
Pekan Yang Buruk Bagi Komoditas Minyak
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 June 2018 16:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi pekan yang tak mengenakan bagi komoditas minyak. Sepanjang minggu ini, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman bulan Juli terkoreksi 1,03% ke level US$ 65,06/barel. Sementara itu, harga minyak mentah brent kontrak pengiriman bulan Agustus anjlok 3,95% ke level US$ 73,44/barel.
Beberapa hal menjadi pemberat harga minyak mentah dunia. Pertama, mencuatnya ketakutan atas perang dagang dalam skala global. Sepanjang minggu ini, investor cemas menantikan pengumuman daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru oleh AS.
Kemarin (15/6/2018), bea masuk senilai 25% benar diumumkan bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 50 miliar. Secara total, sebanyak 1.102 produk asal China terdampak dari kebijakan ini.
Barang-barang yang akan terkena dampak adalah barang-barang yang mengandung teknologi penting bagi sektor industri. Beberapa produk China yang akan dikenakan bea masuk baru diantaranya adalah mobil dengan kapasitas mesin 1,5-3 kubik liter, perangkat penyimpanan data, dan komponen pompa.
"Bea masuk ini sangat penting untuk mencegah transfer teknologi dan kekayaan intelektual yang tidak adil ke China. Pada akhirnya ini akan melindungi lapangan kerja di AS," tegas Trump seperti dikutip dari Reuters.
Aksi balasan pun sudah diluncurkan oleh Beijing. Bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar barang impor asal AS akan segera berlaku efektif pada 6 Juli mendatang. Barang-barang yang disasar oleh kubu China termasuk produk agrikultur dan mobil.
Kini, perang dagang antar dua negara benar-benar sudah di depan mata. Perang dagang antara AS-China dikhawatirkan akan melumpuhkan ekonomi dunia dan mengurangi permintaan atas minyak mentah.
Kedua, melonjaknya produksi AS. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan produksi minyak mentah AS mencapai 10,9 juta barel per hari (bph) pada pekan lalu, dimana ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Sebagai catatan, produksi minyak mentah AS sudah melonjak hampir 30% dalam 2 tahun terakhir dan saat ini sudah mendekati Rusia, sang produsen nomor 1 dunia yang memproduksi minyak mentah sebanyak 11,1 juta bph pada dua pekan pertama bulan ini.
Ketiga, adanya persepsi bahwa Organisasi Negara-Negara Eksportir Minyak (OPEC) akan meningkatkan produksi minyak mentah mereka. Keputusan soal produksi ini akan dibahas dalam pertemuan di Wina pekan depan.
Sejak awal 2017, OPEC dan Rusia sepakat untuk mengurangi produksi demi mengatrol harga minyak yang sempat anjlok ke level US$ 30/barel. Namun kini Rusia dan Arab Saudi (pemimpin OPEC secara de facto) sepertinya siap untuk mulai menggenjot produksi.
"Pada prinsipnya, kami mendukung ini (penambahan produksi). Sudah jelas bahwa kesepakatan ini harus diselesaikan secara bertahap," ungkap Menteri Energi Rusia Alexander Novak setelah pertemuannya dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article The Fed Bikin Harga Minyak Menguat, Kok Bisa?
Beberapa hal menjadi pemberat harga minyak mentah dunia. Pertama, mencuatnya ketakutan atas perang dagang dalam skala global. Sepanjang minggu ini, investor cemas menantikan pengumuman daftar barang-barang yang akan dikenakan bea masuk baru oleh AS.
Kemarin (15/6/2018), bea masuk senilai 25% benar diumumkan bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 50 miliar. Secara total, sebanyak 1.102 produk asal China terdampak dari kebijakan ini.
"Bea masuk ini sangat penting untuk mencegah transfer teknologi dan kekayaan intelektual yang tidak adil ke China. Pada akhirnya ini akan melindungi lapangan kerja di AS," tegas Trump seperti dikutip dari Reuters.
Aksi balasan pun sudah diluncurkan oleh Beijing. Bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar barang impor asal AS akan segera berlaku efektif pada 6 Juli mendatang. Barang-barang yang disasar oleh kubu China termasuk produk agrikultur dan mobil.
Kini, perang dagang antar dua negara benar-benar sudah di depan mata. Perang dagang antara AS-China dikhawatirkan akan melumpuhkan ekonomi dunia dan mengurangi permintaan atas minyak mentah.
Kedua, melonjaknya produksi AS. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan produksi minyak mentah AS mencapai 10,9 juta barel per hari (bph) pada pekan lalu, dimana ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Sebagai catatan, produksi minyak mentah AS sudah melonjak hampir 30% dalam 2 tahun terakhir dan saat ini sudah mendekati Rusia, sang produsen nomor 1 dunia yang memproduksi minyak mentah sebanyak 11,1 juta bph pada dua pekan pertama bulan ini.
Ketiga, adanya persepsi bahwa Organisasi Negara-Negara Eksportir Minyak (OPEC) akan meningkatkan produksi minyak mentah mereka. Keputusan soal produksi ini akan dibahas dalam pertemuan di Wina pekan depan.
Sejak awal 2017, OPEC dan Rusia sepakat untuk mengurangi produksi demi mengatrol harga minyak yang sempat anjlok ke level US$ 30/barel. Namun kini Rusia dan Arab Saudi (pemimpin OPEC secara de facto) sepertinya siap untuk mulai menggenjot produksi.
"Pada prinsipnya, kami mendukung ini (penambahan produksi). Sudah jelas bahwa kesepakatan ini harus diselesaikan secara bertahap," ungkap Menteri Energi Rusia Alexander Novak setelah pertemuannya dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article The Fed Bikin Harga Minyak Menguat, Kok Bisa?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular