tetap harus mengeluarkan biaya operasional tapi, produksi yang dihasilkan tidak maksimal.
Selain itu, akibat pasokan yang berlebih, otomatis harga semen pun tertekan. Tercatat harga semen curah turun 4,56% secara tahunan menjadi Rp754.068/ton pada 2017. Sedangkan, harga semen kemasan juga terkoreksi 3,57% secara tahunan menjadi Rp860.158/ton. Ketika harga semen melemah, keuntungan perusahaan pun menjadi taruhannya.
Salah satu faktor yang mendukung kondisi oversuplai yang makin besar di tahun lalu adalah penerapan strategi predatory pricing yang diduga dilakukan oleh PT Conch Cement Indonesia. Menggunakan strategi ini, perusahaan yang dimiliki perusahaan semen terbesar di China bernama Anhui Conch Cement Company Ltd tersebut, rela menjual rugi produknya guna mendapatkan pangsa pasar.
Benar saja, hanya dalam waktu 4 tahun, Conch Cement berhasil meraup pangsa pasar tanah air sebesar 4,6% , atau menjadi nomor empat terbesar di Indonesia. Hebatnya lagi, Conch Cement langsung menyasar pasar Indonesia Timur, yang semula hanya dijangkau mayoritas oleh PT Semen Indonesia Tbk (melalui PT Semen Tonasa).
![]() |
Di tengah kondisi oversuplai ini, Conch Cement malah dikabarkan akan meningkatkan kapasitas produksi hingga 25 juta ton. Peningkatan kapasitas produksi tersebut ditargetkan bisa dilakukan dengan membangun sejumlah pabrik di beberapa daerah.
Pada tahun 2017 saja Conch Cement memiliki kapasitas produksi sebesar 2,3 juta ton. Jika nantinya ada tambahan sebesar 22,7 juta ton (menjadi 25 juta ton), dan dengan asumsi bahwa permintaan dan kapasitas produsen lainnya adalah tetap, oversuplai semen di Indonesia akan meroket menjadi 63,75 juta ton.
Andalkan Kebangkitan Sektor Properti dan Ekspor
Hanya ada dua cara untuk mengatasi masalah oversuplai tersebut. Pertama, mengurangi produksi semen tanah air. Namun, di tengah tingkat utilitas yang rendah, justru kebijakan ini akan menambah kerugian produsen semen domestik.
Maka dari itu cara yang masuk akal adalah cara kedua, yakni meningkatkan permintaan semen. Industri semen harus banyak-banyak berharap sektor properti di tanah air bisa segera bangkit dan mengerek permintaan semen. Sektor properti memang terbilang jauh lebih penting dalam mendongkrak permintaan semen ketimbang sektor infrastruktur.
Pasalnya, penjualan semen kemasan/sak yang biasa digunakan untuk pembangunan hunian memberikan kontribusi sekitar 75% dari total penjualan semen. Sementara itu, semen curah yang biasa digunakan sebagai bahan baku proyek-proyek infrastruktur hanya berkontribusi sekitar 25%.
Berbicara mengenai properti, belum lama ini ada relaksasi dari Bank Indonesia (BI) yang salah satunya berupa pelonggaran ketentuan uang muka alias loan to value (LTV).
Untuk rumah tapak dengan luas di atas 70 meter persegi misalnya, pembeli pertama yang sebelumnya diwajibkan membayar uang muka senilai 10-15% kini dibebaskan dari kewajiban membayar uang muka (0%).
Walaupun sekilas terlihat positif bagi sektor properti, kenyataannya bisa berbeda di lapangan. Lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings belum lama ini mengungkapkan bank-bank besar akan berhati-hati dalam menawarkan uang muka kurang dari 15% karena mereka ingin tetap dapat melindungi kualitas asetnya. Ini artinya, belum tentu penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan melesat signifikan, terlepas dari pelonggaran LTV yang diberikan bank sentral.
Pemintaan KPR juga belum tentu akan naik secara signifikan. Pasalnya, bank-bank sudah mulai menaikkan bunga KPR, seiring dengan kenaikan suku bunga acuan sebesar 100bps pada tahun ini (dari 4,25% menjadi 5,25%).
Misalnya, menurut Secured Loan Division Head PT OCBC NISP Tbk Veronika Susanti, pihaknya sudah menyesuaikan suku bunga KPR sebesar 50bps. "Sudah kami sesuaikan, pricing (suku bunga) baru menjadi 7,5% fix (tetap )3 tahun dan 7,99% fix 5 tahun. Sebelumnya, pricing 7% fix 3 tahun dan 7,5% fix 5 tahun," terangnya kepada CNBC Indonesia, Senin (9/7/2018).
Salah satu siasat lainnya untuk mengatasi oversuplai semen adalah dengan memperkuat pasar ekspor ke luar negeri. Di sepanjang tahun 2017, volume ekspor semen Indonesia hanya sekitar 3,41 juta ton, atau hanya sekitar 3% dari kapasitas terpasang produksi nasional di tahun 2017. Lima besar tujuan utama Indonesia adalah Sri Lanka, Australia, Bangladesh, Filipina, dan Timor Leste.
![]() |
Oleh karena itu, Indonesia masih punya ruang untuk menggenjot volume eskpor komoditas semen, termasuk memperluas pasar tujuan. Salah satu negara tujuan lain yang bisa diprospek adalah Singapura, yang menjadi salah satu importir semen terbesar di dunia pada tahun 2016, dengan volume impor mencapai 5,09 juta ton. Sebagai informasi, Indonesia hanya mengekspor semen ke Singapura sebanyak 311 ton pada tahun 2017.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Diobral Investor Asing, Reli Koreksi Saham SMGR Berlanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular