Nantikan Data Inflasi, IHSG ke Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 July 2018 09:26
Pasca dibuka menguat 0,49%, kini IHSG sudah berbalik ke zona merah.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca dibuka menguat 0,49%, dengan cepat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik ke zona merah. Sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG melemah 0,11% ke level 5.792,74.

Pelaku pasar cenderung bermain aman sembari menanti rilis data inflasi periode Juni yang rencananya diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pukul 11:00 WIB.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,51%, sementara secara tahunan inflasi diproyeksikan sebesar 2,97%.

Data inflasi tersebut akan memberikan petunjuk kepada investor mengenai konsumsi masyarakat Indonesia. Sebelumnya, sempat timbul persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah membaik lantaran kencangnya impor barang konsumsi pada bulan Mei lalu.

Jika data inflasi periode Juni bisa mengalahkan ekspektasi, maka aksi beli pada saham-saham barang konsumsi bisa kembali dilakukan, mendorong IHSG ke zona hijau. Jika ternyata datanya mengecewakan, IHSG bisa terus terjebak di zona merah.

Sebelumnya, data ekonomi yang dirilis di China terbilang mengecewakan, membawa bursa saham utama kawasan Asia dibuka melemah: indeks Nikkei turun 0,32%, indeks Kospi turun 0,17%, dan indeks Shanghai turun 0,21%.

Pada hari Sabtu (30/6/2018), manufacturing PMI periode Juni versi China Federation of Logistics and Purchasing diumumkan di level 51,5, lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters di level 51,6.

Beberapa saat yang lalu, data yang sama versi Markit diumumkan di level 51, lagi-lagi lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,1.

Sebagai catatan, angka di atas 50 menandakan adanya ekspansi sektor manufaktur jika dibandingkan periode sebelumnya. Namun, angka yang lebih rendah dari konsensus menunjukkan bahwa ekspansinya tak sekencang yang diharapkan pelaku pasar.

Bagi perekonomian seperti China yang sangat mengandalkan sektor manufaktur, lambatnya ekspansi di sektor ini tentu mengancam laju perekonomian yang juga tengah diterpa sentimen negatif dari aktivitas pemerintahnya dalam mengurangi tumpukan utang sektor swasta yang menggunung. Terlebih, risiko perang dagang juga terus mengintai, bahkan sudah meluas menjadi perang di bidang investasi.

Mengingat posisi China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, kabar tersebut tentu bukan berita baik bagi pasar saham.
(ank/hps) Next Article Inflasi di Bawah Ekspektasi, Saham Barang Konsumsi Tertekan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular