OPEC akan Buat Keputusan Besar Soal Minyak Pekan Depan

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
17 June 2018 20:40
Namun, para analis berpendapat kelompok ini akan meraih konsensus mereka tentang kesepakatan bersejarah untuk mengelola pasar minyak mentah.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat para produsen minyak terbesar di dunia akan menjadi acara yang kontroversial. Namun, para analis berpendapat kelompok ini akan meraih konsensus mereka tentang kesepakatan bersejarah untuk mengelola pasar minyak mentah.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan eksportir lain termasuk Rusia nampak tenang untuk mengurangi pembatasan produksi sukarela.

Pembatasan itu telah bantu mengurangi kelebihan pasokan minyak global sejak diterapkan di bulan Januari 2017. Kesepakatan itu rencananya tidak akan diakhiri sampai akhir tahun ini, tetapi harga minyak yang terus melambung karena sebagian besar dipicu oleh risiko geopolitik memaksa para produsen mempertimbangkan strategi jalan keluar.

Kesepakatan itu menghimbau OPEC dan produsen lainnya untuk menjaga 1,8 juta barel per hari di pasaran, tetapi mereka sebenarnya memangkas produksi lebih dari itu.

Melansir CNBC International, pertemuan OPEC akan sangat dipantau karena kelompok produsen memompa sekitar 40% minyak dunia, sehingga keputusan kebijakannya dapat memiliki implikasi besar di berbagai sektor energi.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang kemungkinan mewaspadai harga rata-rata bensin AS meroket mendekati $3 per galon, baru-baru ini menyalahkan OPEC atas kenaikan harga minyak yang menyentuh angka tertinggi dalam tiga setengah tahun.

"Harga minyak terlalu tinggi, lagi-lagi karena OPEC. Tidak baik!" tulis Trump dalam sebuah cuitan di Twitter hari Rabu (13/6/2018).

Rapat yang akan digelar pekan depan juga lebih tajam ketimbang pertemuan sebelumnya karena pemangkasan produksi OPEC saat ini tidak terbatas untuk karter 14 negara. Rusia dan beberapa produsen lainnya juga telah mengurangi produksi.

Arab Saudi sebagai produsen OPEC nomor satu juga perlu mempertahankan aliansi mudanya tetap bersatu, atau kemampuannya untuk mengelola pasar akan berkurang.

Negara-negara Saudi harus mempertimbangkan kemitraan mereka dengan Rusia, hubungan mereka dengan AS dan ketegangan yang memanas dengan Iran, produsen OPEC terbesar ketiga dan pesaing utama untu Riyadh di kawasannya.

"Keputusan yang akan dibuat di Vienna akan jadi lebih geopolitik kali ini ketimbang biasanya," kata Dan Yergin, Wakil Direktur IHS Markit dan pemenang penghargaan Pulitzer Prize untuk industri minyak bumi.

Ketegangan OPEC meningkat
Menjelang rapat, keretakan mulai terlihat di antara para produsen yang bersaing. Hal itu pun menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya kejadian di rapat OPEC bulan Juni 2011, di mana para anggota meninggalkan Vienna tanpa menyepakati kebijakan produksi bersama.

Arab Saudi dan Rusia, khususnya, sama-sama memiliki kapasitas dan bisa menangkap pangsa pasar dengan lebih banyak memompa minyak. Keduanya pun menunjukkan dukungan untuk kenaikan produksi.

Meskipun begitu, banyak produsen tidak setuju dan lebih memilih untuk menahan pasokan yang mendukung harga. Negara-negara itu termasuk Venezuela yang produksinya anjlok di tengah krisis ekonomi berkepanjangan dan Iran yang menghadapi pembaruan sanksi AS untuk memangkas ekspor minyaknya.

Namun, Iraq yang notabene produsen terbesar kedua di OPEC juga termasuk ke dalam daftar negara yang tidak setuju. Pada hari Senin (11/6/2018), Menteri Perminyakan negara itu Jabbar al-Luaibi mengatakan kenaikan produksi bisa "merusak pasar internasional" dan memperingatkan upaya unilateral dari sebagian anggota untuk mengubah kebijakan bisa melanggar kesepakatan.

Luaibi nampaknya merespon laporan bahwa Washington meminta Arab Saudi mengisi kesenjangan akibat anjloknya ekspor Iran setelah Trump meninggalkan kesepakatan nuklir Iran dan menerapkan sanksi besar ke negara itu.

Yergin berkata dia yakin para negara Saudi akan mendukung sebuah kebijakan yang mempertahankan patokan harga minyak mentah internasional Brent di kisaran $75-$85 per barel. Angka tersebut akan mendukung obyektif mereka, termasuk menjaga relasi yang dekat dengan pemerintahan Trump.

"Mereka benar-benar ingin melihat AS menarik diri dari kesepakatan iran, dan itu artinya minyak Iran yang lebih sedikit [...] jadi Anda harus memasok lebih banyak minyak ke pasaran," katanya ke CNBC International pada hari Rabu.
(hps/hps) Next Article Gawat! Harga Minyak Dunia Terbang Tinggi ke US$ 90, Ini Pemicunya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular