Uni Eropa Akan Kenakan Tarif Baru Bagi AS, Bursa Asia Anjlok

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 July 2018 17:14
Bursa saham utama kawasan Asia kompak mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini di zona merah.
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama kawasan Asia kompak mengakhiri perdagangan pertama di pekan ini di zona merah: indeks Nikkei turun 2,21%, indeks Shanghai turun 2,52%, indeks Strait Times turun 0,91%, dan indeks Kospi turun 2,35%. Sementara itu, perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan peringatan Sar Establishment Day.

Kembali mencuatnya risiko perang dagang membuat bursa saham Benua Kuning harus pasrah berakhir di teritori negatif. Kini, Uni Eropa sudah ambil ancang-ancang untuk membela diri dari kebijakan proteksionis yang berpotensi diterapkan oleh AS.

Melansir CNBC International yang mengutip Financial Times, sebanyak US$ 300 miliar produk asal AS dapat dikenakan bea masuk baru jika AS tetap bersikeras menerapkan ancamannya untuk menaikkan bea masuk bagi mobil-mobil asal Eropa. Kini, pimpinan negara-negara Eropa dikabarkan semakin yakin bahwa Presiden Donald Trump akan menaikkan bea masuk bagi mobil pabrikan Uni Eropa.

Sebagai catatan, bea masuk yang menyasar produk senilai US$ 300 miliar tersebut merupakan yang terbesar yang pernah diumumkan oleh negara manapun sejak perang dagang mulai berkecamuk pada Maret 2018 silam.

Jika kebijakan ini jadi diterapkan, dampak perang dagang bagi sektor riil akan kian terasa.

Lebih lanjut, mengecewakannya data ekonomi China ikut membebani bursa saham kawasan Asia. Pada hari Sabtu (30/6/2018), manufacturing PMI periode Juni versi China Federation of Logistics and Purchasing diumumkan di level 51,5, lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters di level 51,6.

Kemudian pada pagi hari tadi, data yang sama versi Markit diumumkan di level 51, lagi-lagi lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,1.

Sebagai catatan, angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi sektor manufaktur jika dibandingkan periode sebelumnya. Namun, angka yang lebih rendah dari konsensus menunjukkan bahwa ekspansinya tak sekencang yang diharapkan pelaku pasar.

Bagi perekonomian seperti China yang sangat mengandalkan sektor manufaktur, lambatnya ekspansi di sektor ini tentu mengancam laju perekonomian yang juga tengah diterpa sentimen negatif dari aktivitas pemerintahnya dalam mengurangi tumpukan utang sektor swasta yang menggunung. Terlebih, risiko perang dagang juga terus mengintai, bahkan sudah meluas menjadi perang di bidang investasi.
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular