
FEB UI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,3% Tahun Ini
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 May 2018 09:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi nasional selepas kuartal I-2018 diperkirakan terus membaik. Namun masih ada sejumlah risiko yang masih menyelimuti perekonomian Indonesia.
Mengutip laporan kuartalan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Senin (7/5/2018), pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 diperkirakan 5,2%. Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan sebesar 5,18%.
Sementara sepanjang 2018, LPEM FEB UI memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi di 5,3%. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan angka 5,27%. Bila perkiraan ini terwujud, maka pertumbuhan ekonomi 2018 akan lebih baik dibandingkan 2017 yang sebesar 5,07%.
Meski membaik, tetapi LPEM FEB UI tetap menggarisbawahi beberapa risiko perekonomian nasional.
"Meningkatnya harga komoditas dibanding tahun sebelumnya dan belanja infrastruktur selama beberapa triwulan terakhir tidak serta-merta mendorong konsumsi masyarakat. Kondisi ini juga tidak didukung oleh rendahnya pertumbuhan penyaluran kredit investasi. Kebutuhan untuk menjaga stabilitas makro dengan mencegah defisit anggaran yang tinggi berarti pemerintah harus menahan belanja infrastrukturnya dengan target yang lebih realistis. Stimulus fiskal jangan terlalu diharapkan untuk mendorong pertumbuhan pada 2018," papar kajian LPEM FEB UI.
Catatan berikutnya adalah soal industrialisasi. LPM FEB UI menilai saat ini ada tren proteksionisme yang merugikan industri nasional.
Presiden Joko Widodo berjanji untuk melakukan segala upaya deregulasi dan membuat peraturan lebih ramah investasi. Namun beberapa peraturan yang telah ditandatangani oleh menteri- menterinya justru cenderung proteksionis dan anti-bisnis.
Salah satu korban kebijakan proteksionis pemerintah adalah industri pengolahan, di mana sebagian besar impor merupakan bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang modal yang terutama digunakan oleh produsen lokal. Sebanyak 91% dari impor Indonesia merupakan bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang modal, dan hanya sekitar 9% dari total impor merupakan barang konsumsi.
"Impor garam adalah satu contoh yang mencerminkan bagaimana niat baik pemerintah dalam melindungi industri lokal justru membahayakan perekonomian. Pasokan garam yang tidak stabil mengganggu proses pengolahan yang membutuhkan garam dalam jumlah besar," sebut kajian itu.
Pertumbuhan industri manufaktur yang terus berada di bawah 5% menunjukkan bagaimana Indonesia melewatkan kesempatan untuk merangkul perusahaan manufaktur China. Indonesia menyerahkan peluang menarik investasi berorientasi ekspor dari China kepada Vietnam, Thailand, Filipina, Kamboja, atau bahkan negara-negara di Afrika. Sementara laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lambat sepanjang 2017 menunjukkan bahwa butuh beberapa waktu agar pertumbuhan konsumsi menyusul pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun untuk kuartal I-2018, konsumsi rumah tangga diperkirakan membaik dan tumbuh sedikit di atas 5%.
"Meskipun kami tidak memperkirakan suku bunga turun, inflasi yang lebih tinggi seharusnya dapat mendorong belanja konsumen sepanjang sisa 2018 agar tumbuh sedikit lebih cepat di level 5,0-5,1%," tulis kajian LPEM FEB UI.
Sedangkan kebijakan fiskal akan menghadapi tantangan seiring tendensi pemerintah untuk mengabaikan sistem subsidi tetap (fixed subsidy) dan harga mengambang untuk BBM. Dalam perspektif ekonomi politik, perubahan tersebut masuk akal, mengingat isu biaya hidup, yang sangat dipengaruhi harga BBM, dapat memengaruhi prospek kemenangan Pemilu 2019.
"Di sisi lain, permasalahan defisit anggaran dan utang pemerintah mendesak pemerintah untuk berjanji mengembalikan keseimbangan primer ke level positif. Pada saat yang sama, penurunan harga komoditas ekspor utama seperti CPO atau batu bara menimbulkan risiko penerimaan pajak dan bukan pajak dari sektor ekstraktif akan berada di bawah target," tegas LPEM FEB UI.
LPEM FEB UI memandang bahwa risiko mempertahankan harga BBM cukup tinggi. Suatu saat pemerintah pasti harus melakukan penyesuaian harga BBM. Semakin lama ditunda, penyesuaian tersebut akan semakin sulit dilaksanakan.
"Jika pemerintah berhasil melaksanakan penyesuaian harga BBM secara bertahap, kami melihat bahwa target pendapatan pemerintah pada 2018 masih cukup realistis. Walaupun harga batu bara dan CPO sedikit lebih rendah memang akan sedikit memengaruhi pendapatan pajak dan bukan pajak," sebut riset itu.
(aji/aji) Next Article Yakin, Pertumbuhan Ekonomi RI Bakal Lebih Baik di Q4-2019!
Mengutip laporan kuartalan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Senin (7/5/2018), pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2018 diperkirakan 5,2%. Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan sebesar 5,18%.
Sementara sepanjang 2018, LPEM FEB UI memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi di 5,3%. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksikan angka 5,27%. Bila perkiraan ini terwujud, maka pertumbuhan ekonomi 2018 akan lebih baik dibandingkan 2017 yang sebesar 5,07%.
Meski membaik, tetapi LPEM FEB UI tetap menggarisbawahi beberapa risiko perekonomian nasional.
"Meningkatnya harga komoditas dibanding tahun sebelumnya dan belanja infrastruktur selama beberapa triwulan terakhir tidak serta-merta mendorong konsumsi masyarakat. Kondisi ini juga tidak didukung oleh rendahnya pertumbuhan penyaluran kredit investasi. Kebutuhan untuk menjaga stabilitas makro dengan mencegah defisit anggaran yang tinggi berarti pemerintah harus menahan belanja infrastrukturnya dengan target yang lebih realistis. Stimulus fiskal jangan terlalu diharapkan untuk mendorong pertumbuhan pada 2018," papar kajian LPEM FEB UI.
Catatan berikutnya adalah soal industrialisasi. LPM FEB UI menilai saat ini ada tren proteksionisme yang merugikan industri nasional.
Presiden Joko Widodo berjanji untuk melakukan segala upaya deregulasi dan membuat peraturan lebih ramah investasi. Namun beberapa peraturan yang telah ditandatangani oleh menteri- menterinya justru cenderung proteksionis dan anti-bisnis.
Salah satu korban kebijakan proteksionis pemerintah adalah industri pengolahan, di mana sebagian besar impor merupakan bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang modal yang terutama digunakan oleh produsen lokal. Sebanyak 91% dari impor Indonesia merupakan bahan mentah, barang setengah jadi, dan barang modal, dan hanya sekitar 9% dari total impor merupakan barang konsumsi.
"Impor garam adalah satu contoh yang mencerminkan bagaimana niat baik pemerintah dalam melindungi industri lokal justru membahayakan perekonomian. Pasokan garam yang tidak stabil mengganggu proses pengolahan yang membutuhkan garam dalam jumlah besar," sebut kajian itu.
Pertumbuhan industri manufaktur yang terus berada di bawah 5% menunjukkan bagaimana Indonesia melewatkan kesempatan untuk merangkul perusahaan manufaktur China. Indonesia menyerahkan peluang menarik investasi berorientasi ekspor dari China kepada Vietnam, Thailand, Filipina, Kamboja, atau bahkan negara-negara di Afrika. Sementara laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lambat sepanjang 2017 menunjukkan bahwa butuh beberapa waktu agar pertumbuhan konsumsi menyusul pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Namun untuk kuartal I-2018, konsumsi rumah tangga diperkirakan membaik dan tumbuh sedikit di atas 5%.
"Meskipun kami tidak memperkirakan suku bunga turun, inflasi yang lebih tinggi seharusnya dapat mendorong belanja konsumen sepanjang sisa 2018 agar tumbuh sedikit lebih cepat di level 5,0-5,1%," tulis kajian LPEM FEB UI.
Sedangkan kebijakan fiskal akan menghadapi tantangan seiring tendensi pemerintah untuk mengabaikan sistem subsidi tetap (fixed subsidy) dan harga mengambang untuk BBM. Dalam perspektif ekonomi politik, perubahan tersebut masuk akal, mengingat isu biaya hidup, yang sangat dipengaruhi harga BBM, dapat memengaruhi prospek kemenangan Pemilu 2019.
"Di sisi lain, permasalahan defisit anggaran dan utang pemerintah mendesak pemerintah untuk berjanji mengembalikan keseimbangan primer ke level positif. Pada saat yang sama, penurunan harga komoditas ekspor utama seperti CPO atau batu bara menimbulkan risiko penerimaan pajak dan bukan pajak dari sektor ekstraktif akan berada di bawah target," tegas LPEM FEB UI.
LPEM FEB UI memandang bahwa risiko mempertahankan harga BBM cukup tinggi. Suatu saat pemerintah pasti harus melakukan penyesuaian harga BBM. Semakin lama ditunda, penyesuaian tersebut akan semakin sulit dilaksanakan.
"Jika pemerintah berhasil melaksanakan penyesuaian harga BBM secara bertahap, kami melihat bahwa target pendapatan pemerintah pada 2018 masih cukup realistis. Walaupun harga batu bara dan CPO sedikit lebih rendah memang akan sedikit memengaruhi pendapatan pajak dan bukan pajak," sebut riset itu.
(aji/aji) Next Article Yakin, Pertumbuhan Ekonomi RI Bakal Lebih Baik di Q4-2019!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular