
Suku Bunga Acuan Naik Lebih dari Sekali, IHSG Bisa Anjlok
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 May 2018 15:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia sedang berada dalam periode ketidakpastian. Terhitung sejak awal Februari, rupiah terus bergerak melemah, bahkan hingga menembus level psikologis Rp 14.000/dolar AS.
Bank Indonesia (BI) pun dipaksa menaikkan suku bunga acuannya guna mengerem depresiasi nilai tukar. Kemarin (17/5/2018), Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25bps menjadi 4,5%.
Kenaikan suku bunga acuan kali ini dapat dikatakan cukup bersejarah. Pasalnya, BI tak pernah menaikkan suku bunga acuan sejak November 2014.
Namun apa mau dikata, kenyataan di pasar tak selalu sejalan dengan yang kita baca di buku. Pada perdagangan hari ini, rupiah justru melemah 0,59% di pasar spot ke level Rp 14.130/dolar AS.
Lantas, pintu bagi BI untuk kembali mengerek suku bunga acuan menjadi terbuka lebar. Apalagi, sinyal pengetatan lebih lanjut juga sudah diberikan kemarin.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Agus.
Lantas, bagaimana prospek kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ketika suku bunga acuan dinaikkan lebih dari 1 kali dalam setahun?
Kali terakhir suku bunga acuan dinaikkan lebih dari 1 kali dalam setahun adalah pada 2013. Kala itu, suku bunga acuan dinaikkan sebanyak 5 kali dengan total 175bps (dari 5,75% menjadi 7,5%).
Defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang besar serta rencana the Federal Reserve untuk mengurangi besaran quantitative easing yang disalurkan alias tapering telah sukses membuat bank sentral kelabakan dan mengerek suku bunga acuan dengan begitu kencang.
Merespon kenaikan suku bunga acuan yang mulai dilakukan pada bulan Juni 2013, IHSG jatuh hingga 18% dari titik tertingginya sampai dengan akhir tahun.
Mirip
Kondisi yang dihadapi bank sentral saat ini mirip seperti pada tahun 2013. Jika pada tahun 2013 tapering oleh the Fed yang menjadi momok, kini ketakutan atas kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dari mereka lah yang menekan kinerja rupiah.
Persepsi ini muncul seiring dengan data-data ekonomi dan kinerja keuangan emiten di Wall Street yang sejauh ini terbilang positif. Jika ekonomi AS sudah 'panas', tentu kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali menjadi sangat mungkin dilakukan. Wajar jika investor gemar mengoleksi dolar AS dalam beberapa waktu ke belakang.
Dari dalam negeri, masalah defisit transaksi terjalan kembali muncul. Transaksi berjalan pada kuartal I-2018 mencatat defisit sebesar US$5,5 miliar (2,15% dari PDB), melebar lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (US$ 2,2 miliar, 0,9% dari PDB). Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, defisit transaksi berjalan di 3 bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Adanya pelebaran defisit transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini utamanya disebabkan oleh anjloknya surplus neraca perdagangan barang mencapai lebih dari 50%, dari semula US$ 5,63 miliar di kuartal I-2017, menjadi US$ 2,36 miliar pada kuartal I-2018. Sebagai catatan, ekspor barang Indonesia di kuartal-I 2018 ini tercatat sebesar US$ 44,41 miliar, sementara impor barang sebesar US$ 42,05 miliar.
Melebarnya defisit transaksi berjalan memicu Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kuartal-I 2018 untuk mencatatkan defisit sebesar US$ 3,85 miliar. Padahal, pada kuartal-I 2017, NPI Indonesia masih surplus senilai US$ 4,51 miliar.
Mengingat kondisi saat ini mirip dengan kondisi 2013 lalu, besar kemungkinan masa-masa awal kepemimpinan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI yang baru nantinya akan diisi oleh kenaikan suku bunga acuan.
Investor saham patut waspada. Pasalnya, sejarah menunjukkan bahwa IHSG 'tak suka' dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih dari 1 kali dalam setahun.
TIM CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Bank Indonesia (BI) pun dipaksa menaikkan suku bunga acuannya guna mengerem depresiasi nilai tukar. Kemarin (17/5/2018), Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25bps menjadi 4,5%.
Kenaikan suku bunga acuan kali ini dapat dikatakan cukup bersejarah. Pasalnya, BI tak pernah menaikkan suku bunga acuan sejak November 2014.
Lantas, pintu bagi BI untuk kembali mengerek suku bunga acuan menjadi terbuka lebar. Apalagi, sinyal pengetatan lebih lanjut juga sudah diberikan kemarin.
"Kalau seandainya kita keluarkan bauran kebijakan seperti sekarang ini, kalau kondisi mengharuskan untuk kami kembali melakukan penyesuaian, maka kami tidak ragu," tegas Agus.
Lantas, bagaimana prospek kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ketika suku bunga acuan dinaikkan lebih dari 1 kali dalam setahun?
Kali terakhir suku bunga acuan dinaikkan lebih dari 1 kali dalam setahun adalah pada 2013. Kala itu, suku bunga acuan dinaikkan sebanyak 5 kali dengan total 175bps (dari 5,75% menjadi 7,5%).
Defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang besar serta rencana the Federal Reserve untuk mengurangi besaran quantitative easing yang disalurkan alias tapering telah sukses membuat bank sentral kelabakan dan mengerek suku bunga acuan dengan begitu kencang.
Merespon kenaikan suku bunga acuan yang mulai dilakukan pada bulan Juni 2013, IHSG jatuh hingga 18% dari titik tertingginya sampai dengan akhir tahun.
Mirip
Kondisi yang dihadapi bank sentral saat ini mirip seperti pada tahun 2013. Jika pada tahun 2013 tapering oleh the Fed yang menjadi momok, kini ketakutan atas kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif dari mereka lah yang menekan kinerja rupiah.
Persepsi ini muncul seiring dengan data-data ekonomi dan kinerja keuangan emiten di Wall Street yang sejauh ini terbilang positif. Jika ekonomi AS sudah 'panas', tentu kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali menjadi sangat mungkin dilakukan. Wajar jika investor gemar mengoleksi dolar AS dalam beberapa waktu ke belakang.
Dari dalam negeri, masalah defisit transaksi terjalan kembali muncul. Transaksi berjalan pada kuartal I-2018 mencatat defisit sebesar US$5,5 miliar (2,15% dari PDB), melebar lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (US$ 2,2 miliar, 0,9% dari PDB). Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, defisit transaksi berjalan di 3 bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Adanya pelebaran defisit transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini utamanya disebabkan oleh anjloknya surplus neraca perdagangan barang mencapai lebih dari 50%, dari semula US$ 5,63 miliar di kuartal I-2017, menjadi US$ 2,36 miliar pada kuartal I-2018. Sebagai catatan, ekspor barang Indonesia di kuartal-I 2018 ini tercatat sebesar US$ 44,41 miliar, sementara impor barang sebesar US$ 42,05 miliar.
Melebarnya defisit transaksi berjalan memicu Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kuartal-I 2018 untuk mencatatkan defisit sebesar US$ 3,85 miliar. Padahal, pada kuartal-I 2017, NPI Indonesia masih surplus senilai US$ 4,51 miliar.
Mengingat kondisi saat ini mirip dengan kondisi 2013 lalu, besar kemungkinan masa-masa awal kepemimpinan Perry Warjiyo sebagai Gubernur BI yang baru nantinya akan diisi oleh kenaikan suku bunga acuan.
Investor saham patut waspada. Pasalnya, sejarah menunjukkan bahwa IHSG 'tak suka' dengan kenaikan suku bunga acuan yang lebih dari 1 kali dalam setahun.
TIM CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular