Ini Penjelasan Mengapa Rupiah Melemah 5,6% Semester I

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
02 July 2018 16:44
Ini Penjelasan Mengapa Rupiah Melemah 5,6% Semester I
Ilustrasi: Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia Kurs rupiah tertekan 5,6% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama semester 1-2018, di tengah gempuran sentimen negatif mulai perang dagang, normalisasi kebijakan moneter, hingga defisit perdagangan nasional.

Berdasarkan data Reuters, depresiasi rupiah sepanjang 6 bulan pertama tahun ini berbanding terbaik dari periode yang sama tahun sebelumnya, ketika rupiah terapresiasi hingga 1,07%. 
Ini Penjelasan Mengapa Rupiah Melemah 5,6% Semester ISumber: Reuters
Faktor eksternal yang menekan pergerakan rupiah datang dari kebijakan moneter AS. The Federal Reserve/The Fed dibawah komandan baru, Jerome Powell mulai mengubah orientasi kebijakan menuju lebih hawkish seiring dengan kondisi ekonomiAS yang terus membaik.  

Setidaknya ada beberapa indikator yang menjadi landasan penilaian tersebut. Pertama, Tingkat pengangguran di AS terus menurunhingga menyentuh angka 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir.  

Kondisi ini seiring berbagai kebijakan pro pertumbuhan ekonomi yang dilakukan presiden AS Donald Trump seperti pemotongan pajak korporasi serta proteksionisme. 

Dampak pemotongan pajak secara tidak langsung membantu perusahaan AS memiliki likuiditas lebih banyak untuk ekspansi dan memicu naiknya permintaan tenaga kerja, sehingga menekan angka pengangguran AS. 

Sementara, kebijakan proteksionisme juga memiliki andil menurunkan angka penggangguran. Sejak kebijakan ini digaungkan pada 2017, dampak terhadap penguatan industri dalam negeri mulai terlihat.

Indeks Industri Manufaktur
, misalnya, per Mei 2018 mencapai 58,7 atau naik 5,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 55,5. 

Kedua, Personal Consumption Expenditure (PCE) atau indeks pengeluaran konsumsi yang merupakan salah satu indikator penting The Fed mengukur inflasi, telah mencapai 2% secara tahunan (year-on year/YoY) pada Mei, atau naik 0,5% dari periode yang sama tahun lalu.  

Angka tersebut, yang mencerminkan membaiknya daya beli masyarakat AS, telah mencapai target inflasi yang ditetapkan oleh The Fed. 

Hal ini sejalan dengan rilis data pendapatan rata-rata (average earning) masyarakat yang mencapai 2,7% secara YoY atau naik 0,2% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Kenaikan pendapatan ini akan mendorong konsumsi masyarakat. 

Dua kondisi ini menjadi gambaran bagaimana perbaikan kondisi ekonomiAS. Oleh karena itu The Fed pun mengubah arah kebijakan moneternya menjadi lebih hawkish, guna mencegah mesin ekonominya pecah karena terlalu panas (overheating). 

Sejauh ini, The Fed telah menaikkan Fed Fund Rate (FFR) dua kali sehingga sekarang bercokol di rentang 1,75%-2%. Kenaikan ini bisa terus berlanjut hingga 2 kali lagi, tergantung kondisi ekonomi AS ke depan.  

Jika dua indikator yang diulas di atas terus menunjukkan perbaikan, bukan tidak mungkin The Fed akan kembali menaikkan FFR.Kondisi ini membuat pemodal global memburu dolar AS sehingga memukul mata uang global termasuk rupiah.  

Menurut catatan tim riset CNBC Indonesia, investor asing telah melakukan aksi jual bersih (net sell) lebih dari Rp 1.000 triliun di bursa saham. Sementara dari obligasi negara, investor asing telah melepaskan kepemilikan hingga mencapai Rp 2,7 triliun.
Faktor eksternal lain yang mempengaruhi yaitu naiknya ketegangan AS dan China yang diawali dari kebijakan Presiden Trump yang mengenakan berbagai tarif impor terhadap produk-produk China terhadap komoditas China senilai US$50 miliar.  

Aksi itu diambil karena Trump gerah melihat besarnya defisit perdagangan AS terhadap China. Di tahun 2017 saja, defisit perdagangan AS telah mencapai US$375 miliar.  

Kebijakan tersebut pun memantik protes keras China mengingat AS merupakan pasar utama mereka. Selama 2017 saja, 19% dari total ekspor China menuju Negeri Paman Sam atau paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.  

Merespons itu, China pun mengenakan tarif impor bagi 128 produk AS dengan total nilai sekitar US$3 miliar. Dengan tarif impor, baik China maupun AS otomatis mencari pasar potensial baru seperti Indonesiayang merupakan pasar terbesar keempat dunia, dengan populasi 261 juta jiwa.  

Sejauh ini, Indonesia telah mengalami defisit perdagangan US$8 miliar atau meningkat US$2,2 miliar dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Tak terbayangkan jika China menggenjot produk mereka ke Indonesia dengan diskon besar agar tidak kadaluwarsa.  

Kondisi ini pun membuat aliran devisa pergi keluar Indonesia sehingga mendorong ketersediaan valas di dalam negeri berkurang. Akibatnya, rupiah pun kehilangan tenaga dan melemah di hadapan dolar AS.  

Secara bersamaan, perang dagang ini memaksa China yang selama ini dikenal paling rajin mendevaluasi (menurunkan) nilai mata uangnya, berbalik arah dan mendongkrak nilai kursnya. Ini terlihat pada perdagangan Senin (02/07/2018).  

Public Bank of China (PBoC) selaku otoritas moneter tertinggi di China hari ini menyesuaikan kurs tengah yuan sebesar 6,6157 atau menguat 0,004% dibandingkan kurs tengah pada Jumat lalu yang berada di kisaran 6,6166.  

Akibat penguatan yang hanya sebesar “nol koma nol nol” tersebut, rupiah melemah 0,21% di Rp 2.166,21. Bayangkan jika apresiasi mencapai 2%. Untung saja, China hanya memperbolehkan penguatan atau pelemahan kurs maksimal sebesar 2%.  

Dari dalam negeri, faktor pertama yang membuat rupiah melemah terhadap dolar AS yaitu defisit neraca perdagangan. Data BPS hingga Mei (YTD), Indonesia mencatat defisit perdagangan US$2,83 miliar yang berdampak pada cadangan devisa Indonesia yang terus berkurang.  
Ini Penjelasan Mengapa Rupiah Melemah 5,6% Semester ISumber: Reuters
Penurunan cadangan devisa berdampak kepada turunnya amunisi Bank Indonesia (BI) untuk mengintervensi rupiah. Di sisi lain, defisit perdagangan menjadi sentimen buruk di mata investor karena menimbulkan persepsi bahwa ekonomi Indonesia masih lemah secara fundamental.  

Faktor dalam negeri lain yang disinyalir menjadi penyebab rupiah melemah yaitu keterlambatan respon otoritas moneter di Indonesia menyikapi pergerakan suku bunga acuan di AS. Meski The Fed menaikkan suku bunga acuan pada Maret 2018, BI baru menaikkan suku bunga acuan Mei.  

Dengan berbagai kondisi demikian, tidak heran jika rupiah membuka perdagangan perdana Juli dan semester kedua 2018 langsung melemah.    

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular