
Ramai Sentimen Negatif, Bursa Saham Utama Asia Melemah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 June 2018 16:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama Asia melemah pada akhir perdagangan hari ini: indeks Nikkei turun 0,75%, indeks Shanghai turun 0,7%, indeks Hang Seng turun 0,43%, indeks Strait Times turun 0,97%, dan indeks Kospi turun 1,16%.
Potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali oleh the Federal Reserve masih menjadi biang kerok yang membuat bursa saham utama kawasan Asia berguguran. Persepsi ini timbul pasca the Fed mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Setiap gerak-gerik dari bank sentral AS memang akan mempengaruhi pasar keuangan dunia secara signifikan. Pasalnya, kebijakan the Fed akan mempengaruhi laju ekonomi Negeri Paman Sam yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Ada ketakutan bahwa normalisasi yang kelewat agresif justru akan 'mematikan' ekonomi AS.
Hal tersebut tentu bukan kabar baik bagi bursa saham. Apalagi, masa depan ekonomi Eropa juga sedang suram. British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indonesia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Kombinasi dari ketakutan atas suku bunga acuan yang kelewat agresif oleh the Fed dan suramnya prospek ekonomi Benua Biru telah sukses membuat pasar saham Asia kocar-kacir.
Kemudian, aura perang dagang juga masih kental terasa. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar. Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Sebagai respons balasan, China menetapkan bea masuk sebesar 25% terhadap produk-produk impor asal AS seperti kedelai, otomotif dan sejumlah barang lainnya yang nilainya mencapai US$ 34 miliar. Bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif pada 6 Juli mendatang.
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali oleh the Federal Reserve masih menjadi biang kerok yang membuat bursa saham utama kawasan Asia berguguran. Persepsi ini timbul pasca the Fed mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Hal tersebut tentu bukan kabar baik bagi bursa saham. Apalagi, masa depan ekonomi Eropa juga sedang suram. British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indonesia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.
BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.
"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.
Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.
Kombinasi dari ketakutan atas suku bunga acuan yang kelewat agresif oleh the Fed dan suramnya prospek ekonomi Benua Biru telah sukses membuat pasar saham Asia kocar-kacir.
Kemudian, aura perang dagang juga masih kental terasa. Pekan lalu, pemerintahan AS mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% terhadap barang impor asal China senilai US$ 34 miliar. Sebanyak 818 produk terdampak oleh kebijakan ini. Lebih lanjut, masih ada 284 produk lagi senilai US$ 16 miliar yang berpotensi dikenakan bea masuk baru.
Sebagai respons balasan, China menetapkan bea masuk sebesar 25% terhadap produk-produk impor asal AS seperti kedelai, otomotif dan sejumlah barang lainnya yang nilainya mencapai US$ 34 miliar. Bea masuk tersebut akan mulai berlaku efektif pada 6 Juli mendatang.
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular