
Di Asia, Koreksi IHSG Menjadi Yang Terparah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 May 2018 11:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini seakan merupakan mimpi buruk bagi pasar modal Indonesia. Bagaimana tidak, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 2,14%. Jika dibandingkan dengan bursa saham lainnya di kawasan Asia, koreksi IHSG merupakan yang terparah.
DIhajar Luar-Dalam
Anjloknya IHSG tak lepas dari tekanan sentimen eksternal. Pada hari Selasa waktu setempat (2/5/2018), hasil pertemuan dari the Federal Reserve selaku bank sentral AS diumumkan. Walaupun suku bunga acuan tetap ditahan seperti estimasi pelaku pasar, the Fed mengungkapkan bahwa inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah peningkatan dari pernyataan pada bulan maret lalu, dimana kala itu the Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
Tak sampai disitu, the Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed. Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%. Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya.
Pelaku pasar pun dibuat gusar oleh hal tersebut. Pasalnya, inflasi yang sudah semakin mendekati target dan bahkan bisa melebihinya kembali membuka ruang bagi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Masalahnya, kenaikan suku bunga yang kelewat agresif bisa 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Jika hal ini yang terjadi, maka permintaan ekspor dari negara-negara mitra dagang akan melemah.
Kemudian, investor juga dipaksa bermain aman sembari menentukan hasil pertemuan delegasi AS dengan pejabat pemerintahan China yang digelar pada 3-4 Mei kemarin. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membicarakan isu-isu terkait perdagangan.
Namun, sepanjang pertemuan tersebut berlangsung terdapat pesimisme bahwa hasil yang manis dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Benar saja, pada sore kemarin (4/5/2018) selepas perdagangan IHSG ditutup, media milik pemerintah China Xinhua melaporkan bahwa meskipun kedua belah pihak telah menyetujui beberapa hal, masih terdapat ketidaksepahaman yang besar terkait beberapa hal lainnya, seperti dilansir dari Reuters.
Kedua belah pihak dilaporkan setuju untuk berdialog guna menjembatani ketidaksepahaman tersebut. Namun, detail dari kesepakatan yang sudah disetujui bersama tak dijelaskan secara lebih lanjut.
Di sisi lain, rombongan dari AS yang salah satunya berisi sang Menteri Keuangan Steve Mnuchin telah bertolak balik ke AS tanpa memberikan pernyataan terlebih dahulu mengenai pertemuan yang begitu diawasai pelaku pasar tersebut. Ketidakpastian yang ada di benak pelaku pasar saat masih sangat besar hingga kini.
Dari dalam negeri, kinerja keuangan emiten-emiten berkapitalisasi pasar besar, utamanya yang berasal dari sektor jasa keuangan, ikut menekan laju bursa saham dalam negeri.
Sepanjang kuartal-I 2018, laba bersih PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tercatat sebesar sebesar Rp 3,66 triliun, lebih rendah dibandingkan rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 3,91 triliun. Laba bersih Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sepanjang kuartal-I tercatat sebesar Rp 7,4 triliun, di bawah konsensus yang sebesar Rp 8,05 triliun.
Laba bersih PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar Rp 5,9 triliun, lebih rendah dari konsensus yang yang sebesar Rp 6 triliun. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,5 triliun, di bawah konsensus yang sebesar yang sebesar Rp 5,6 triliun.
Mengecewakannya kinerja emiten-emiten perbankan tentu merupakan lampu merah bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Jika kinerja emiten perbankan tak maksimal, maka dapat diproyeksikan bahwa data pertumbuhan ekonomi kuartal-I yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 Mei mendatang juga tak akan menggembirakan.
Aksi jual di pasar saham pun menjadi semakin tak terbendung.
(ank/ank) Next Article Melesat ke Bulan, IHSG Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa!
DIhajar Luar-Dalam
Anjloknya IHSG tak lepas dari tekanan sentimen eksternal. Pada hari Selasa waktu setempat (2/5/2018), hasil pertemuan dari the Federal Reserve selaku bank sentral AS diumumkan. Walaupun suku bunga acuan tetap ditahan seperti estimasi pelaku pasar, the Fed mengungkapkan bahwa inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah peningkatan dari pernyataan pada bulan maret lalu, dimana kala itu the Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
![]() |
Tak sampai disitu, the Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed. Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%. Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya.
Pelaku pasar pun dibuat gusar oleh hal tersebut. Pasalnya, inflasi yang sudah semakin mendekati target dan bahkan bisa melebihinya kembali membuka ruang bagi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Masalahnya, kenaikan suku bunga yang kelewat agresif bisa 'mematikan' ekonomi Negeri Paman Sam. Jika hal ini yang terjadi, maka permintaan ekspor dari negara-negara mitra dagang akan melemah.
Kemudian, investor juga dipaksa bermain aman sembari menentukan hasil pertemuan delegasi AS dengan pejabat pemerintahan China yang digelar pada 3-4 Mei kemarin. Pertemuan ini dimaksudkan untuk membicarakan isu-isu terkait perdagangan.
Namun, sepanjang pertemuan tersebut berlangsung terdapat pesimisme bahwa hasil yang manis dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Benar saja, pada sore kemarin (4/5/2018) selepas perdagangan IHSG ditutup, media milik pemerintah China Xinhua melaporkan bahwa meskipun kedua belah pihak telah menyetujui beberapa hal, masih terdapat ketidaksepahaman yang besar terkait beberapa hal lainnya, seperti dilansir dari Reuters.
Kedua belah pihak dilaporkan setuju untuk berdialog guna menjembatani ketidaksepahaman tersebut. Namun, detail dari kesepakatan yang sudah disetujui bersama tak dijelaskan secara lebih lanjut.
Di sisi lain, rombongan dari AS yang salah satunya berisi sang Menteri Keuangan Steve Mnuchin telah bertolak balik ke AS tanpa memberikan pernyataan terlebih dahulu mengenai pertemuan yang begitu diawasai pelaku pasar tersebut. Ketidakpastian yang ada di benak pelaku pasar saat masih sangat besar hingga kini.
Dari dalam negeri, kinerja keuangan emiten-emiten berkapitalisasi pasar besar, utamanya yang berasal dari sektor jasa keuangan, ikut menekan laju bursa saham dalam negeri.
Sepanjang kuartal-I 2018, laba bersih PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tercatat sebesar sebesar Rp 3,66 triliun, lebih rendah dibandingkan rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 3,91 triliun. Laba bersih Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sepanjang kuartal-I tercatat sebesar Rp 7,4 triliun, di bawah konsensus yang sebesar Rp 8,05 triliun.
Laba bersih PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat sebesar Rp 5,9 triliun, lebih rendah dari konsensus yang yang sebesar Rp 6 triliun. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,5 triliun, di bawah konsensus yang sebesar yang sebesar Rp 5,6 triliun.
Mengecewakannya kinerja emiten-emiten perbankan tentu merupakan lampu merah bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Jika kinerja emiten perbankan tak maksimal, maka dapat diproyeksikan bahwa data pertumbuhan ekonomi kuartal-I yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7 Mei mendatang juga tak akan menggembirakan.
Aksi jual di pasar saham pun menjadi semakin tak terbendung.
(ank/ank) Next Article Melesat ke Bulan, IHSG Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular