Pelajaran dari Krisis 1998

Agar Tidak Terjebak Krisis, RI Perlu Cermati 8 Risiko Ini

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
23 May 2018 10:24
Trump Kian Brutal, Jokowi Kejar Popularitas
Foto: Edward Ricardo
Di antara berbagai skenario yang membayangi perekonomian nasional tahun ini, menurut hemat kami ada dua yang paling mungkin terjadi di depan mata dan paling memengaruhi rupiah. Di dunia internasional, kita bakal melihat sikap brutal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam mengibarkan panji ‘America First’ dan kebijakan proteksionisnya.

Sementara itu di dalam negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berubah menjadi kian populis dan menciptakan langkah mundur atas reformasi ekonomi yang menjadi gebrakannya ketika terpilih pada 2014 lalu. Maklum saja, konstituen perlu diambil hatinya tahun ini, untuk memenangkan pertarungan tahun depan.

Kedua skenario tersebut, jika tidak diubah dari sekarang, bakal berujung pada munculnya delapan risiko yang menciptakan lubang-lubang ranjau di perjalanan pergerakan nilai tukar rupiah. Kami mendata risiko-risiko yang bisa terjadi ke depannya, dan mengukur besar eksposurnya terhadap pelemahan rupiah dengan mengacu pada efek yang ditimbulkan oleh sentimen tersebut secara historis.

Sebagai contoh, efek insiden ledakan bom di Tanah Air terhadap pergerakan rupiah dalam 10 tahun terakhir kami kumpulkan dan kami hitung reratanya. Estimasi ini merupakan hitungan kasar, karena pada kenyataannya pergerakan rupiah setiap harinya memang tidak didorong satu variabel saja.

Berikut adalah delapan risiko yang bisa memukul rupiah:
Agar Tidak Terjebak Krisis, RI Perlu Cermati 8 Risiko Ini
Berdasarkan perhitungan tersebut, kedelapan faktor itu (jika muncul bersamaan), memberikan eksposur sebesar 2,52% terhadap penurunan nilai tukar rupiah.

Ibaratnya, jika posisi rupiah di level Rp 14.000/US$, maka kedelapan risiko itu akan memicu pelemahan 352,8 poin, atau melempar rupiah ke level Rp 14.352,8/US$ (dengan asumsi tak ada intervensi moneter).

Tiga risiko terbesar adalah aksi terorisme, The Federal Reserve/The Fed kian hawkish (bernafsu menaikkan suku bunga), dan perubahan kebijakan ekonomi. Sebaliknya risiko dengan skala efek terkecil adalah ambisi infrastruktur Presiden Jokowi serta perlambatan ekonomi China.

Pertama, menurut catatan kami, kurs rupiah melemah rata-rata 1,1% pada hari yang sama ketika terjadi ledakan bom. Ini menunjukkan bahwa sentimen di pasar uang sangat dipengaruhi aksi-aksi terorisme. Celakanya, dalang aksi bom baru-baru ini belum tertangkap sehingga membuka peluang terjadinya serangan lanjutan.

Selanjutnya, kenaikan suku bunga AS secara lebih agresif menjadi sentimen negatif terbesar kedua, karena kebijakan tersebut memicu pembalikan modal asing dari Indonesia yang akan menekan rupiah. BI baru-baru ini memproyeksikan kenaikan Fed Fund Rate tahun ini bisa mencapai 4 kali, atau lebih banyak dari perkiraan pasar sebelumnya sebanyak 3 kali.

Ketiga, perubahan kebijakan menjadi kian populis juga memicu sentimen negatif di pasar uang. Beberapa lontaran pemerintahan untuk mem-peg harga BBM premium dan tarif listrik hingga 2019 direspons dengan pelemahan rupiah rata-rata 0,27%.

Demikian juga kebijakan BBM satu harga yang menafikan praktik korporasi yang wajar hingga memperberat neraca Pertamina.

Perang dagang China dan AS menciptakan risiko selanjutnya, karena keduanya merupakan pasar utama Indonesia. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), kedua negara dengan perekonomian terbesar ini menyerap sekitar 30% produk ekspor nasional.

Uni Eropa juga merupakan pasar utama Indonesia, sehingga perpecahan blok ekonomi tersebut juga memberikan dampak negatif terhadap rupiah.

Dari dalam negeri, pelemahan konsumsi masyarakat yang sempat santer terdengar menjelang Lebaran tahun lalu terkonfirmasi dengan melemahnya konsumsi dalam porsi pembentukan produk domestik bruto (PDB) sehingga rupiah melemah rata-rata 0,19% merespon konfirmasi tersebut.

(aji/wed)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular