
Argentina Sudah Minta Bantuan IMF, Perlukah Indonesia?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 May 2018 14:09

Untuk saat ini, Indonesia belum perlu mengundang pihak luar dalam urusan dapur ekonomi domestik. Sebab, Indonesia masih punya tembok-tembok penangkal krisis sebelum membutuhkan bantuan IMF.
Tembok lapis pertama adalah kekuatan domestik. Lapis pertama ini terdiri dari kebijakan ekonomi yang mumpuni, cadangan devisa, dan prinsip kehati-hatian.
Cadangan devisa Indonesia per akhir April tercatat US$ 124,9 miliar. Meski cadangan devisa terus turun sejak Februari, tetapi level tersebut masih cukup kuat untuk membiayai 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Prinsip kehati-hatian pun kini sudah diterapkan. Bank Indonesia (BI) mewajibkan korporasi dengan eksposur utang valas untuk melakukan lindung nilai (hedging). Dengan begitu, korporasi bisa terhindar dari risiko kurs, masalah yang menghempas perekonomian Indonesia pada 1997-1998.
Jika tembok pertama dirasa kurang, Indonesia masih memiliki pertahanan lapis kedua. Ini sudah melibatkan pihak luar, tetapi IMF belum perlu campur tangan.
Lapis kedua ini adalah sokongan dari kerjasama bilateral maupun multilateral. Indonesia sudah menjalin Bilateral Swap Agreement (BSA) dengan China, Jepang, dan negara-negara ASEAN. BSA dilakukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas ketika terjadi permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.
Sementara di tingkat multilateral, Indonesia tergabung dalam Chiang Mai Initiative Multirateralisation (CMIM) bersama dengan negara-negara ASEAN plus China, Jepang, dan Asia Tenggara. CMIM berfungsi layaknya cadanagn devisa bersama negara-negara ASEAN Plus 3 yang bisa digunakan kala terjadi tekanan di neraca pembayaran.
Oleh karena itu, Indonesia sepertinya sudah memiliki amunisi yang cukup untuk menghindari kehadiran IMF. Seperti halnya di Argentina, IMF juga meninggalkan jejak traumatis bagi Indonesia karena peran mereka dalam krisis moneter (krismon) 1997-1998.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Tembok lapis pertama adalah kekuatan domestik. Lapis pertama ini terdiri dari kebijakan ekonomi yang mumpuni, cadangan devisa, dan prinsip kehati-hatian.
Cadangan devisa Indonesia per akhir April tercatat US$ 124,9 miliar. Meski cadangan devisa terus turun sejak Februari, tetapi level tersebut masih cukup kuat untuk membiayai 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jauh di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
![]() |
Prinsip kehati-hatian pun kini sudah diterapkan. Bank Indonesia (BI) mewajibkan korporasi dengan eksposur utang valas untuk melakukan lindung nilai (hedging). Dengan begitu, korporasi bisa terhindar dari risiko kurs, masalah yang menghempas perekonomian Indonesia pada 1997-1998.
Jika tembok pertama dirasa kurang, Indonesia masih memiliki pertahanan lapis kedua. Ini sudah melibatkan pihak luar, tetapi IMF belum perlu campur tangan.
Lapis kedua ini adalah sokongan dari kerjasama bilateral maupun multilateral. Indonesia sudah menjalin Bilateral Swap Agreement (BSA) dengan China, Jepang, dan negara-negara ASEAN. BSA dilakukan untuk mengatasi kesulitan likuiditas ketika terjadi permasalahan neraca pembayaran dan likuiditas jangka pendek.
Sementara di tingkat multilateral, Indonesia tergabung dalam Chiang Mai Initiative Multirateralisation (CMIM) bersama dengan negara-negara ASEAN plus China, Jepang, dan Asia Tenggara. CMIM berfungsi layaknya cadanagn devisa bersama negara-negara ASEAN Plus 3 yang bisa digunakan kala terjadi tekanan di neraca pembayaran.
Oleh karena itu, Indonesia sepertinya sudah memiliki amunisi yang cukup untuk menghindari kehadiran IMF. Seperti halnya di Argentina, IMF juga meninggalkan jejak traumatis bagi Indonesia karena peran mereka dalam krisis moneter (krismon) 1997-1998.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular