Selain Perang Dagang, Investor RI Harus Antisipasi Risiko Ini

Monica Wareza, CNBC Indonesia
12 April 2018 18:09
Resiko yang harus diperhatikan investor masih berasal dari AS. Yakni, inflasi, pasar obligasi AS dan dampak kebijakan quantitative easing (QE).
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada kuartal I-2018 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah terkoreksi 2,62%. Padahal kuartal I-2017, IHSG menguat 5,12%. Penyebab koreksi IHSG adalah perang dagang Amerika Serikat (AS).

Senior Advisor Pinnacle Investment John D. Rachmat menilai kemungkinan terjadinya perang dagang antara AS dengan China bukan satu-satunya hal yang harus diantisipasi oleh para pelaku pasar. Namun terdapat beberapa risiko global yang tak kalah penting untuk diantisipasi.

"Yang difokuskan market (pasar) saat ini trade war (perang dagang) saja, tapi sebetulnya di luar trade war itu ada risiko lain juga yang saat ini market tidak pay attention (memberikan perhatian)," kata John di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (12/4).

Berikut beberapa hal lainnya yang menurut John D Rahmat perlu diperhatikan oleh investor:

1. Inflasi AS

Rahmat menyebutkan, sebelum munculnya sentimen perang dagang, Wall Street turun karena inflasi. Kondisi pengangguran di AS yang saat ini terus turun masih belum diimbangi dengan kenaikan upah.

"Kalau ekonomi bagus karena bertambahnya pekerjaan dan rekrut orang, unemployment (pengangguran) turun. Perusahaan akhirnya harus menawarkan gaji yang tinggi kalau terus rekrut-rekrut orang dan mau tidak mau kenaikan gaji akan tinggi. Cuma belum kejadian, orang belum fokus tapi itu resiko yang jelas," jelas dia.

2. Dampak kebijakan quantitative easing (QE) dari berbagai bank sentral

Sebelumnya bank sentra seperti Federal Reserve, European Central Bank dan Bank of Japan menerapkan sistem quantitative easing (QE). Tapi beberapa waktu ini kebijakan tersebut berubah menjadi quantitative tightening (QT). " Itu suatu hari akan punya efek," imbuh dia.

Meski saat ini dunia sudah berekspektasi kenaikan suku bunga The Fed akan terjadi hingga tiga atau empat kali tahun ini. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dari gubernur bank sentral jika ekonomi AS akan tumbuh lebih cepat dengan adanya kebijakan pemotongan pajak Trump sehingga muncul kemungkinan pengetatan ekonomi akan terjadi lebih cepat.

3. Pasar obligasi AS

AS kemungkinan akan meningkatkan pasokan obligasi negara hingga 50% lebih tinggi dari tahun lalu untuk menutupi defisit setelah penambahan bugdet hingga US$ 300 miliar (Rp 4.050 triliun). Namun di saat yang sama pembeli obligasi pemerintah AS, terutama bank sentral China dan Jepang beberapa bulan terakhir mulai mengurangi pembeliannya.

"Tadinya kan orang khawatir kalau Amerika [Serikat]  trade war sama China, China kan punya banyak obligasi pemerintah Amerika dan bisa dibanting. Tapi itu menurut saya itu tidak masuk akal karena kalau dibanting kan mereka rugi, dia tidak harus melakukan itu. Tapi tiap auction  kan dia beli nih, ya kurangin saja, tidak usah berenti. Kurangi separo dari yang biasa dia beli itu saja udah susah karena supply-nya mau meledak," jelas dia.

Jika pasokan obligasi AS meningkat sementara permintaan turun, hal ini akan berdampak juga pada obligasi dalam negeri karena yield (imbal hasil) obligasi di sana akan naik.

Sementara itu, John menilai kondisi perekomian Indonesia justru masih baik. "Kalau kita bicara kondisi ekonomi Indonesia sendiri bagus. Tapi situasi pasar global goyang. Kita mau tidak mau harus mendapat dampaknya," tutur dia.

"Saat ini masanya investor hati-hati," kata dia.


(roy/roy) Next Article Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular