
Perhatikan 5 Sentimen Kuat Penggerak Pasar Pekan Depan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 June 2018 15:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah menjalani pekan merah setelah perdagangan perdana usai libur panjang Lebaran, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berpeluang mendapatkan angin segar dari beberapa sentimen positif yang berpeluang besar mendorong aksi beli saham.
Berikut ini 5 sentimen yang bakal memberikan alasan kuat bagi pelaku pasar mengambil posisi beli, setelah aksi jual yang mendera bursa saham sepanjang pekan ini, hingga IHSG melemah 0,5 poin (0,01%) pada Jum'at (22/6/2018) ke level 5.821.
Pertama, investor pada Senin harus memperhatikan pengumuman data ekspor dan impor Mei. Polling Reuters menyebutkan ekspor Indonesia berpeluang naik sebesar 8,38%, tetapi impor dinilai akan menguat lebih tinggi yakni 13,88% sehingga berujung pada defisit neraca perdagangan senilai US$500 juta.
Jika ekspor naik seperti polling Reuters, maka IHSG berpeluang menguat dengan emiten sawit, perkebunan, dan manufaktur menjadi sasaran beli. Namun, jika impor naik lebih tinggi hingga memicu kenaikan defisit neraca dagang, rupiah berpeluang tertekan karena situasi ini akan mempersulit neraca transaksi berjalan.
Kedua, perhatikan saham sektor properti yang berpeluang melanjutkan kenaikan menyambut rencana Bank Indonesia (BI) melonggarkan rasio uang muka terhadap kredit properti (loan to value/LTV) untuk memacu permintaan dan konsumsi.
Pada pekan lalu, kenaikan harga saham emiten properti masih cenderung terbatas yakni pada sesi kedua perdagangan, sehingga berpeluang masih akan berlanjut pada perdagangan pekan ini, terutama jika rencana tersebut makin menunjukkan titik terang dengan konfirmasi dari BI dan respons positif perusahaan pengembang (real estate).
Ketiga, perhatikan juga harga minyak mentah dunia yang akhir pekan lalu naik US$1,85 per barel, ke level US$74,9 per barel menyusul kabar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang sepakat menaikkan produksi tetapi tidak dalam bentuk target yang baku.
Keputusan ini berpeluang membuat produksi minyak mentah dunia tidak akan banyak berubah karena kurang efektif dalam pelaksanannya, terutama karena Iran dan Venezuela tidak dalam posisi diuntungkan jika mendongkrak produksi minyak mereka.
Saham-saham sektor energi, terutama migas, berpeluang menguat dalam jangka pendek mengikuti sentimen ini, jika keputusan OPEC terbukti tidak berdampak terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan energi utama dunai tersebut.
Keempat, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada 28 Juni setelah rapat dewan gubernur (RDG) yang berjalan pada 27-28 Juni. Didukung para bankir, BI menyatakan siap menaikkan lagi BI rate, tetapi pelaku pasar dan otoritas bursa menentangnya karena mengkhawatirkan dampaknya ke sektor riil.
Kenaikan BI rate akan memicu aksi beli saham perbankan yang akan mendapat kenaikan margin, sedangkan di sisi lain mereka tidak harus mengeluarkan kredit baru dengan risiko tinggi di tengah situasi ekonomi yang belum bertumbuh signifikan.
Sementara itu, saham-saham sektor manufaktur dengan bahan baku berbasis impor memiliki peluang mendapatkan kepastian harga impor karena rupiah berpeluang terkendali menyusul kembalinya investor asing untuk memarkir dananya di pasar modal nasional, mengejar rentang (spread) keuntungan yang kompetitif.
Namun, jika BI Rate tetap, maka saham sektor infrastruktur, manufaktur, perkebunan, dan pertambangan berbasis ekspor akan mendapat berkah dari peluang menurunnya biaya penggalian dana (cost of fund) dan kenaikan laba selisih kurs (forex gain) karena dollar Amerika Serikat (AS) bisa terus menguat terhadap rupiah.
Kelima, pelaku pasar juga harus mencermati data pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/ PDB) AS per triwulan pertama 2018 pada Jumat. Data PDB negara dengan perekonomian terbesar dunia ini diperkirakan hanya naik 2,2%, atau di bawah angka sebelumnya 2,9%.
Kenaikan angka pertumbuhan ekonomi AS tidak hanya akan menjadi kabar positif bagi Wall Street tetapi juga bagi bursa global, termasuk Indonesia, karena perbaikan ekonomi negara adidaya tersebut akan memacu kenaikan perdagangan global.
Namun jika besaran kenaikannya tidak seperti harapan pelaku pasar, investor di dalam negeri perlu bersiap menahan aksi pembelian terlebih dahulu, karena pasar global bisa menghadapi koreksi sesaat terutama di tengah berlarutnya konflik perang dagang antara AS dengan China.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Menerka Nasib IHSG di Akhir Tahun, Kabar Baik atau Buruk?
Berikut ini 5 sentimen yang bakal memberikan alasan kuat bagi pelaku pasar mengambil posisi beli, setelah aksi jual yang mendera bursa saham sepanjang pekan ini, hingga IHSG melemah 0,5 poin (0,01%) pada Jum'at (22/6/2018) ke level 5.821.
Pertama, investor pada Senin harus memperhatikan pengumuman data ekspor dan impor Mei. Polling Reuters menyebutkan ekspor Indonesia berpeluang naik sebesar 8,38%, tetapi impor dinilai akan menguat lebih tinggi yakni 13,88% sehingga berujung pada defisit neraca perdagangan senilai US$500 juta.
Kedua, perhatikan saham sektor properti yang berpeluang melanjutkan kenaikan menyambut rencana Bank Indonesia (BI) melonggarkan rasio uang muka terhadap kredit properti (loan to value/LTV) untuk memacu permintaan dan konsumsi.
Pada pekan lalu, kenaikan harga saham emiten properti masih cenderung terbatas yakni pada sesi kedua perdagangan, sehingga berpeluang masih akan berlanjut pada perdagangan pekan ini, terutama jika rencana tersebut makin menunjukkan titik terang dengan konfirmasi dari BI dan respons positif perusahaan pengembang (real estate).
Ketiga, perhatikan juga harga minyak mentah dunia yang akhir pekan lalu naik US$1,85 per barel, ke level US$74,9 per barel menyusul kabar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang sepakat menaikkan produksi tetapi tidak dalam bentuk target yang baku.
Keputusan ini berpeluang membuat produksi minyak mentah dunia tidak akan banyak berubah karena kurang efektif dalam pelaksanannya, terutama karena Iran dan Venezuela tidak dalam posisi diuntungkan jika mendongkrak produksi minyak mereka.
Saham-saham sektor energi, terutama migas, berpeluang menguat dalam jangka pendek mengikuti sentimen ini, jika keputusan OPEC terbukti tidak berdampak terhadap keseimbangan pasokan dan permintaan energi utama dunai tersebut.
Keempat, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada 28 Juni setelah rapat dewan gubernur (RDG) yang berjalan pada 27-28 Juni. Didukung para bankir, BI menyatakan siap menaikkan lagi BI rate, tetapi pelaku pasar dan otoritas bursa menentangnya karena mengkhawatirkan dampaknya ke sektor riil.
Kenaikan BI rate akan memicu aksi beli saham perbankan yang akan mendapat kenaikan margin, sedangkan di sisi lain mereka tidak harus mengeluarkan kredit baru dengan risiko tinggi di tengah situasi ekonomi yang belum bertumbuh signifikan.
Sementara itu, saham-saham sektor manufaktur dengan bahan baku berbasis impor memiliki peluang mendapatkan kepastian harga impor karena rupiah berpeluang terkendali menyusul kembalinya investor asing untuk memarkir dananya di pasar modal nasional, mengejar rentang (spread) keuntungan yang kompetitif.
Namun, jika BI Rate tetap, maka saham sektor infrastruktur, manufaktur, perkebunan, dan pertambangan berbasis ekspor akan mendapat berkah dari peluang menurunnya biaya penggalian dana (cost of fund) dan kenaikan laba selisih kurs (forex gain) karena dollar Amerika Serikat (AS) bisa terus menguat terhadap rupiah.
Kelima, pelaku pasar juga harus mencermati data pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/ PDB) AS per triwulan pertama 2018 pada Jumat. Data PDB negara dengan perekonomian terbesar dunia ini diperkirakan hanya naik 2,2%, atau di bawah angka sebelumnya 2,9%.
Kenaikan angka pertumbuhan ekonomi AS tidak hanya akan menjadi kabar positif bagi Wall Street tetapi juga bagi bursa global, termasuk Indonesia, karena perbaikan ekonomi negara adidaya tersebut akan memacu kenaikan perdagangan global.
Namun jika besaran kenaikannya tidak seperti harapan pelaku pasar, investor di dalam negeri perlu bersiap menahan aksi pembelian terlebih dahulu, karena pasar global bisa menghadapi koreksi sesaat terutama di tengah berlarutnya konflik perang dagang antara AS dengan China.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Menerka Nasib IHSG di Akhir Tahun, Kabar Baik atau Buruk?
Most Popular