Internasional

Lawan AS di Perang Dagang, China Punya Senjata Rp 16.000 T

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
06 April 2018 16:54
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin memanas menuju perang dagang.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Seiring dengan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China yang semakin memanas menuju perang dagang, para ekonom dan investor mengkhawatirkan skenario terburuk yang bisa berdampak pada perekonomian global dan AS. Sahut-sahutan antara kedua negara tersebut pun menjadi semakin kasar.

China mengumumkan pada hari Rabu (4/4/2018), pihaknya kemungkinan akan menerapkan tarif terhadap produk impor AS senilai $50 miliar (Rp 689,1 triliun) dalam rangka membalas rencana pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap produk impor China.

Pasar sempat kacau karena mengalami penurunan lebih dari 1%, meski kemudian membaik lagi. Sementara itu, semua orang masih menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jika pertarungan dagang ini meningkat, maka bisa jadi semakin banyak tarif diterapkan ke semakin banyak produk. Namun, China juga bisa menyerang balik dengan cara yang lebih berarti, yaitu menjual porsi besar dari obligasi negara AS senilai U$ 1,17 triliun atau Rp 16.214 triliun yang mereka pegang.

Selama beberapa tahun belakangan, China telah membeli sejumlah obligasi negara sebagian karena Negara Tirai Bambu itu memiliki dolar AS yang perlu dibelanjakan. Seperti layaknya investor, China ingin menaruh beberapa greenback yang diperoleh dari ekspor ke AS tersebut ke instrument investasi yang aman. Nyatanya, tidak ada yang lebih aman daripada obligasi AS.

Sebagian besar, China memiliki sekitar U$ 1 triliun obligasi AS selama beberapa tahun, telah memegang aset-aset ini dan mengumpulkan miliaran dolar dari pembayaran bunga.

China memang mengurangi beberapa aset tersebut di akhir 2016 dan awal 2017 untuk bantu mengimbangi peningkatan mata uang yuan. Namun, negara itu sudah membeli obligasi AS kembali sejumlah yang mereka jual.

"Jika China memang memutuskan untuk menjual obligasi tersebut sebagai bentuk kemarahan yang ditujukan kepada Trump, maka hal itu akan menyebabkan malapetaka besar di pasar internasional," kata Jeff Mills, Co-Chief Investment Strategist di PNC Financial Services Group, dilansir dari CNBC Internasional.

"Tentu saja itu adalah sesuatu yang bisa mereka lakukan," katanya.

Dampak terbesarnya akan berada pada suku bunga dan harga obligasi, katanya. Jika China membanjiri pasar dengan surat utang dan pasokan obligasi AS meroket, maka harga investasi pendapatan tetap (fixed income) akan anjlok dan imbal hasil (yield) akan naik.

Jika yield menanjak, maka perusahaan dan konsumen AS akan meminjam dengan lebih mahal. Hal tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi AS melambat.

Akan jadi lebih mahal juga bagi pemerintah AS untuk menerbitkan utang karena mereka harus membayar suku bunga yang lebih mahal kepada para peminjam. Sementara itu, nilai surat utang sebanyak $15 triliun yang mereka dan para investor pegang akan anjlok. Ekuitas juga akan terpuruk seraya yield naik.

"Suku bunga yang lebih tinggi akan mempengaruhi keseluruhan ekonomi," kata Mills. "Itu akan memberi efek yang memperlambat."

China memegang sekitar 20% dari total utang AS yang dipegang oleh negara lain. Jumlah tersebut termasuk banyak, tetapi hanya menyumbang 5% dari keseluruhan nilai utang saat ini (outstanding debt). Pemegang surat utang lainnya termasuk negara lain, misalnya Jepang yang memiliki surat utang AS senilai $1 triliun, pemerintah AS, korporasi dan investor.

Meskipun begitu, jika China memutuskan untuk menjual surat utang itu, maka akan membuat yang lain panik dan menjualnya juga," kata Vincent Reinhart, Chief Economist and Macro Strategist di BNY Mellon.

Penjualan obligasi juga berdampak buruk untuk China

Kemarahan Presiden Xi Jinping pasti sedang meledak jika dia sampai memutuskan untuk menjual surat utang sekaligus karena hal itu akan memberi dampak negatif ke urusan keuangan negaranya.

"Itu seperti menodong pistol ke kepala Anda sendiri lalu berkata "Saya punya sandera"," kata Reinhart.

Jika China menjual obligasi yang ia pegang, mereka cenderung harus menjual setidaknya beberapa dari surat utang yang dibeli dan tidak menghasilkan. Jika negara lain menjual juga, harganya akan tersungkur dan negara itu akan merugi miliaran.

"Itu akan menyebabkan kerugian modal ke diri mereka sendiri," kata Reinhart.

Dolar AS juga akan jatuh, yang kemudian membuat provokasi terkait perdagangan ini diperdebatkan, tambah Mark Zandi, Chief Economist di Moody's Analytics. Dolar yang lebih rendah akan membuat ekspor AS lebih menarik, sehingga merugikan pasar ekspor China sendiri.

"Itu akan menegasikan beberapa dampaknya," katanya. "Suku bunga akan tajam tetapi dolar akan turun, lalu apa dampaknya? Rasanya itu bukan strategi kemenangan."

Lagipula, belum jelas apakah menjual surat utang akan memiliki dampak yang besar, kata Mills. Jika negara lain memutuskan untuk membeli surat utang tersebut, maka suku bunga bisa tetap stabil.

Saat ini, obligasi AS masih dipandang sebagai aset aman yang dibeli masyarakat dan negara ketika perekonomian global sedang bergejolak. Jika tetap seperti itu, maka tidak ada alasan permintaan tidak akan terwujud.

"Bukan berarti permintaan untuk surat utang AS turun dengan besar," kata Mills. "Saya menganggap jika mereka mulai menjual, aka ada sedikit permintaan dari negara lain dan perusahaan AS, terutama ketika suku bunga perlahan-lahan turun sehingga membuatnya menjadi lebih menarik."

China bisa mengambil pendekatan yang lebih terukur, kata Reinhart, dan tidak membeli obligasi sebelum yang sebelumnya jatuh tempo. Seiring dengan AS yang juga mengurangi pembelian obligasi terkait pelonggaran kuantitatif, pasokan kemudian perlahan akan naik dan berpotensi mendorong suku bunga ke level ekstrim.

Pilihan lain untuk China

Meskipun begitu, menurut Zandi China bisa menunjukkan ketidakpuasannya dengan cara lain. Negara itu bisa mendevaluasi mata uangnya sendiri, yang kemudian akan membuat ekspor jadi lebih menarik dan meningkatkan defisit dagang yang ditentang oleh Trump. Hal itu tentunya akan membangkitkan amarah Trump, katanya, dan menciptakan kekacauan di pasar keuangan.

"Itu akan menimbulkan kerugian yang nyata," tambahnya.

Mereka juga bisa mempersulit pekerja AS untuk mendapatkan visa atau bahkan mengakuisisi kantor yang berbasis di negaranya. "Anda memiliki operasi di sini? Sayang sekali, mereka milik kami sekarang," katanya. "Mereka bisa sangat mempersulit orang yang mencoba untuk berbisnis di China."

Harapannya adalah semua ini akan berhenti sebelum berbagai langkah drastis diambil. Tentu saja, tidak ada yang bisa mengetahui dengan jelas bagaimana kedua negara berpengaruh di dunia ini akan bereaksi ke depannya karena mereka ada di daerah yang belum dipetakan. Reinhart berpikir AS tidak akan melakukan apapun yang merugikan perekonomiannya, sementara Mills berpendapat China, dengan basis pekerja manufaktur yang besar, membutuhkan Amerika lebih dari AS membutuhkan mereka.

Zandi berkata sementara kita melihat argument yang berbolak-balik, responnya akan sebanding. Di berbagai kasus, semua hal ini mengganggu entah apapun yang akan terjadi ke depan.

"Ini tidak akan berakhir dengan baik untuk semuanya," katanya. "Mungkin semua orang tidak mau menanggung malu, tetapi tidak ada hal baik yang dihasilkan dari ini."
(dru) Next Article Persaingan China-AS Bakal Jadi 'Perang Finansial'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular