
Special Research
Sejuta Rumah: Program Vital Yang Dinomorduakan
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
02 May 2018 18:29

Sandang, pangan, dan papan.
Itulah tiga konsep kebutuhan pokok manusia yang diakui di konstitusi negara ini. Anak bangsa ini baru disebut berhasil memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari jika telah bisa memenuhi kebutuhan pakaian, makanan, dan perumahan.
Di antara ketiga poin tersebut, perumahan menjadi kebutuhan pokok yang paling sulit dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya, karena tingginya harga tanah dan rumah. Menurut data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat (PPDPP), hingga 2015 terdapat 11.459.875 rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Artinya, belasan juta keluarga di Indonesia masih tinggal di rumah sewa, kontrakan, atau menumpang di rumah mertua dan kerabat mereka. Penyebabnya, harga rumah (baik rumah tapak maupun rumah susun) yang masih sangat tinggi. Situasi ini berujung pada tingginya selisih pemenuhan dari total kebutuhan rumah (backlog) nasional.
Betul bahwa perbankan menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, problemnya terletak pada penghasilan masyarakat menengah ke bawah, yang belum cukup untuk memenuhi uang muka (down payment/ DP) sebagai syarat utama pengucuran kredit perumahan.
Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mencapai 20 persen dari populasi Indonesia. Dari situ, jumlah backlog perumahan diprediksi mencapai 10 juta hingga 12 juta unit rumah.
"Kebutuhan masyarakat setiap tahun butuh satu juta dan hanya 60% yang bisa dipenuhi," ucapnya di sela Investor Gathering 2017 PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF di Jakarta, Senin (27/3).
Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah menggariskan tugas pemerintah dalam menjamin ketersediaan rumah di Pasal 28 H ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat."
Amanah tersebut selanjutnya diderivasikan dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang memperjelas bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi setiap orang terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Empat Batu Penjuru Program Rumah Murah
Periode & Milestone
Pada tahun pertama peluncurannya, pemerintah mengambil dana APBN senilai Rp 2,6 triliun yang digulirkan untuk membantu MBR memiliki rumah. Namun pada 2011, program ini tak berjalan optimal dengan realisasi 7.959 unit rumah atau hanya 4,32% dari target yang dipatok sebanyak 184.100 rumah. Pada tahun-tahun selanjutnya, program ini berjalan lebih baik.
Menyusul penggabungan antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat di era Jokowi, program rumah murah ditingkatkan akselerasinya. Pemerintah merilis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Selanjutnya, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.05/2016 tanggal 19 Februari 2016 maka PPDPP ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Melalui program tersebut, realisasi program FLPP terus meningkat hingga menyentuh rekor tertingginya senilai Rp 6 triliun pada tahun 2015. Namun sayangnya, pertumbuhan tersebut harus terhenti pada tahun lalu karena pemangkasan anggaran dari alokasi semula Rp 9,7 triliun menjadi Rp 3,1 triliun.
Pemangkasan tersebut menjadi sinyal bahwa pemerintah menurunkan skala prioritas penyediaan rumah murah dalam program pembangunan politiknya. Sebagaimana jamak diketahui, APBN merupakan instrumen fiskal yang mencerminkan keberpihakan politik dan skala prioritas pemerintah dalam pembangunan.
Pada tahun 2017, pengurangan subsidi untuk FLPP senilai Rp 6,6 triliun tersebut terjadi di tengah penaikan subsidi listrik sebesar Rp24,2 triliun, menjadi Rp 191,5 triliun. Artinya, pemerintah menilai kebutuhan subsidi energi lebih mendesak daripada subsidi rumah. Ini merupakan pilihan sulit di tengah membengkaknya defisit APBN.
BTN Menjadi Agen Utama
Pada awal tahun ini, pelaku industri perumahan sempat dikejutkan oleh kabar raibnya nama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dari daftar bank penyalur KPR di bawah program FLPP. Disebutkan mengejutkan karena BTN pada tahun lalu menjadi bank terbesar dalam penyaluran FLPP dengan kontribusi sebesar 87%.
Hal itu terjadi karena kesalahpahaman mengenai skema KPR subsidi, di mana pemerintah awalnya menilai BTN lebih cocok menyalurkan KPR subsidi dalam skema non-FLPP yakni subsidi selisih bunga (SSB).
Pada akhirnya, BTN yang tak lain adalah bank terbesar dalam hal penyaluran KPR, masuk kembali ke program FLPP. Perseroan akan mengucurkan kembali KPR berskema FLPP pada semester kedua setelah nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) dengan Kementerian PUPR diteken.
Menurut catatan CNBC Indonesia, BTN tahun lalu telah menyalurkan KPR subsidi senilai Rp 75,28 triliun untuk 666.806 unit rumah. Realisasi tersebut tercatat mencapai 100,12% atau melebihi target BTN pada 2017 sebesar 666.000 unit rumah.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa penyaluran FLPP tidak bisa dilepaskan dari bank yang puluhan tahun menancapkan kukunya di pasar KPR dan menjadi spesialis KPR nasional tersebut. Maklum saja, BTN saat ini menguasai 37,3% pasar KPR nasional.
Bank-bank lain belum bisa menggantikan expertise perseroan di pasar KPR ini, di samping nilai marginnya yang kalah menggiurkan dibandingkan dengan kredit berskala besar lainnya, seperti kredit UMKM atau kredit korporasi atau bahkan KPR nonsubsidi.
Untuk tahun ini, Bank BTN menargetkan penyaluran antara 15.000 hingga 20.000 unit hunian dengan skema FLPP. Adapun, untuk penyaluran kredit selisih subsidi bunga (SSB) ditargetkan mencapai 225.000 unit rumah.
Dari target tersebut, sampai dengan triwulan I/2018, nilai penyaluran KPR bersubsidi telah mencapai Rp 9 triliun, untuk membangun 176.208 rumah murah. Capaian tersebut setara dengan 29,37% dari target yang dipatok BTN dalam program Sejuta Rumah yakni 600.000 unit.
Detil KPR BTN Subsidi
1. 1. Uang muka hanya 1% atau Rp 1,4 juta, dari nilai rumah subsidi (sekitar Rp 140 juta)
2. 2. Suku bunga tetap (flat) sebesar 5%
3. 3. Jangka waktu hingga 20 tahun
4. 4. Bebas pajak pertambahan nilai (PPN)
5. 5. Bekerja-sama dengan anggota REI (Real Estate Indonesia)
Sumber: BTN, diolah
Secara umum, BTN menargetkan pertumbuhan kredit sekitar 20% pada 2018, dengan 90% di antaranya disumbangkan oleh pembiayaan perumahan. Sampai dengan Maret 2018, perseroan telah menyalurkan kredit senilai Rp 202,5 triliun.
Dari capaian tersebut, KPR bersubsidi memimpin dari sisi pertumbuhan maupun kontribusi, yakni tumbuh sebesar 32,96% atau senilai Rp 79,15 triliun (setara dengan 39,09% dari total kredit perseroan).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article Tekan Biaya Dana, BTN Kejar Aset Rp 400 Triliun
Itulah tiga konsep kebutuhan pokok manusia yang diakui di konstitusi negara ini. Anak bangsa ini baru disebut berhasil memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari jika telah bisa memenuhi kebutuhan pakaian, makanan, dan perumahan.
Di antara ketiga poin tersebut, perumahan menjadi kebutuhan pokok yang paling sulit dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya, karena tingginya harga tanah dan rumah. Menurut data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat (PPDPP), hingga 2015 terdapat 11.459.875 rumah tangga yang belum memiliki rumah.
![]() |
Betul bahwa perbankan menyediakan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR). Namun, problemnya terletak pada penghasilan masyarakat menengah ke bawah, yang belum cukup untuk memenuhi uang muka (down payment/ DP) sebagai syarat utama pengucuran kredit perumahan.
Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mencapai 20 persen dari populasi Indonesia. Dari situ, jumlah backlog perumahan diprediksi mencapai 10 juta hingga 12 juta unit rumah.
"Kebutuhan masyarakat setiap tahun butuh satu juta dan hanya 60% yang bisa dipenuhi," ucapnya di sela Investor Gathering 2017 PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF di Jakarta, Senin (27/3).
Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya telah menggariskan tugas pemerintah dalam menjamin ketersediaan rumah di Pasal 28 H ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat."
Amanah tersebut selanjutnya diderivasikan dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang memperjelas bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi setiap orang terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Empat Batu Penjuru Program Rumah Murah
Periode & Milestone
- Juli 2010 : Keputusan Menteri Keuangan 290/KMK.05/2010 tentang Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Perumahan (PPP) dirilis
- Oktober 2010 : Kementerian Perumahan Rakyat meluncurkan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan)
- Februari 2011 : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) gelar rakor tentang rumah murah untuk mendorong pelaksanan program FLPP
- April 2015 : Presiden Joko Widodo meluncurkan program Sejuta Rumah (untuk 5 tahun), yang tak lain adalah versi baru program FLPP
Pada tahun pertama peluncurannya, pemerintah mengambil dana APBN senilai Rp 2,6 triliun yang digulirkan untuk membantu MBR memiliki rumah. Namun pada 2011, program ini tak berjalan optimal dengan realisasi 7.959 unit rumah atau hanya 4,32% dari target yang dipatok sebanyak 184.100 rumah. Pada tahun-tahun selanjutnya, program ini berjalan lebih baik.
Menyusul penggabungan antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat di era Jokowi, program rumah murah ditingkatkan akselerasinya. Pemerintah merilis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 15 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Selanjutnya, melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.05/2016 tanggal 19 Februari 2016 maka PPDPP ditetapkan sebagai instansi pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Melalui program tersebut, realisasi program FLPP terus meningkat hingga menyentuh rekor tertingginya senilai Rp 6 triliun pada tahun 2015. Namun sayangnya, pertumbuhan tersebut harus terhenti pada tahun lalu karena pemangkasan anggaran dari alokasi semula Rp 9,7 triliun menjadi Rp 3,1 triliun.
Pemangkasan tersebut menjadi sinyal bahwa pemerintah menurunkan skala prioritas penyediaan rumah murah dalam program pembangunan politiknya. Sebagaimana jamak diketahui, APBN merupakan instrumen fiskal yang mencerminkan keberpihakan politik dan skala prioritas pemerintah dalam pembangunan.
Pada tahun 2017, pengurangan subsidi untuk FLPP senilai Rp 6,6 triliun tersebut terjadi di tengah penaikan subsidi listrik sebesar Rp24,2 triliun, menjadi Rp 191,5 triliun. Artinya, pemerintah menilai kebutuhan subsidi energi lebih mendesak daripada subsidi rumah. Ini merupakan pilihan sulit di tengah membengkaknya defisit APBN.
BTN Menjadi Agen Utama
Pada awal tahun ini, pelaku industri perumahan sempat dikejutkan oleh kabar raibnya nama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) dari daftar bank penyalur KPR di bawah program FLPP. Disebutkan mengejutkan karena BTN pada tahun lalu menjadi bank terbesar dalam penyaluran FLPP dengan kontribusi sebesar 87%.
Hal itu terjadi karena kesalahpahaman mengenai skema KPR subsidi, di mana pemerintah awalnya menilai BTN lebih cocok menyalurkan KPR subsidi dalam skema non-FLPP yakni subsidi selisih bunga (SSB).
Pada akhirnya, BTN yang tak lain adalah bank terbesar dalam hal penyaluran KPR, masuk kembali ke program FLPP. Perseroan akan mengucurkan kembali KPR berskema FLPP pada semester kedua setelah nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) dengan Kementerian PUPR diteken.
Menurut catatan CNBC Indonesia, BTN tahun lalu telah menyalurkan KPR subsidi senilai Rp 75,28 triliun untuk 666.806 unit rumah. Realisasi tersebut tercatat mencapai 100,12% atau melebihi target BTN pada 2017 sebesar 666.000 unit rumah.
![]() |
Fakta tersebut menunjukkan bahwa penyaluran FLPP tidak bisa dilepaskan dari bank yang puluhan tahun menancapkan kukunya di pasar KPR dan menjadi spesialis KPR nasional tersebut. Maklum saja, BTN saat ini menguasai 37,3% pasar KPR nasional.
Bank-bank lain belum bisa menggantikan expertise perseroan di pasar KPR ini, di samping nilai marginnya yang kalah menggiurkan dibandingkan dengan kredit berskala besar lainnya, seperti kredit UMKM atau kredit korporasi atau bahkan KPR nonsubsidi.
Untuk tahun ini, Bank BTN menargetkan penyaluran antara 15.000 hingga 20.000 unit hunian dengan skema FLPP. Adapun, untuk penyaluran kredit selisih subsidi bunga (SSB) ditargetkan mencapai 225.000 unit rumah.
Dari target tersebut, sampai dengan triwulan I/2018, nilai penyaluran KPR bersubsidi telah mencapai Rp 9 triliun, untuk membangun 176.208 rumah murah. Capaian tersebut setara dengan 29,37% dari target yang dipatok BTN dalam program Sejuta Rumah yakni 600.000 unit.
![]() |
Detil KPR BTN Subsidi
1. 1. Uang muka hanya 1% atau Rp 1,4 juta, dari nilai rumah subsidi (sekitar Rp 140 juta)
2. 2. Suku bunga tetap (flat) sebesar 5%
3. 3. Jangka waktu hingga 20 tahun
4. 4. Bebas pajak pertambahan nilai (PPN)
5. 5. Bekerja-sama dengan anggota REI (Real Estate Indonesia)
Sumber: BTN, diolah
Secara umum, BTN menargetkan pertumbuhan kredit sekitar 20% pada 2018, dengan 90% di antaranya disumbangkan oleh pembiayaan perumahan. Sampai dengan Maret 2018, perseroan telah menyalurkan kredit senilai Rp 202,5 triliun.
Dari capaian tersebut, KPR bersubsidi memimpin dari sisi pertumbuhan maupun kontribusi, yakni tumbuh sebesar 32,96% atau senilai Rp 79,15 triliun (setara dengan 39,09% dari total kredit perseroan).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dru) Next Article Tekan Biaya Dana, BTN Kejar Aset Rp 400 Triliun
Most Popular