
Selama Libur Lebaran, Bursa Saham Global Babak Belur
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 June 2018 13:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi para investor yang akan menyelesaikan libur lebaran dan mulai kembali bertransaksi di pasar modal, periode yang berat sudah menanti di depan mata. Terhitung sepanjang libur lebaran (11 Juni) sampai dengan berita ini diturunkan, bursa saham global babak belur ditempa sentimen negatif.
Selama periode tersebut, indeks Dow Jones melemah 1,3%, indeks S&P 500 melemah 0,19%, sementara indeks Nasdaq masih bisa menguat 1,33%. Dari wilayah Eropa, indeks SXXP 600 yang berisi 600 perusahaan dari 17 negara di wilayah Eropa hanya bisa naik tipis 0,21%.
Di wilayah Asia, kondisinya merupakan yang terparah. Indeks Nikkei turun 1,5%, indeks Shanghai anjlok 4,4%, indeks Strait Times anjlok 3,05%, indeks Hang Seng jeblok 4,23%, dan indeks Kospi turun hingga 3,96%.
The Fed Siap Naikkan 4 Kali
Sentimen negatif pertama bagi bursa saham global datang proyeksi the Federal Reserve mengenai kenaikan suku bunga acuan yang akan menyentuh 4 kali pada tahun ini. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Masalahnya, normalisasi yang kelewat agresif dianggap bisa 'mematikan' ekonomi AS.
Mati Suri
Pada hari Kamis (14/6/2018) ECB mengumumkan penghentian stimulus moneter (quantitative easing) pada akhir 2018. Sempat direspon positif oleh pelaku pasar, kini hal tersebut dianggap sebagai risiko bagi perekonomian Benua Biru.
Pasalnya, kini prospek perekonomian Inggris selaku negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa kian suram. British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indoensia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Sebelumnya pada bulan April, International Monetary Fund (IMF) sudah memperkirakan bahwa performa ekonomi Inggris akan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya kecuali Italia dalam 2 tahun kedepan, seiring adanya restriksi di bidang perdagangan yang lebih tinggi dan lemahnya investasi riil oleh investor asing (karena Brexit).
Kini, persepsi mengenai pulihnya ekonomi Eropa dihantui oleh bayang-bayang kejatuhan ekonomi Inggris.
Perang-Dagang
Perang dagang antara AS dan China kini sudah benar-benar di depan mata. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar. Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Sebagai respons balasan, China menetapkan bea masuk sebesar 25% terhadap produk-produk impor asal AS seperti kedelai, otomotif dan sejumlah barang lainnya yang nilainya mencapai US$ 34 miliar. Bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif pada 6 Juli mendatang.
Teranyar, pada hari Senin waktu setempat (18/6/2018), Presiden Donald Trump mengeluarkan sebuah pernyataan yang isinya menjelaskan bahwa dirinya telah memerintahkan United States Trade Representative (USTR) untuk mengidentifikasi barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk tambahan senilai 10%.
"Setelah proses hukum selesai, bea masuk ini akan berlaku jika China menolak untuk mengubah praktik-praktiknya (mencuri kekayaan intelektual dan teknologi asal AS) dan jika China bersikeras untuk menerapkan bea masuk yang baru-baru ini mereka umumkan".
Tak sampai disitu, Trump mengancam bahwa jika China kembali menaikkan bea masuk untuk barang-barang asal AS, bea masuk baru untuk produk-produk impor China lainnya senilai US$ 200 akan diterapkan.
Celakanya, kubu China tak melunak dan justru bereaksi keras terhadap keputusan dari Gedung Putih tersebut. Mengutip CNBC International, Menteri Perdagangan China mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan aksi balasan jika AS nantinya menerbitkan daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru.
Dalam pernyataan yang dipublikasikan di situs resminya, mereka mengungkapkan bahwa China akan melindungi kepentingan-kepentingannya dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif.
(ank/hps) Next Article Kebakaran! Bursa Asia Kompak Dibuka Turun, Nikkei Anjlok Nyaris 1%
Selama periode tersebut, indeks Dow Jones melemah 1,3%, indeks S&P 500 melemah 0,19%, sementara indeks Nasdaq masih bisa menguat 1,33%. Dari wilayah Eropa, indeks SXXP 600 yang berisi 600 perusahaan dari 17 negara di wilayah Eropa hanya bisa naik tipis 0,21%.
Di wilayah Asia, kondisinya merupakan yang terparah. Indeks Nikkei turun 1,5%, indeks Shanghai anjlok 4,4%, indeks Strait Times anjlok 3,05%, indeks Hang Seng jeblok 4,23%, dan indeks Kospi turun hingga 3,96%.
Sentimen negatif pertama bagi bursa saham global datang proyeksi the Federal Reserve mengenai kenaikan suku bunga acuan yang akan menyentuh 4 kali pada tahun ini. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Masalahnya, normalisasi yang kelewat agresif dianggap bisa 'mematikan' ekonomi AS.
Mati Suri
Pada hari Kamis (14/6/2018) ECB mengumumkan penghentian stimulus moneter (quantitative easing) pada akhir 2018. Sempat direspon positif oleh pelaku pasar, kini hal tersebut dianggap sebagai risiko bagi perekonomian Benua Biru.
Pasalnya, kini prospek perekonomian Inggris selaku negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa kian suram. British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indoensia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Sebelumnya pada bulan April, International Monetary Fund (IMF) sudah memperkirakan bahwa performa ekonomi Inggris akan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya kecuali Italia dalam 2 tahun kedepan, seiring adanya restriksi di bidang perdagangan yang lebih tinggi dan lemahnya investasi riil oleh investor asing (karena Brexit).
Kini, persepsi mengenai pulihnya ekonomi Eropa dihantui oleh bayang-bayang kejatuhan ekonomi Inggris.
Perang-Dagang
Perang dagang antara AS dan China kini sudah benar-benar di depan mata. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar. Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Sebagai respons balasan, China menetapkan bea masuk sebesar 25% terhadap produk-produk impor asal AS seperti kedelai, otomotif dan sejumlah barang lainnya yang nilainya mencapai US$ 34 miliar. Bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif pada 6 Juli mendatang.
Teranyar, pada hari Senin waktu setempat (18/6/2018), Presiden Donald Trump mengeluarkan sebuah pernyataan yang isinya menjelaskan bahwa dirinya telah memerintahkan United States Trade Representative (USTR) untuk mengidentifikasi barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk tambahan senilai 10%.
"Setelah proses hukum selesai, bea masuk ini akan berlaku jika China menolak untuk mengubah praktik-praktiknya (mencuri kekayaan intelektual dan teknologi asal AS) dan jika China bersikeras untuk menerapkan bea masuk yang baru-baru ini mereka umumkan".
Tak sampai disitu, Trump mengancam bahwa jika China kembali menaikkan bea masuk untuk barang-barang asal AS, bea masuk baru untuk produk-produk impor China lainnya senilai US$ 200 akan diterapkan.
Celakanya, kubu China tak melunak dan justru bereaksi keras terhadap keputusan dari Gedung Putih tersebut. Mengutip CNBC International, Menteri Perdagangan China mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan aksi balasan jika AS nantinya menerbitkan daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru.
Dalam pernyataan yang dipublikasikan di situs resminya, mereka mengungkapkan bahwa China akan melindungi kepentingan-kepentingannya dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif.
(ank/hps) Next Article Kebakaran! Bursa Asia Kompak Dibuka Turun, Nikkei Anjlok Nyaris 1%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular