
IHSG Dibuka Menguat Tipis dan Masih Rawan Koreksi
Tim CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
09 April 2018 09:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat tipis 0,08% ke level 6.180,26. Penguatan tersebut seirama dengan pasar saham asia, yang saat ini mayoritas berada di zona hijau.
Saham-saham yang menjadi penopang penguatan IHSG, diantarnya saham UNTR yang naik 3,42%, saham BBCA naik 0,55%, saham BBRI naik 0,57% dan saham TLKM naik 0,27%.
Bursa saham utama Asia pada perdagangangan pagi ini dibuka mayortitas masih terkonsolidasi. Kinerja pasar saham masih belum menemukan sentimen positif yang kuat untuk melepaskan diri dari isu perang dagang.
Indeks Nikkei 225 turun tipis 0,02% atau 4,08 poin ke 21.563,44 di awal perdagangan. Namun saat ini terpantau sudah berada di teritori positif menguat 0,13%. Sementara indeks Topix dibuka melemah 0,06% atau 1,07 poin ke 1.718,23.
Demikian pula Indeks Kospi di Korea Selatan turun tipis 0,07% menjadi 2.427,97. Namun saat ini terpantau menguat 0,43%.
Sementara itu, di waktu yang sama indeks Australia ASX 200 melemah 0,25% menjadi 5.774,5. Bursa saham Australian saat ini tercatat sudah menguat 0,15%.
Bursa saham Singapura tercatat dibuka turun 0,3%, indeks Hang Seng dibuka menguat 0,66% dan indeks Shanghai Composite naik 0,19%.
Koreksi bursa Asia pada awal perdagangan pagi ini, dipicu oleh penerapan tarif baru terhadap barang China senilai US$ 100 miliar. Presiden Donald Trump, meminta Kantor Perwakilan Dagang AS untuk mempertimbangkan pengenaan bea masuk terhadap China senilai US$ 100 miliar (Rp 1.377 triliun).
Dalam menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan China hari Jumat mengatakan negaranya tidak akan segan bereaksi dengan respons besar terhadap tarif baru AS.
Selain dipicu eskalasi perang dagang, bursa AS sedang mengamati data ketenagakerjaan di luar sektor pertanian yang dirilis pada Jum'at. Data tersebut menunjukkan kenaikan 103.000 jauh dari ekspektasi bulan lalu seniali 193.000. Selain itu, rencana The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tahun ini turut diwaspadai investor dalam mengamati koreksi di bursa saham.
Pada akhir pekan lalu, Wall Street terkoreksi signifikan akibat panasnya tensi perang dagang. Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi hingga 2,34%. Sedangkan S&P 500 turun 2,2% dan Nasdaq anjlok 2,3%. Selama sepekan kemarin, DJIA melemah 0,7%, S&P 500 terkoreksi 1,4%, dan Nasdaq berkurang 2,1%.
Untuk perdagangan hari ini, sentimen negatif akan datang dari Wall Street yang terkoreksi cukup dalam pada perdagangan akhir pekan lalu. Biasanya koreksi maupun laju Wall Street akan memberi warna pada perdagangan di Benua Kuning.
Isu perang dagang juga masih perlu mendapat perhatian. Kudlow lagi-lagi mencoba menenangkan pasar.
Mengutip CNBC, Kudlow mengakui bahwa negosiasi soal tarif bea masuk dengan China memang belum menemui kesimpulan. Namun, dia menegaskan bahwa sejauh ini belum ada perang dagang antara AS dengan China.
"Ini bukan perang dagang. Apa yang terjadi merupakan pendekatan emosional yang masih moderat, tetapi bukan perang dagang," tegasnya.
Namun, Kudlow mengakui bahwa dirinya kecewa dengan China. Pasalnya, AS sering mengeluhkan mengenai hak cipta tetapi justru dibalas oleh China dengan kebijakan proteksionistik.
"Respons China terhadap keluhan kami memang kurang memuaskan. Tidak ada rahasia di sini, mereka menerapkan batasan perdagangan dan tarif yang tinggi. Mereka harus berhenti mencuri kekayaan intelektual," jelas Kusdlow.
Sampai saat ini belum ada 'pantun' balasan dari China. Bila Beijing kembali membalas sampai urat leher keluar, maka investor akan kembali grogi dan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko seperti saham akan ditinggalkan, dan IHSG bisa terkoreksi lagi.
Perkembangan harga minyak juga kemungkinan belum bisa memberi dorongan bagi penguatan IHSG. Akibat sentimen perang dagang, harga si emas hitam ikut tertekan. Koreksi harga minyak akan menjadi sentimen negatif bagi emiten migas dan pertambangan, dan bisa ikut menekan IHSG secara keseluruhan.
Namun, ada peluang harga minyak bisa rebound karena beberapa faktor. Pertama adalah Arab Saudi menaikkan harga jual minyaknya sebesar US$ 10 sen/barel. Kenaikan harga minyak Arab Saudi akan mempengaruhi harga minyak dunia karena status Negeri Padang Pasir sebagai salah satu eksportir minyak utama.
Kedua adalah munculnya klaim pemberontak Suriah atas serangan kimia yang dilakukan oleh rezim Bashar Assad berpeluang mengundang campur tangan militer AS secara sepihak ke wilayah konflik tersebut. Intervensi AS akan membuat krisis kian meruncing karena Rusia jauh-jauh hari telah mengancam akan membalas serangan NATO yang mengancam posisi pasukannya di Suriah.
Serangan AS juga bisa memicu aksi balasan oleh kubu pendukung pemerintahan Bashar seperti Hizbullah, sehingga meningkatkan eskalasi krisis dan mengancam pasokan minyak dunia. Akibatnya, harga energi utama dunia tersebut berpeluang naik dalam jangka pendek karena faktor psikologis.
Bila faktor-faktor tersebut mampu mendongkrak harga minyak, maka akan menjadi dorongan penguatan IHSG. Emiten migas dan pertambangan akan memperoleh angin segar.
Sementara kabar dari emiten di bursa juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebanyak 280 emiten atau 60,34% mencatatkan kenaikan laba bersih sepanjang 2017 dibandingkan 2016. Masih ada sekitar 100 emiten yang belum menyampaikan laporan keuangan 2017 sehingga jumlah perusahaan yang mengalami pertumbuhan laba bersih bisa bertambah.
Total nilai aset 464 emiten yang sudah menyampaikan laporan keuangan mengalami kenaikan 11,11% menjadi Rp 10.064 triliun dari Rp 9.057 triliun pada 2016. Sedangkan total ekuitas naik 12,45% menjadi Rp 2.869 triliun dari Rp 2.551 triliun, total pendapatan naik 13,03% menjadi Rp 3.134 triliun dari Rp 2.772 triliun, dan total laba bersih naik 22% menjadi Rp 347 triliun dari Rp 284 triliun.
Kinerja emiten yang cukup solid ini bisa menjadi pemanis yang menarik minat investor. Apalagi sejak awal tahun IHSG sudah terkoreksi 2,84% sehingga harga aset menjadi lebih terjangkau dan siap untuk diborong.
(hps) Next Article Menanti Jeda Rally, IHSG Pagi Ini Masih Menguat
Saham-saham yang menjadi penopang penguatan IHSG, diantarnya saham UNTR yang naik 3,42%, saham BBCA naik 0,55%, saham BBRI naik 0,57% dan saham TLKM naik 0,27%.
Bursa saham utama Asia pada perdagangangan pagi ini dibuka mayortitas masih terkonsolidasi. Kinerja pasar saham masih belum menemukan sentimen positif yang kuat untuk melepaskan diri dari isu perang dagang.
Demikian pula Indeks Kospi di Korea Selatan turun tipis 0,07% menjadi 2.427,97. Namun saat ini terpantau menguat 0,43%.
Sementara itu, di waktu yang sama indeks Australia ASX 200 melemah 0,25% menjadi 5.774,5. Bursa saham Australian saat ini tercatat sudah menguat 0,15%.
Bursa saham Singapura tercatat dibuka turun 0,3%, indeks Hang Seng dibuka menguat 0,66% dan indeks Shanghai Composite naik 0,19%.
Koreksi bursa Asia pada awal perdagangan pagi ini, dipicu oleh penerapan tarif baru terhadap barang China senilai US$ 100 miliar. Presiden Donald Trump, meminta Kantor Perwakilan Dagang AS untuk mempertimbangkan pengenaan bea masuk terhadap China senilai US$ 100 miliar (Rp 1.377 triliun).
Dalam menanggapi hal tersebut, Menteri Perdagangan China hari Jumat mengatakan negaranya tidak akan segan bereaksi dengan respons besar terhadap tarif baru AS.
Selain dipicu eskalasi perang dagang, bursa AS sedang mengamati data ketenagakerjaan di luar sektor pertanian yang dirilis pada Jum'at. Data tersebut menunjukkan kenaikan 103.000 jauh dari ekspektasi bulan lalu seniali 193.000. Selain itu, rencana The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tahun ini turut diwaspadai investor dalam mengamati koreksi di bursa saham.
Pada akhir pekan lalu, Wall Street terkoreksi signifikan akibat panasnya tensi perang dagang. Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terkoreksi hingga 2,34%. Sedangkan S&P 500 turun 2,2% dan Nasdaq anjlok 2,3%. Selama sepekan kemarin, DJIA melemah 0,7%, S&P 500 terkoreksi 1,4%, dan Nasdaq berkurang 2,1%.
Untuk perdagangan hari ini, sentimen negatif akan datang dari Wall Street yang terkoreksi cukup dalam pada perdagangan akhir pekan lalu. Biasanya koreksi maupun laju Wall Street akan memberi warna pada perdagangan di Benua Kuning.
Isu perang dagang juga masih perlu mendapat perhatian. Kudlow lagi-lagi mencoba menenangkan pasar.
Mengutip CNBC, Kudlow mengakui bahwa negosiasi soal tarif bea masuk dengan China memang belum menemui kesimpulan. Namun, dia menegaskan bahwa sejauh ini belum ada perang dagang antara AS dengan China.
"Ini bukan perang dagang. Apa yang terjadi merupakan pendekatan emosional yang masih moderat, tetapi bukan perang dagang," tegasnya.
Namun, Kudlow mengakui bahwa dirinya kecewa dengan China. Pasalnya, AS sering mengeluhkan mengenai hak cipta tetapi justru dibalas oleh China dengan kebijakan proteksionistik.
"Respons China terhadap keluhan kami memang kurang memuaskan. Tidak ada rahasia di sini, mereka menerapkan batasan perdagangan dan tarif yang tinggi. Mereka harus berhenti mencuri kekayaan intelektual," jelas Kusdlow.
Sampai saat ini belum ada 'pantun' balasan dari China. Bila Beijing kembali membalas sampai urat leher keluar, maka investor akan kembali grogi dan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko seperti saham akan ditinggalkan, dan IHSG bisa terkoreksi lagi.
Perkembangan harga minyak juga kemungkinan belum bisa memberi dorongan bagi penguatan IHSG. Akibat sentimen perang dagang, harga si emas hitam ikut tertekan. Koreksi harga minyak akan menjadi sentimen negatif bagi emiten migas dan pertambangan, dan bisa ikut menekan IHSG secara keseluruhan.
Namun, ada peluang harga minyak bisa rebound karena beberapa faktor. Pertama adalah Arab Saudi menaikkan harga jual minyaknya sebesar US$ 10 sen/barel. Kenaikan harga minyak Arab Saudi akan mempengaruhi harga minyak dunia karena status Negeri Padang Pasir sebagai salah satu eksportir minyak utama.
Kedua adalah munculnya klaim pemberontak Suriah atas serangan kimia yang dilakukan oleh rezim Bashar Assad berpeluang mengundang campur tangan militer AS secara sepihak ke wilayah konflik tersebut. Intervensi AS akan membuat krisis kian meruncing karena Rusia jauh-jauh hari telah mengancam akan membalas serangan NATO yang mengancam posisi pasukannya di Suriah.
Serangan AS juga bisa memicu aksi balasan oleh kubu pendukung pemerintahan Bashar seperti Hizbullah, sehingga meningkatkan eskalasi krisis dan mengancam pasokan minyak dunia. Akibatnya, harga energi utama dunia tersebut berpeluang naik dalam jangka pendek karena faktor psikologis.
Bila faktor-faktor tersebut mampu mendongkrak harga minyak, maka akan menjadi dorongan penguatan IHSG. Emiten migas dan pertambangan akan memperoleh angin segar.
Sementara kabar dari emiten di bursa juga bisa menjadi sentimen positif bagi IHSG. Sebanyak 280 emiten atau 60,34% mencatatkan kenaikan laba bersih sepanjang 2017 dibandingkan 2016. Masih ada sekitar 100 emiten yang belum menyampaikan laporan keuangan 2017 sehingga jumlah perusahaan yang mengalami pertumbuhan laba bersih bisa bertambah.
Total nilai aset 464 emiten yang sudah menyampaikan laporan keuangan mengalami kenaikan 11,11% menjadi Rp 10.064 triliun dari Rp 9.057 triliun pada 2016. Sedangkan total ekuitas naik 12,45% menjadi Rp 2.869 triliun dari Rp 2.551 triliun, total pendapatan naik 13,03% menjadi Rp 3.134 triliun dari Rp 2.772 triliun, dan total laba bersih naik 22% menjadi Rp 347 triliun dari Rp 284 triliun.
Kinerja emiten yang cukup solid ini bisa menjadi pemanis yang menarik minat investor. Apalagi sejak awal tahun IHSG sudah terkoreksi 2,84% sehingga harga aset menjadi lebih terjangkau dan siap untuk diborong.
(hps) Next Article Menanti Jeda Rally, IHSG Pagi Ini Masih Menguat
Most Popular