
Kondisi Keuangan Dipantau Menkeu, Ini Jawaban BUMN Karya
Monica Wareza, CNBC Indonesia
28 May 2018 16:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Manejeman PT Adhi Karya Tbk (ADHI) menyampaikan hingga akhir kuartal I-2018 kondisi keuangan masih relatif aman. Tercatat sampai 31 Maret lalu perusahaan masih memiliki kas senilai Rp 4,3 triliun.
Direktur Utama Adhi Karya Budi Harto mengatakan kondisi kas perusahaan masih sehat. Dengan kondisi kas senilai tersebut, perusahaan juga mengalami surplus operasi mencapai Rp 2,89 triliun.
"Dari pembayaran pertama LRT sudah dilaksanakan Maret sebesar Rp 3,4 triliun," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Senin (28/5).
Budi menjelaskan untuk pembayaran tahap kedua saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Budi juga mengatakan tak ada masalah dalam pembayaran atas pembangunan proyek infrastruktur yang saat ini digarapnya. "Nggak, ini masih berproses saja," kata dia.
Sementara itu, Direktur Keuangan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) Harris Gunawan mengatakan saat ini kondisi keuangan perusahaan masih cukup sehat. "Sampai dengan saat ini keuangan Waskita masih di bawah covenance," kata dia melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia.
Dia menyebutkan bahwa tahun ini akan ada pencairan dana dari beberapa proyek turnkey dan proyek angkutan Light Rail Transit (LRT) sehingga akan membantu memperbaiki kas perusahaan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah akan memantau semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya yang melaksanakan penugasan proyek infrastruktur pemerintah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi keuangan BUMN tersebut tetap sehat.
Sri Mulyani mengatakan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan akan memberikan talangan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Secara umum, sektor konstruksi masih cukup menjanjikan dan secara valuasi relatif masih menarik, apalagi pada 2017 kinerja sektor ini sempat tertekan karena pelaku pasar khawatir desakan pemerintah kepada BUMN karya untuk mengerjakan proyek infrastruktur berpotensi menekan kinerja keuangan emiten konstruksi.
BUMN Karya memang punya utang yang cukup tinggi pada 2017. Secara akumulatif, utang BUMN karya mencapai Rp156,99 triliun, angka utang itu melesat dari posisi 2016 sebesar Rp96,23 triliun.
Total utang tersebut terdiri dari perusahaan berikut ini, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Jasa Marga Tbk. (JSMR).
Dengan posisi utang tersebut, rasio utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio (DER) perusahaan-perusahaan pelat merah karya nyaris mencapai tiga kali, atau persisnya 2,99 kali.
Level DER tersebut sekaligus menandai posisi yang tertinggi sejak 2014. Pada 2015, posisi DER dari 11 perusahaan tersebut hanya 2,17 kali dan 2,10 kali pada 2016.
Namun penambahan utang tersebut bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena proyek yang dikerjakan merupakan milik pemerintah yang sudah dialokasikan dalam APBN. Meskipun dalam praktiknya ada keterlambatan pembayaran.
Namun, kalangan analis menilai bahwa utang dari emiten-emiten konstruksi belum mengkhawatirkan. Liga Maradona, analis OCBC Sekuritas Indonesia mengungkapkan bahwa wajar jika BUMN karya memiliki DER di atas 1 kali, apalagi proyek yang dikerjakan banyak.
"Wajar sektor konstruksi dan emiten ini punya DER di atas 1 terlebih kalau proyeknya banya. Kalau di 3 wajar karena mereka kan banyak keluarin dana banyak. Kalau dana yg masuk telat baru parah. DER 3 itu medium to high. Kalau 4 itu baru tinggi" ungkanya ketika dihubungi oleh CNBC Indonesia kemarin, Rabu (21/02/2018).
Reita Farianti, Direktur Utama BNI Asset Management mengungkapkan bahwa DER emiten konstruksi Indonesia rata-rata masih berkisar 0,63 kali-1,61 kali, tidak terlalu berbeda jauh dengan emiten konstruksi di kawasan regional.
Guna menjaga DER tetap berada dalam batasan yang aman, BUMN karya diharapkan dapat aktif memanfaatkan skema pembiayaan alternatif non-utang, seperti factoring, sekuritisasi aset dan divestasi jalan tol. "Pendanaan alternatif non-utang seperti factoring, sekuritisasi aset dan divestasi jalan tol akan mampu meredakan kebutuhan arus kas dan meredakan sebagian kebutuhan debt funding perusahaan kontsruksi ke depannya", terang Reita.
Hingga akhir 2017 kinerja BUMN Karya tercatat meningkat signifikan. Laba BUMN perusahaan tersebut meroket hingga di atas 50% kecuali untuk Wijaya Karya.
Waskita Karya mencatat laba Rp 4,20 triliun di 2017 di mana angka tersebut meroket 132% dibanding laba yang diperoleh tahun 2016. Sementara, Adhi Karya mencatat pertumbuhan laba sepanjang 2017 sekitar 64,09% atau menjadi Rp 517,06 miliar, dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar Rp 315,11 miliar.
Satu lagi, Wijaya Karya hanya mencetak laba sebesar Rp 1,36 triliun pada tahun 2017. Laba perusahaan meningkat tipis dari perolehan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,15 triliun.
(hps) Next Article Dahlan: BUMN Karya Bernafas di Kerongkongan, Ini Faktanya
Direktur Utama Adhi Karya Budi Harto mengatakan kondisi kas perusahaan masih sehat. Dengan kondisi kas senilai tersebut, perusahaan juga mengalami surplus operasi mencapai Rp 2,89 triliun.
"Dari pembayaran pertama LRT sudah dilaksanakan Maret sebesar Rp 3,4 triliun," kata Budi kepada CNBC Indonesia, Senin (28/5).
Budi juga mengatakan tak ada masalah dalam pembayaran atas pembangunan proyek infrastruktur yang saat ini digarapnya. "Nggak, ini masih berproses saja," kata dia.
Sementara itu, Direktur Keuangan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) Harris Gunawan mengatakan saat ini kondisi keuangan perusahaan masih cukup sehat. "Sampai dengan saat ini keuangan Waskita masih di bawah covenance," kata dia melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia.
Dia menyebutkan bahwa tahun ini akan ada pencairan dana dari beberapa proyek turnkey dan proyek angkutan Light Rail Transit (LRT) sehingga akan membantu memperbaiki kas perusahaan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah akan memantau semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Karya yang melaksanakan penugasan proyek infrastruktur pemerintah. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi keuangan BUMN tersebut tetap sehat.
Sri Mulyani mengatakan telah melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan akan memberikan talangan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Secara umum, sektor konstruksi masih cukup menjanjikan dan secara valuasi relatif masih menarik, apalagi pada 2017 kinerja sektor ini sempat tertekan karena pelaku pasar khawatir desakan pemerintah kepada BUMN karya untuk mengerjakan proyek infrastruktur berpotensi menekan kinerja keuangan emiten konstruksi.
BUMN Karya memang punya utang yang cukup tinggi pada 2017. Secara akumulatif, utang BUMN karya mencapai Rp156,99 triliun, angka utang itu melesat dari posisi 2016 sebesar Rp96,23 triliun.
Total utang tersebut terdiri dari perusahaan berikut ini, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Jasa Marga Tbk. (JSMR).
Dengan posisi utang tersebut, rasio utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio (DER) perusahaan-perusahaan pelat merah karya nyaris mencapai tiga kali, atau persisnya 2,99 kali.
Level DER tersebut sekaligus menandai posisi yang tertinggi sejak 2014. Pada 2015, posisi DER dari 11 perusahaan tersebut hanya 2,17 kali dan 2,10 kali pada 2016.
Namun penambahan utang tersebut bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena proyek yang dikerjakan merupakan milik pemerintah yang sudah dialokasikan dalam APBN. Meskipun dalam praktiknya ada keterlambatan pembayaran.
Namun, kalangan analis menilai bahwa utang dari emiten-emiten konstruksi belum mengkhawatirkan. Liga Maradona, analis OCBC Sekuritas Indonesia mengungkapkan bahwa wajar jika BUMN karya memiliki DER di atas 1 kali, apalagi proyek yang dikerjakan banyak.
"Wajar sektor konstruksi dan emiten ini punya DER di atas 1 terlebih kalau proyeknya banya. Kalau di 3 wajar karena mereka kan banyak keluarin dana banyak. Kalau dana yg masuk telat baru parah. DER 3 itu medium to high. Kalau 4 itu baru tinggi" ungkanya ketika dihubungi oleh CNBC Indonesia kemarin, Rabu (21/02/2018).
Reita Farianti, Direktur Utama BNI Asset Management mengungkapkan bahwa DER emiten konstruksi Indonesia rata-rata masih berkisar 0,63 kali-1,61 kali, tidak terlalu berbeda jauh dengan emiten konstruksi di kawasan regional.
Guna menjaga DER tetap berada dalam batasan yang aman, BUMN karya diharapkan dapat aktif memanfaatkan skema pembiayaan alternatif non-utang, seperti factoring, sekuritisasi aset dan divestasi jalan tol. "Pendanaan alternatif non-utang seperti factoring, sekuritisasi aset dan divestasi jalan tol akan mampu meredakan kebutuhan arus kas dan meredakan sebagian kebutuhan debt funding perusahaan kontsruksi ke depannya", terang Reita.
Hingga akhir 2017 kinerja BUMN Karya tercatat meningkat signifikan. Laba BUMN perusahaan tersebut meroket hingga di atas 50% kecuali untuk Wijaya Karya.
Waskita Karya mencatat laba Rp 4,20 triliun di 2017 di mana angka tersebut meroket 132% dibanding laba yang diperoleh tahun 2016. Sementara, Adhi Karya mencatat pertumbuhan laba sepanjang 2017 sekitar 64,09% atau menjadi Rp 517,06 miliar, dibandingkan capaian tahun sebelumnya sebesar Rp 315,11 miliar.
Satu lagi, Wijaya Karya hanya mencetak laba sebesar Rp 1,36 triliun pada tahun 2017. Laba perusahaan meningkat tipis dari perolehan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,15 triliun.
(hps) Next Article Dahlan: BUMN Karya Bernafas di Kerongkongan, Ini Faktanya
Most Popular