Kuartal I-2018, Freeport Dulang Rp 24,65 T dari Tambang Papua
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
25 April 2018 15:40

Jakarta, CNBC Indonesia - Freeport McMoran mencatatkan penjualan konsolidasi 319 juta pound (114,7 ribu ton) tembaga, dan 603.000 ounces (18,75 ton) emas dari tambang Grasberg di Papua, Indonesia, pada tiga bulan awal di tahun ini. Angka ini mengindikasikan peningkatan dua kali lipat dari capaian kuartal-I 2017.
Seperti diketahui, Freeport Mc Moran memiliki 90,64% saham dari anak perusahaannya PT Freeport Indonesia, yang mengoperasikan tambang Grasberg, yang merupakan salah satu pertambangan tembaga dan emas terbesar di dunia.
Penjualan tembaga dan emas Grasberg kuartal-I 2018 masing-masing naik 100,64% dan 156,46%, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dengan harga rata-rata tembaga sebesar US$3,06/pound, maka Freeport mampu mengantongi US$976,14 juta dari penjualan tembaga kuartal I-2018.
Sementara, dengan harga emas rata-rata sebesar US$1.312/ounce, perusahaan yang dipimpin oleh Richard C. Akerson ini, mampu mendulang US$791,14 juta dari penjualan emas di tiga bulan awal tahun ini.
Apabila ditotal, Freeport mendapatkan US$1,77 miliar (atau sekitar Rp24,65 triliun) dari penjualan emas dan tembaga selama 3 bulan terakhir dari tambang Grasberg.
Peningkatan penjualan mineral pada kuartal I-2018 ini disebabkan tingkat operasional yang jauh lebih rendah pada kuartal I-2017, akibat pembatasan ekspor bahan mentah dari pemerintah Indonesia dari pertengahan Januari 2017 hingga pertengahan April 2017.
Meski mencatatkan pertumbuhan, produksi emas dan tembaga Freeport dari tambang Indonesia di kuartal I-2018 dilaporkan mengalami hambatan dari laju alir (troughput rates) pabrik pengolahan yang lebih rendah dari ekspektasi, seiring sedang berlangsungnya kegiatan pemeliharaan pada sistem aliran bijih tambang. Kegiatan perbaikan saat ini sedang dilangsungkan untuk memulihkan produktivitas dan daya tahan sistem.
Apabila tingkatan yang diinginkan dapat tercapai untuk operasional ke depan, penjualan tembaga dan emas dari tambang Indonesia, masing-masing diperkirakan mencapai 1,15 miliar pounds (52,16 juta ton) dan 2,4 juta ounces (746,48 ton), hingga akhir 2018.
Namun demikian, proyeksi penjualan tahun 2018 tersebut sangat tergantung pada sejumlah faktor, termasuk performa operasional, produktivitas tenaga kerja, waktu pengiriman, dan dinamika regulasi di Indonesia.
PT Freepot Indonesia memang masih menanti hasil negosiasi dengan permerintah Indonesia terkait resolusi hak tambang perusahaan secara jangka panjang. Hal itu akan menentukan nasib perusahaan setelah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara dari pemerintah Indonesia habis pada 30 Juni 2018.
Dari perkembangan terbaru, saat ini Freeport tengah membahas kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait aturan pembuangan limbah tailing, dalam jangka waktu 6 bulan ke depan.
"Kami sebelumnya meneken persetujuan dengan pemerintah bahwa selama tambang beroperasi, kami bisa menyimpan 50% tailing di darat. Sekarang, mereka mengatakan bahwa besarnya harus 95%, yang sulit dipenuhi," tutur Chief Executive Officer (CEO) Freeport, Richard Adkerson, sebagaimana dikutip Reuters.
Pemerintah Indonesia sebelumnya menyatakan, operasi Freeport tidak sesuai rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL). Perusahaan juga dinilai gagal mengendalikan polusi di udara, laut, sungai, dan hutan akibat limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Di sisi lain, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu menemukan pasir sisa tambang Freeport meluber hingga ke laut. Hal ini terjadi karena fasilitas yang ada tidak cukup menampung limbah yang bertambah dari 100.000 ton/hari pada tahun 1990 menjadi 300.000 ton/hari pada 2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Laba Freeport Naik 200% Jadi Rp 9,6 T di Kuartal I-2018
Seperti diketahui, Freeport Mc Moran memiliki 90,64% saham dari anak perusahaannya PT Freeport Indonesia, yang mengoperasikan tambang Grasberg, yang merupakan salah satu pertambangan tembaga dan emas terbesar di dunia.
Penjualan tembaga dan emas Grasberg kuartal-I 2018 masing-masing naik 100,64% dan 156,46%, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dengan harga rata-rata tembaga sebesar US$3,06/pound, maka Freeport mampu mengantongi US$976,14 juta dari penjualan tembaga kuartal I-2018.
Apabila ditotal, Freeport mendapatkan US$1,77 miliar (atau sekitar Rp24,65 triliun) dari penjualan emas dan tembaga selama 3 bulan terakhir dari tambang Grasberg.
![]() |
Peningkatan penjualan mineral pada kuartal I-2018 ini disebabkan tingkat operasional yang jauh lebih rendah pada kuartal I-2017, akibat pembatasan ekspor bahan mentah dari pemerintah Indonesia dari pertengahan Januari 2017 hingga pertengahan April 2017.
Meski mencatatkan pertumbuhan, produksi emas dan tembaga Freeport dari tambang Indonesia di kuartal I-2018 dilaporkan mengalami hambatan dari laju alir (troughput rates) pabrik pengolahan yang lebih rendah dari ekspektasi, seiring sedang berlangsungnya kegiatan pemeliharaan pada sistem aliran bijih tambang. Kegiatan perbaikan saat ini sedang dilangsungkan untuk memulihkan produktivitas dan daya tahan sistem.
Apabila tingkatan yang diinginkan dapat tercapai untuk operasional ke depan, penjualan tembaga dan emas dari tambang Indonesia, masing-masing diperkirakan mencapai 1,15 miliar pounds (52,16 juta ton) dan 2,4 juta ounces (746,48 ton), hingga akhir 2018.
Namun demikian, proyeksi penjualan tahun 2018 tersebut sangat tergantung pada sejumlah faktor, termasuk performa operasional, produktivitas tenaga kerja, waktu pengiriman, dan dinamika regulasi di Indonesia.
PT Freepot Indonesia memang masih menanti hasil negosiasi dengan permerintah Indonesia terkait resolusi hak tambang perusahaan secara jangka panjang. Hal itu akan menentukan nasib perusahaan setelah Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara dari pemerintah Indonesia habis pada 30 Juni 2018.
Dari perkembangan terbaru, saat ini Freeport tengah membahas kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait aturan pembuangan limbah tailing, dalam jangka waktu 6 bulan ke depan.
"Kami sebelumnya meneken persetujuan dengan pemerintah bahwa selama tambang beroperasi, kami bisa menyimpan 50% tailing di darat. Sekarang, mereka mengatakan bahwa besarnya harus 95%, yang sulit dipenuhi," tutur Chief Executive Officer (CEO) Freeport, Richard Adkerson, sebagaimana dikutip Reuters.
Pemerintah Indonesia sebelumnya menyatakan, operasi Freeport tidak sesuai rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL). Perusahaan juga dinilai gagal mengendalikan polusi di udara, laut, sungai, dan hutan akibat limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Di sisi lain, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun lalu menemukan pasir sisa tambang Freeport meluber hingga ke laut. Hal ini terjadi karena fasilitas yang ada tidak cukup menampung limbah yang bertambah dari 100.000 ton/hari pada tahun 1990 menjadi 300.000 ton/hari pada 2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Laba Freeport Naik 200% Jadi Rp 9,6 T di Kuartal I-2018
Most Popular