Rupiah Lemah, Yuan Naik dari Rp 2.084 Jadi Rp 2.206,37

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
23 April 2018 12:46
Pergerakan nilai tukar rupiah memperlihatkan tren pelemahan terhadap yuan China semenjak awal tahun ini atau year-to-date (YTD).
Foto: Reuters
Pergerakan nilai tukar rupiah memperlihatkan tren pelemahan terhadap yuan China semenjak awal tahun ini atau year-to-date (YTD). Rupiah telah terdepresiasi hingga 8,24% dari awal tahun ini.

Di awal tahun ini, yuan tercatat di angka Rp 2.084,8. Kemudian di hari ini (23/4/2018) yuan berada di Rp 2.206,37.

Foto: Alfado Agustio


Pelemahan yang terjadi pada rupiah terhadap yuan tidak lepas dari beberapa sentimen, di antaranya perang dagang antara AS dan China hingga yuan menjadi salah satu instrument safe haven asset di samping yen, franch ataupun emas.

Sentimen terbaru yang mendorong yuan menguat terhadap rupiah didorong oleh kecenderungan investor memegang yuan karena konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia terkait ketegangan yang terjadi di Suriah.

Konflik ini membuat investor cenderung untuk bermain aman dengan memilih instrumen investasi yang minim risiko. Seperti diketahui, instrumen minim risiko (safe haven asset) yang saat ini menjadi favorit investor adalah yen Jepang, Swiss franch, dan emas.

Namun seiring berjalannya waktu, yuan juga mulai dilirik sebagai salah satu instrument safe haven asset. Menurut Larry Brainard, Chief Emerging Markets Economist TS Lombard, aset berbasis mata uang yuan saat ini menerima permintaan yang cukup tajam seiring konflik yang tengah mengemuka antara AS dan Rusia.

Mereka menilai pemerintah China merupakan pihak yang bersikap netral terhadap adanya konflik yang terjadi saat ini sehingga mereka menganggap stabilitas pasar keuangan di negara tersebut cukup aman

Lantas apakah pelemahan ini berdampak baik ataukah buruk bagi Indonesia? Mari kita nilai hal tersebut dari indikator kegiatan perdagangan.

China merupakan mitra dagang terbesar bagi Indonesia, Data Badan Pusat Statistik (BPS) Per Maret 2018 menunjukkan, China merupakan pangsa pasar nomor satu ekspor non-migas Indonesia mencapai US$ 6,34 miliar atau mencapai 15,77% dari keseluruhan ekspor non-migas nasional selama periode Januari hingga Maret 2018.

Sementara dari sisi impor, China juga merupakan pangsa pasar nomor satu impor non-migas Indonesia mencapai US$ 10,16 miliar pada periode yang sama. Dari dua fakta ini, memperlihatkan bahwa Indonesia masih mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 3,82 miliar.

Kondisi pelemahan yang terjadi pada rupiah sepertinya dapat membebani perdagangan Indonesia dengan China. Merujuk data bahwa nilai impor Indonesia masih lebih besar dibandingkan nilai ekspor maka dapat menyebabkan arus cadangan devisa yang keluar dapat lebih besar sehingga membuat perekonomian nasional akan menghadapi beban yang cukup besar.

Indonesia perlu menyikapi pelemahan ini dengan menggenjot ekspor nasional guna mengurangi potensi defisit yang membengkak ke depannya seiring dengan nilai impor yang semakin besar. Salah satu yang dapat dilakukan mengintesifkan ekspor minyak kelapa sawit (CPO).

CPO merupakan salah satu komoditi andalan Indonesia ke China dengan nilai ekspor mencapai US$ 2 miliar. Dengan potensi CPO Indonesia yang masih cukup besar, adanya pelemahan rupiah menjadi kesempatan untuk meningkatkan ekspor CPO Indonesia untuk memberikan nilai tambah lagi bagi devisa nasional .
(alf/wed) Next Article 2020, Rupiah Runner Up Terburuk di Asia, Yuan Jadi Juaranya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular