
The Fed Naikkan Bunga 4 Kali, Bursa Saham Utama Asia Anjlok
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 June 2018 16:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama Asia anjlok pada akhir perdagangan hari ini: indeks Nikkei turun 0,99%, indeks Shanghai turun 0,17%, indeks Hang Seng turun 0,93%, indeks Strait Times turun 1,18%, dan indeks Kospi turun 1,84%.
Potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali oleh the Federal Reserve menjadi biang kerok yang membuat bursa saham utama kawasan Asia berguguran. Hal ini terungkap saat the Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari tadi.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Masalahnya, jika the Fed kelewat agresif menaikkan suku bunga acuan, bukan tak mungkin hal tersebut mungkin akan 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Apalagi, risiko perang dagang masih mengintai pasca pertemuan negara-negara anggota G7 yang jauh dari kata mulus.
Tak hanya the Fed, bank sentral Eropa yakni European Central Bank (ECB) juga telah sukses membuat grogi pelaku pasar. Rencananya, ECB akan mengumumkan hasil pertemuannya pada sore hari ini. Terdapat persepsi bahwa suntikan stimulus moneter (quantitative easing) yang selama ini digelontorkan di Benua Biru akan dipangkas. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang laju perekonomian.
Persepsi ini timbul menyusul pernyataan dari Michael Praet yang merupakan Kepala Ekonom ECB.
"Dewan akan mengkaji apakah perkembangan ekonomi terkini sudah memungkinkan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga. Ini adalah keputusan yang menentukan," tegas Praet, dikutip dari Reuters.
Memang, sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%, semakin mendekati target ECB yang sebesar 2%. Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga diperkirakan membaik. Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun, proyeksi ini kemudian direvisi menjadi 2,3%. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui menjadi 2%, dari yang sebelumnya 1,9%.
Di satu sisi, pengurangan stimulus memang berarti ekonomi zona euro sudah lebih sehat. Namun, kebijakan ini justru bisa menjadi blunder dengan mematikan ekonomi negara-negara penganut mata uang Euro tersebut, mengingat situasi politik di Italia, Inggris, dan Spanyol masih penuh dengan ketidakpastian.
Kemudian, walaupun ada sinyal positif dari pertemuan Donald Trump-Kim Jong Un, kurangnya detil-detil mengenai rencana denuklirisasi oleh Korea Utara nampak telah membuat investor berpikir ulang mengenai masa depan perdamaian dunia. Pasalnya, Korea Utara mempunyai sejarah mengingkari perjanjian serupa di masa lalu.
Ketidakpastian yang masih cukup tinggi membuat investor meninggalkan aset-aset berisiko sepeti saham.
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Potensi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali oleh the Federal Reserve menjadi biang kerok yang membuat bursa saham utama kawasan Asia berguguran. Hal ini terungkap saat the Fed mengumumkan hasil pertemuannya pada dini hari tadi.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Tak hanya the Fed, bank sentral Eropa yakni European Central Bank (ECB) juga telah sukses membuat grogi pelaku pasar. Rencananya, ECB akan mengumumkan hasil pertemuannya pada sore hari ini. Terdapat persepsi bahwa suntikan stimulus moneter (quantitative easing) yang selama ini digelontorkan di Benua Biru akan dipangkas. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar dengan memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang laju perekonomian.
Persepsi ini timbul menyusul pernyataan dari Michael Praet yang merupakan Kepala Ekonom ECB.
"Dewan akan mengkaji apakah perkembangan ekonomi terkini sudah memungkinkan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga. Ini adalah keputusan yang menentukan," tegas Praet, dikutip dari Reuters.
Memang, sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%, semakin mendekati target ECB yang sebesar 2%. Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga diperkirakan membaik. Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun, proyeksi ini kemudian direvisi menjadi 2,3%. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui menjadi 2%, dari yang sebelumnya 1,9%.
Di satu sisi, pengurangan stimulus memang berarti ekonomi zona euro sudah lebih sehat. Namun, kebijakan ini justru bisa menjadi blunder dengan mematikan ekonomi negara-negara penganut mata uang Euro tersebut, mengingat situasi politik di Italia, Inggris, dan Spanyol masih penuh dengan ketidakpastian.
Kemudian, walaupun ada sinyal positif dari pertemuan Donald Trump-Kim Jong Un, kurangnya detil-detil mengenai rencana denuklirisasi oleh Korea Utara nampak telah membuat investor berpikir ulang mengenai masa depan perdamaian dunia. Pasalnya, Korea Utara mempunyai sejarah mengingkari perjanjian serupa di masa lalu.
Ketidakpastian yang masih cukup tinggi membuat investor meninggalkan aset-aset berisiko sepeti saham.
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular