
Harga Minyak AS Akhirnya Tembus US$70/Barel Lagi
Houtmand P Saragih & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
07 May 2018 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak melanjutkan penguatannya di awal pekan ini, masih didorong kemungkinan Amerika Serikat (AS)keluar dari kesepakatan nuklir Iran, dan akhirnya menerapkan sanksi baru terhadap Teheran.
Hingga pukul 09.24 WIB hari ini, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 menguat 0,52% ke US$70,08/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 naik 0,33% ke US$75,12/barel.
Dengan capaian tersebut, light sweet akhirnya mampu menembus level US$70/barel untuk pertama kalinya sejak November 2014. Sebagai catatan, harga minyak mentah di AS ini mampu menguat nyaris 2% pada penutupan perdagangan akhir pekan, dan sudah mencetak rekor tertingginya saat itu.
Sentimen utama bagi penguatan harga minyak dalam sepekan ini adalah kekhawatiran pasokan minyak global yang lebih terbatas pada semester II-2018. Hal ini didorong oleh masih panasnya tensi antara Iran dan AS, terkait keberlangsungan kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 oleh pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, bersama-sama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris.
Sebagai informasi, pasca kesepakatan nuklir tersebut, sansi ekonomi terhadap Iran pun dihapuskan, dengan catatan Iran harus membatasi program nuklirnya. Alhasil, per Januari 2016, Iran pun kembali menjadi salah satu eksportir minyak mentah utama dunia.
Pada April 2018, ekspor minyak mentah Iran bahkan sudah mencapai 2,6 juta barel per hari (bph), rekor tertinggi sejak Iran bebas dari sanksi. China dan India menjadi importir utama bagi minyak mentah asal Negeri Persia tersebut.
Namun, presiden AS Donald Trump (yang menggantikan Presiden Obama) secara tegas mengatakan bahwa isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti dalam hal pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah.
Oleh karena itu, Trump meminta harus ada perubahan mendasar atau AS akan menarik diri dari kesepakatan. Dari pihak negeri Paman Sam, Trump berencana akan menentukan langkah selanjutnya pada 12 Mei mendatang.
Sayangnya, hingga saat ini pihak Teheran juga ngotot menolak perubahan atas perjanjian program nuklir yang dibuat dengan AS dan negara-negara barat pada 2015. Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, mengatakan pihaknya tidak akan melakukan renegosiasi atas kesepakatan yang sudah dibuat dan dilaksanakan selama bertahun-tahun.
"Saya coba masukkan dalam konteks real estate. Ketika Anda menghancurkan sebuah rumah untuk membuat gedung pencakar langit, Anda tidak bisa kembali setelah dua tahun untuk renegosiasi harga," sebut Zarif, menyindir latar belakang Trump sebagai pengusaha properti, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan terbaru, pada hari Minggu (6/5) waktu setempat, presiden Iran Hassan Rouhani bahkan menyatakan Iran berencana untuk merespon langkah apapun dari AS. Orang No. 1 di Negeri Persia tersebut juga menambahkan bahwa AS akan menyesali keputusannya untuk menarik diri dari kesepakatan.
Jika kesepakatan nuklir 3 tahun silam itu gugur, maka kemungkinan besar Iran akan kembali mendapatkan sanksi embargo ekonomi atas tuduhan pengayaan uranium. Sanksi ekonomi tentu akan mempengaruhi produksi dan ekspor minyak Iran, yang akhirnya mengancam pasokan minyak global. Alhasil, sentimen ini pun mampu mengerek harga minyak.
Satu-satunya hal yang bisa membatasi penguatan sang emas hitam adalah masih perkasanya produksi minyak mentah Negeri Paman Sam yang saat ini berada di angka 10,62 juta barel per hari (bph), atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.. Dengan catatan itu, AS telah melampaui volume produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
Terlebih, Baker Hughes melaporkan bahwa perusahaan energi AS menambah 9 sumur pengeboran pada sepekan hingga tanggal 4 Mei. Dengan capaian itu, total sumur pengeboran di AS saat ini berjumlah 834, atau mencapai angka tertingginya sejak Maret 2015.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 09.24 WIB hari ini, harga minyak jenis light sweet untuk kontrak pengiriman Juni 2018 menguat 0,52% ke US$70,08/barel, sementara brent untuk kontrak pengiriman Juli 2018 naik 0,33% ke US$75,12/barel.
![]() |
Sentimen utama bagi penguatan harga minyak dalam sepekan ini adalah kekhawatiran pasokan minyak global yang lebih terbatas pada semester II-2018. Hal ini didorong oleh masih panasnya tensi antara Iran dan AS, terkait keberlangsungan kesepakatan nuklir yang dibuat pada 2015 oleh pemerintahan mantan presiden AS Barack Obama, bersama-sama dengan China, Prancis, Jerman, Rusia, dan Inggris.
Sebagai informasi, pasca kesepakatan nuklir tersebut, sansi ekonomi terhadap Iran pun dihapuskan, dengan catatan Iran harus membatasi program nuklirnya. Alhasil, per Januari 2016, Iran pun kembali menjadi salah satu eksportir minyak mentah utama dunia.
Pada April 2018, ekspor minyak mentah Iran bahkan sudah mencapai 2,6 juta barel per hari (bph), rekor tertinggi sejak Iran bebas dari sanksi. China dan India menjadi importir utama bagi minyak mentah asal Negeri Persia tersebut.
Namun, presiden AS Donald Trump (yang menggantikan Presiden Obama) secara tegas mengatakan bahwa isi kesepakatan dengan Iran banyak mengandung kesalahan fatal, seperti dalam hal pengembangan program nuklir selepas 2025 atau keterlibatan Negeri Persia dalam konflik Timur Tengah.
Oleh karena itu, Trump meminta harus ada perubahan mendasar atau AS akan menarik diri dari kesepakatan. Dari pihak negeri Paman Sam, Trump berencana akan menentukan langkah selanjutnya pada 12 Mei mendatang.
Sayangnya, hingga saat ini pihak Teheran juga ngotot menolak perubahan atas perjanjian program nuklir yang dibuat dengan AS dan negara-negara barat pada 2015. Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran, mengatakan pihaknya tidak akan melakukan renegosiasi atas kesepakatan yang sudah dibuat dan dilaksanakan selama bertahun-tahun.
"Saya coba masukkan dalam konteks real estate. Ketika Anda menghancurkan sebuah rumah untuk membuat gedung pencakar langit, Anda tidak bisa kembali setelah dua tahun untuk renegosiasi harga," sebut Zarif, menyindir latar belakang Trump sebagai pengusaha properti, seperti dikutip dari Reuters.
Perkembangan terbaru, pada hari Minggu (6/5) waktu setempat, presiden Iran Hassan Rouhani bahkan menyatakan Iran berencana untuk merespon langkah apapun dari AS. Orang No. 1 di Negeri Persia tersebut juga menambahkan bahwa AS akan menyesali keputusannya untuk menarik diri dari kesepakatan.
Jika kesepakatan nuklir 3 tahun silam itu gugur, maka kemungkinan besar Iran akan kembali mendapatkan sanksi embargo ekonomi atas tuduhan pengayaan uranium. Sanksi ekonomi tentu akan mempengaruhi produksi dan ekspor minyak Iran, yang akhirnya mengancam pasokan minyak global. Alhasil, sentimen ini pun mampu mengerek harga minyak.
Satu-satunya hal yang bisa membatasi penguatan sang emas hitam adalah masih perkasanya produksi minyak mentah Negeri Paman Sam yang saat ini berada di angka 10,62 juta barel per hari (bph), atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.. Dengan catatan itu, AS telah melampaui volume produksi sang pemimpin OPEC Arab Saudi.
Saat ini, hanya Rusia yang mampu memproduksi minyak mentah lebih banyak dari AS, dengan volume produksi sekitar 11 juta bph. Namun, banyak analis telah meprediksikan bahwa AS akan mampu menyalip Rusia di akhir tahun ini, apabila laju produksi AS masih kuat seperti saat ini.
Terlebih, Baker Hughes melaporkan bahwa perusahaan energi AS menambah 9 sumur pengeboran pada sepekan hingga tanggal 4 Mei. Dengan capaian itu, total sumur pengeboran di AS saat ini berjumlah 834, atau mencapai angka tertingginya sejak Maret 2015.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular