
Anomali Cuaca Bantu Harga Batu Bara Naik 13,5% di Semester I
RHG, CNBC Indonesia
04 July 2018 15:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara menutup semester I-2018 dengan penguatan 13,49%, membalik capaian semester I-2017 tatkala harga komoditas tersebut terkoreksi 8,37%. Siapa sangka, faktor anomali cuaca muncul menjadi penolong.
Pada hari perdagangan terakhir Juni 2018, harga kontrak berjangka batu bara di Newcastle ditutup pada US$114,4 per metrik ton. Secara tahunan (year-on-year/ YoY), nilai itu melonjak lebih dari 40%, jauh meninggalkan posisi pada periode yang sama tahun lalu pada US$80,95.
Meski demikian, perlu diingat bahwa di tiga bulan pertama tahun ini, harga batu bara tercatat masih melemah 4,37%. Memasuki kuartal II-2018, harga batu bara mulai mendaki.
Pada Januari-Maret 2018 sentimen negatif sempat datang bertubi-tubi dan menekan komoditas ekspor unggulan Indonesia ini. Yang utama datang dari ekspektasi penurunan konsumsi batu bara China karena Negeri Tirai Bambu memperkenalkan standar energi terbarukan.
Dalam kebijakan energi yang baru, pemerintah China mewajibkan seluruh produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) di negaranya menetapkan 15% dari portofolio pembangkit listriknya ke energi terbarukan hingga 2020.
Tidak cukup sampai situ, pemerintah China juga membatasi penggunaan batu bara menyusul terjadinya kapasitas berlebih di industri baja dan semen.
Kontraksi harga batu bara di kuartal I-2018 kemudian diperparah oleh perang dagang China dan Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, AS mengumumkan kenaikan bea impor sebesar 25% pada produk baja, dan 10% pada aluminium, pada 8 Maret 2018.
Tidak cukup sampai situ, pada 22 Maret 2018, Presiden AS Donald Trump meneken bea masuk atas produk China senilai US$60 miliar. Tidak butuh waktu lama, China membalas dengan menetapkan bea masuk bagi produk impor asal AS termasuk daging, anggur, buah-buahan, kacang-kacangan, hingga etanol.
Akan tetapi, seolah membuka lembaran baru, pergerakan batu bara berubah 180 derajat pada kuartal II-2018. Harga batu bara pada 1 Mei 2018 mencapai US$102,05 dan terus menguat, padahal selama lebih dari 2 bulan sebelumnya berada di bawah level US$100 per ton.
Ekspektasi pelemahan permintaan yang menjadi pemberat harga batu bara di kuartal I-2018 ternyata tidak terbukti. Volume permintaan komoditas ini ternyata menguat, khususnya dari Asia. Tanpa diduga, empat importir utama di Benua Kuning kompak mendongkrak permintaan.
Mengutip data Reuters, China mengimpor 104,5 juta ton batu bara pada periode Januari-Mei 2018, atau meningkat 10,2% dari periode yang sama pada 2017. Sementara itu, India, sang pengimpor terbesar kedua setelah China, mengimpor 77,4 juta ton batu bara pada 5 bulan pertama tahun ini, atau naik 3,3% secara tahunan.
Dari Asia Timur, Jepang yang menduduki peringkat ke-3 pengimpor batu bara terbesar di Asia, mengimpor 77,4 juta ton selama Januari-Mei 2018, naik 2,4 juta ton dari periode yang sama tahun lalu.
Korea Selatan yang berada di posisi keempat mengimpor 51,7 juta ton, atau naik 500.000 ton secara tahunan. Apabila ditotal, keempat negara tersebut mengimpor 16,1 juta ton lebih banyak dari tahun lalu pada periode Januari-Mei 2018.
Khusus dari China, permintaan impor batu bara yang meningkat dipicu oleh penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik utama China yang meningkat 26% secara tahunan, per akhir Mei 2018.
Hal ini disebabkan oleh musim semi yang lebih panas dari biasanya di dataran China, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.
"Konsumsi batu bara harian dari 6 pembangkit listrik terbesar (di China) saat ini berada di angka 800.000 ton pada pekan ini. Angka itu sangatlah tinggi, dan cenderung tidak biasa, untuk bulan ini," kata seorang trader di Beijing, seperti dikutip dari Reuters, pada Selasa (22/5/2018).
Seiring dengan anomali cuaca tersebut, impor batu bara China diestimasikan berada di angka 126,6 juta ton pada 6 bulan pertama tahun ini, naik 14% dari periode yang sama tahun lalu, berdasarkan data Thomson Reuters Supply Chain and Commodity Forecasts.
Selain itu, impor pada Juni 2018 juga diperkirakan menjadi yang terbesar tahun ini, dengan volume sebesar 22,1 juta ton, pada Selasa (26/06/2018). Data final dapat menjadi sedikit lebih tinggi, yakni di angka 25,9 juta ton.
Jumlah tersebut mampu mengungguli rekor tertinggi tahun ini, yaitu pada Maret 2018 sebesar 23,2 juta ton. Sementara itu dari sisi pasokan, negara-negara pengekspor batu bara utama menemui kesulitan menghadapi permintaan yang tinggi tersebut.
Faktanya, ekspor komoditas ini dari tiga eksportir utama ke Asia cenderung flat pada periode Januari-Mei 2018. Australia mengekspor 161,8 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, hanya naik 0,75% dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, ekspor Indonesia juga hanya naik sekitar 4%, dan ekspor Afrika Selatan flat di 33,6 juta pada periode yang sama. Di Australia, terhambatnya ekspor terjadi akibat ketidakmampuan menggenjot produksi, sementara di Indonesia terjadi akibat pemerintah meningkatkan volume domestic market obligation (DMO).
Sementara, Afrika Selatan sedang mengalami hambatan infrastruktur utamanya pada sistem rel kereta pengiriman.
Naiknya harga batu bara ini juga mendorong harga saham emiten batu bara di Indonesia. Seperti ITMG, INDY, dan ADRO. ITMG naik 4,11% jadi Rp 22.175, INDY 2,17% jadi Rp 3.300/saham, dan ADRO 1,74% ke Rp 1.755/saham
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Penguatan Harga Batu Bara Iringi Optimisme Coaltrans Bali
Pada hari perdagangan terakhir Juni 2018, harga kontrak berjangka batu bara di Newcastle ditutup pada US$114,4 per metrik ton. Secara tahunan (year-on-year/ YoY), nilai itu melonjak lebih dari 40%, jauh meninggalkan posisi pada periode yang sama tahun lalu pada US$80,95.
Meski demikian, perlu diingat bahwa di tiga bulan pertama tahun ini, harga batu bara tercatat masih melemah 4,37%. Memasuki kuartal II-2018, harga batu bara mulai mendaki.
![]() |
Tidak cukup sampai situ, pemerintah China juga membatasi penggunaan batu bara menyusul terjadinya kapasitas berlebih di industri baja dan semen.
Kontraksi harga batu bara di kuartal I-2018 kemudian diperparah oleh perang dagang China dan Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, AS mengumumkan kenaikan bea impor sebesar 25% pada produk baja, dan 10% pada aluminium, pada 8 Maret 2018.
Tidak cukup sampai situ, pada 22 Maret 2018, Presiden AS Donald Trump meneken bea masuk atas produk China senilai US$60 miliar. Tidak butuh waktu lama, China membalas dengan menetapkan bea masuk bagi produk impor asal AS termasuk daging, anggur, buah-buahan, kacang-kacangan, hingga etanol.
Akan tetapi, seolah membuka lembaran baru, pergerakan batu bara berubah 180 derajat pada kuartal II-2018. Harga batu bara pada 1 Mei 2018 mencapai US$102,05 dan terus menguat, padahal selama lebih dari 2 bulan sebelumnya berada di bawah level US$100 per ton.
Ekspektasi pelemahan permintaan yang menjadi pemberat harga batu bara di kuartal I-2018 ternyata tidak terbukti. Volume permintaan komoditas ini ternyata menguat, khususnya dari Asia. Tanpa diduga, empat importir utama di Benua Kuning kompak mendongkrak permintaan.
Mengutip data Reuters, China mengimpor 104,5 juta ton batu bara pada periode Januari-Mei 2018, atau meningkat 10,2% dari periode yang sama pada 2017. Sementara itu, India, sang pengimpor terbesar kedua setelah China, mengimpor 77,4 juta ton batu bara pada 5 bulan pertama tahun ini, atau naik 3,3% secara tahunan.
![]() |
Korea Selatan yang berada di posisi keempat mengimpor 51,7 juta ton, atau naik 500.000 ton secara tahunan. Apabila ditotal, keempat negara tersebut mengimpor 16,1 juta ton lebih banyak dari tahun lalu pada periode Januari-Mei 2018.
Khusus dari China, permintaan impor batu bara yang meningkat dipicu oleh penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik utama China yang meningkat 26% secara tahunan, per akhir Mei 2018.
Hal ini disebabkan oleh musim semi yang lebih panas dari biasanya di dataran China, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.
"Konsumsi batu bara harian dari 6 pembangkit listrik terbesar (di China) saat ini berada di angka 800.000 ton pada pekan ini. Angka itu sangatlah tinggi, dan cenderung tidak biasa, untuk bulan ini," kata seorang trader di Beijing, seperti dikutip dari Reuters, pada Selasa (22/5/2018).
Seiring dengan anomali cuaca tersebut, impor batu bara China diestimasikan berada di angka 126,6 juta ton pada 6 bulan pertama tahun ini, naik 14% dari periode yang sama tahun lalu, berdasarkan data Thomson Reuters Supply Chain and Commodity Forecasts.
Selain itu, impor pada Juni 2018 juga diperkirakan menjadi yang terbesar tahun ini, dengan volume sebesar 22,1 juta ton, pada Selasa (26/06/2018). Data final dapat menjadi sedikit lebih tinggi, yakni di angka 25,9 juta ton.
Jumlah tersebut mampu mengungguli rekor tertinggi tahun ini, yaitu pada Maret 2018 sebesar 23,2 juta ton. Sementara itu dari sisi pasokan, negara-negara pengekspor batu bara utama menemui kesulitan menghadapi permintaan yang tinggi tersebut.
Faktanya, ekspor komoditas ini dari tiga eksportir utama ke Asia cenderung flat pada periode Januari-Mei 2018. Australia mengekspor 161,8 juta ton pada 5 bulan pertama tahun ini, hanya naik 0,75% dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, ekspor Indonesia juga hanya naik sekitar 4%, dan ekspor Afrika Selatan flat di 33,6 juta pada periode yang sama. Di Australia, terhambatnya ekspor terjadi akibat ketidakmampuan menggenjot produksi, sementara di Indonesia terjadi akibat pemerintah meningkatkan volume domestic market obligation (DMO).
Sementara, Afrika Selatan sedang mengalami hambatan infrastruktur utamanya pada sistem rel kereta pengiriman.
Naiknya harga batu bara ini juga mendorong harga saham emiten batu bara di Indonesia. Seperti ITMG, INDY, dan ADRO. ITMG naik 4,11% jadi Rp 22.175, INDY 2,17% jadi Rp 3.300/saham, dan ADRO 1,74% ke Rp 1.755/saham
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Penguatan Harga Batu Bara Iringi Optimisme Coaltrans Bali
Most Popular