Menakar Risiko Tahun Politik Terhadap Rupiah dan Saham

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
12 June 2018 20:16
Menakar Risiko Tahun Politik Terhadap Rupiah dan Saham
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Investor saham terlihat lebih optimistis merespons hajat politik di Indonesia di era reformasi, sedangkan pelaku pasar uang cenderung pilih aman.

Pemerintah menetapkan asumsi makro yang lebih rendah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 karena memasukkan beberapa risiko eksternal dan internal. Faktor hajatan politik dinilai menjadi penekan pertumbuhan tahun depan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu menilai Indonesia menghadapi empat (4) risiko di tahun politik 2019, yakni preferensi konsumsi, normalisasi moneter di Amerika Serikat (AS), proteksionisme AS, dan pemilihan umum (pemilu).

Keempat risiko tersebut dikhawatirkan akan turut menekan asumsi makro dalam APBN 2019, hingga berujung pada penurunan asumsi makro. Nilai tukar rupiah yang dipatok pada level 13.700 hingga 14.000. Level itu terhitung lebih lemah dibandingkan dengan rerata level rupiah dalam 3 tahun terakhir.

"Nilai tukar 2016 Rp 13.370 [per US$] selama rata-rata setahun. Sementara di 2017 Rp 13.384 dan 2018 Rp 13.400. Dengan potensi terjadi pressure di tahun 2019 kami berikan range Rp 13.700-Rp 14.000," ujar Sri Mulyani sebagaimana diberitakan CNBC Indonesia.

Untuk mengetahui hubungan yang pasti antara hajatan politik nasional pemilu dengan pertumbuhan ekonomi, CNBC Indonesia melacak pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan rupiah saat Indonesia menggelar pemilu.

Data pergerakan pasar yang dikumpulkan sengaja dibatasi pada era reformasi, karena hajatan pemilu sebelum itu yakni pada masa Orde Baru hanyalah formalitas. Tidak ada risiko atau eforia yang perlu diantisipasi karena rakyat dan pasar sudah mengetahui hasilnya, yakni Golkar menang dan Soeharto menjadi presiden.

Hal sebaliknya terjadi di era reformasi di mana pelaku pasar sangat mencermati arah kebijakan ekonomi dan investasi yang diusung oleh kekuatan-kekuatan politik yang berlaga di Pemilu pada tahun-tahun tersebut.
Menakar Risiko Tahun Politik Terhadap Pasar UangSumber: Reuters
Jika melihat data pergerakan IHSG dan rupiah pada periode setahun, terlihat bahwa tiga dari lima tahun politik berakhir dengan koreksi rupiah, yakni pada 2004, 2014, dan 2015. Koreksi ini menunjukkan bahwa pelaku pasar cenderung mengambil posisi cash out di tahun politik sesuai dengan proyeksi Menkeu.

Namun IHSG justru menunjukkan tren sebaliknya. Trader saham terlihat kurang mempedulikan risiko politik dengan tetap membukukan aksi beli, sehingga bursa saham menguat. Koreksi IHSG hanya terjadi pada 2015 ketika Indonesia menggelar pilkada serentak, yang merupakan pertama kali dalam sejarah republik ini.
Mari kita persempit horizon data dengan melihat rekam-jejak IHSG dan rupiah secara harian. Berbeda dari bursa saham yang tutup karena pemilu merupakan hari libur nasional, rupiah masih diperdagangkan di pasar non-delivery forward (NDF) pada saat pemilu berlangsung.

Dari delapan hajat pemilu, mulai dari pemilu legislatif (pileg), pilpres hingga pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional, hanya satu di antaranya yang melemah (secara harian) menyambut hasil hajatan nasional itu yakni pileg 2014.

Jika dilihat dalam konteks mingguan—yakni sepekan perdagangan yang mengiringi hajatan nasional tersebut, tiga di antaranya terhitung terkoreksi yakni pileg 2014 yang dimenangkan Partai Golkar, pilpres 2009 yang dimenangkan kembali oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan pilkada serentak nasional yang mayoritas dimenangkan calon petahana (incumbent).
Menakar Risiko Tahun Politik Terhadap Pasar UangSumber: Reuters
Sementara itu, pelaku pasar uang terlihat lebih was-was dibandingkan dengan IHSG dalam merespon hasil pemilu, terlihat dari fakta bahwa separuh hari perdagangan yang berbarengan dengan hajat nasional tersebut justru berakhir dengan pelemahan rupiah.

Pelemahan terbesar terjadi setelah pilkada serentak, yakni sebesar 0,9% sehingga membawa rupiah ke level Rp 14.016 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 9 Desember 2015. Pelemahan terbesar kedua tercatat pada pileg 2014 di mana rupiah melemah 0,61% ke level 11.358.

Namun sebaliknya, rupiah justru menguat setelah pemilu 1999 (yang memilih anggota MPR/DPR untuk kemudian voting memilih presiden). Penguatan tersebut mencapai 3,36% atau 276 perak ke Rp 7.75 per dolar AS.
Menakar Risiko Tahun Politik Terhadap Pasar UangSumber: Reuters
Namun jika diperhatikan lebih detil, rupiah dan IHSG kompak melemah usai pileg 2014. Rupiah melemah sebesar 69 poin atau 0,61% ke 11.358 per dolar AS, sedangkan IHSG anjlok 3,2% atau 155,68 poin ke 4.765,73. Fenomena ini tak terjadi pada tahun-tahun pemilu lainnya.

Penjelasannya bisa dirunut pada kenyataan bahwa pileg 2014 menandai perubahan rezim, dari Partai Demokrat yang bercokol selama 10 tahun, menjadi rezim Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang 10 tahun sebelumnya beroposisi dengan menjual isu-isu pro-rakyat.

Pasar khawatir perubahan ini membuat arah ekonomi berbalik dari pro-pasar menjadi pro-populisme sebagaimana dikampanyekan PDI P selama beroposisi, seperti: menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), menolak kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan lain-lain.

Namun, optimisme pasar kembali pada saat pilpres 2014 karena calon presiden PDI P Joko Widodo berhasil meyakinkan pasar bahwa kebijakan pemerintahannya tidak akan berubah dari sebelumnya dan bahkan lebih ekspansif untuk menggenjot ekonomi.

Hanya saja, kemenangan tipis Jokowi pada pilpres 10 Juli 2014 membuat pasar khawatir justru tensi politik kian tinggi jika kubu Prabowo Subianto memenangi pilpres vis-a-vis dengan kubu PDI-P yang menguasai legislatif.

Akibatnya, pelaku pasar uang kembali mencari aman dengan melepas rupiah sehingga mata uang Garuda melemah 0,45% atau 53 poin ke 11.574 per dollar AS pada saat Pilpres. Sementara itu, trader saham terlihat lebih optimistis sehingga IHSG naik 1,56% (73,29 poin) ke 5.098,01.

Berdasarkan data tersebut, pasar terlihat masih menimbang perubahan politik sebagai risiko, ketimbang peluang. Maklum saja, pelaku pasar merasa lebih nyaman dengan kepastian, apapun itu, sehingga mereka bisa mengambil posisi yang tepat dalam berinvestasi.

Tahun depan, bukan tidak mungkin perubahan yang drastis dari sisi pemenang maupun dari sisi kebijakan akan membuat pasar kaget sehingga menekan rupiah. Demi melihat perubahan belakangan ini, yang bahkan ditunjukkan oleh presiden Jokowi dengan melarang kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik, kekhawatiran Sri Mulyani terlihat memiliki landasannya.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular