Review Komoditas

Perang Dagang Memanas, Harga Emas Naik

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 April 2018 12:33
Perang Dagang Memanas, Harga Emas Naik
Foto: REUTERS/Edgar Su
CNBC Indonesia, Jakarta - Harga komoditas logam bergerak bervariasi pada kuartal I-2018, dalam tren tekanan. Dari kategori logam mulia, harga emas berhasil menguat 1,03%, sementara harga perak terkoreksi 5,12%.

Sementara itu, dari kategori logam industri, nikel dan timah menjadi dua komoditas yang bergerak positif di 3 bulan pertama tahun ini. Sebaliknya, tembaga dan aluminium harus menutup kuartal I-2018 dengan pelemahan.

Harga emas bercokol pada US$1.322,8/troy ounce pada hari terakhir perdagangan Maret 2018. Hanya saja, penguatan sebesar 1,03% pada tiga bulan pertama 2018 tersebut jauh di bawah pertumbuhan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 8,3%.
Gejolak Saham Angkat Harga Emas, Nikel, dan TImahSumber: Reuters
Kenaikan harga emas terjadi menyusul aksi buru logam mulia tersebut oleh para investor yang mencari aset aman (safe haven) di tengah tingginya volatilitas bursa saham. Biang kerok utama adalah spekulasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) hingga tiga kali.

Indikasi perbaikan data-data ekonomi di Negeri Paman Sam membuka peluang bagi Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan lebih agresif. Gubernur The Fed Jerome Powell sempat menyatakan pihaknya akan berupaya menjaga perekonomian AS dari pertumbuhan yang terlalu cepat (overheating). Artinya, kenaikan suku bunga akan terjadi.

Pernyataan itu membuka "kartu baru di meja" yakni opsi Fed Fund Rate naik lebih dari tiga kali. Selama ini, pelaku pasar hanya mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan hingga tiga kali. Kenaikan sebanyak empat kali itu memicu aksi jual merebak terutama pada aset-aset berisiko.

Ancaman perang dagang AS dan China juga menjadi perhatian pasar. Presiden AS Donald Trump membuka babak awal perang dagang tahun ini dengan mengenakan bea masuk atas impor baja dan aluminium.

Tidak berhenti di situ, Trump juga mengusulkan pengenaan bea masuk yang membidik impor asal China senilai hingga US$60 miliar, atau sekitar Rp 824 triliun, dengan alasan melindungi kekayaan atas hak intelektual.

Tak pelak, pemerintah Negeri Tirai Bambu pun meradang dan membalas dengan pengenaan bea masuk atas 128 barang impor dari AS senilai US$3 miliar. Perkembangan-perkembangan itu menyebarkan ketidakpastian sehingga investor memburu emas.
Dari komoditas logam industri, timah menjadi logam paling berkilau dengan reli 5,27% di 3 bulan terakhir, membalik situasi pada kuartal yang sama tahun lalu dengan koreksi 4,53%. Pemicunya adalah faktor fundamental yakni permintaan yang tinggi, sementara pasokan minim.
Gejolak Saham Angkat Harga Emas, Nikel, dan TImahSumber: Reuters
Defisit pasokan timah terindikasi dari turunnya ekspor timah Indonesia sebesar 36% secara month-to-month (MtM) dan 35% secara YoY ke 4.507 ton pada Januari. Sebagai catatan, Indonesia merupakan salah satu produsen timah terbesar dunia. Pada saat yang sama, cadangan timah di gudang London Metal Exchange (LME) drop 12,6% ke 46.344 ton. Sementara itu, China, sebagai negara konsumen timah terbesar di dunia, diperkirakan masih membukukan permintaan kuat di level 380.000 ton tahun ini.

Permintaan ini terutama datang dari industri elektronik seperti ponsel pintar. Berdasarkan data TrendForce, produksi ponsel pintar tahun ini diperkirakan meningkat 2,8% dari tahun lalu, ke angka 1,5 miliar unit.
Menyusul jejak timah, harga nikel menguat 4,28% atau lebih tinggi dari kenaikan pada kuartal I 2017 sebesar 0,04%. Permintaan komoditas nikel juga masih kuat seiring dengan gencarnya produksi mobil listrik dunia. Nikel adalah salah satu bahan baku utama baterai mobil listrik. Mengutip data EV-Volumes, penjualan mobil listrik global pada 2017 berhasil menembus angka 1 juta untuk pertama kalinya, dengan rekor sebanyak 1,22 juta unit, atau naik 58% dari 2016. Dus, produksi mobil listrik diprediksi mencetak rekor baru lagi hingga 2019. Ini tidak lepas dari subsidi dan insentif di berbagai negara seperti China, negara-negara Skandinavia dan Uni Eropa.
Gejolak Saham Angkat Harga Emas, Nikel, dan TImahSumber: Reuters
Di sisi lain, kekhawatiran defisit pasokan nikel juga menjadi perhatian karena beberapa hal. Pertama, Filipina menutup operasi empat tambang nikel utama dan melarang kegiatan penambangan baru. Padahal Filipina berkontribusi sekitar 27% bagi pasokan nikel global. Kedua, terhentinya aktivitas pertambangan Ambatovy di Madagaskar akibat serangan topan awal Januari lalu. Operasi memang sudah kembali normal pada Februari, tetapi operator tambang yang dimiliki oleh Sumitomo Corp itu menyatakan tingkat produksi akan turun setidaknya hingga semester pertama tahun ini.

Ketiga, Vale sebagai produsen nikel terbesar di dunia akhir tahun lalu mengumumkan akan memangkas produksi hingga 45.000 ton tahun ini, menyusul program perawatan fasilitas pertambangan mereka. Sebagai catatan, harga nikel sebenarnya berada dalam tren bullish sejak awal 2018. Namun memasuki pertengahan Maret, tekanan muncul menyusul keputusan Trump menetapkan tarif impor baru untuk komoditas baja. Adanya potensi penurunan permintaan baja turut membebani harga nikel karena nikel juga merupakan bahan baku baja.
Pada kuartal I-2018 pergerakan harga logam industri tak kompak. Saat nikel dan timah bergerak ke Utara, tembaga dan aluminium mengarah ke Selatan.

Harga tembaga turun 8,37%, gagal mengulang prestasi pada kuartal yang sama tahun lalu yang menguat 5,87%. Sementara itu, aluminium menjadi komoditas logam dengan performa terburuk di kuartal I-2018.
Gejolak Saham Angkat Harga Emas, Nikel, dan TImahSumber: Reuters
Memasuki 2018, harga tembaga seolah kehabisan bahan bakar setelah menguat 27,14% sepanjang 2017. Pada 28 Desember 2017, harga tembaga bahkan sempat menyentuh level tertinggi sejak Desember 2013, di angka US$3,3085/pound. Sentimen negatif dari memanasnya tensi dagang masih menjadi pemicu utama turunnya harga tembaga. Munculnya ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS di awal tahun, yang lantas mengangkat dolar AS, juga membebani harga tembaga. Seperti diketahui, sebagian besar komoditas dunia diperdagangkan dalam dolar AS.

Karenanya, penguatan mata uang Negeri Paman Sam dapat membuat harga komoditas seperti tembaga menjadi mahal sehingga menekan permintaannya.
Secara fundamental, stok tembaga di pasar LME tahun ini naik 90% hingga pekan terakhir Maret.  Padahal, permintaan dari China cenderung melemah, terindikasi dari melemahnya impor tembaga Negeri Panda pada Januari (-2,2% MtM) dan Februari (-20% MtM).

Namun koreksi si logam merah itu belum seberapa dibandingkan dengan aluminium yang turun 11,85%, berbalik 180 derajat dari reli 15,39% pada kuartal yang sama 2017. Harga aluminium sebenarnya masih positif hingga pertengahan Februari, bahkan menyentuh titik tertinggi tahun ini pada 19 Februari di US$2.264/ton. Tapi setelah itu, harga aluminium terjun bebas hingga ke level US$1.990,75 pada 29 Maret.
Gejolak Saham Angkat Harga Emas, Nikel, dan TImahSumber: Reuters
Pemicunya adalah perang dagang. Pasalnya, komoditas ini menjadi salah satu produk yang mendapat pembatasan tarif impor oleh AS. Padahal, di saat yang sama China sedang banjir produksi aluminium. Ketidakseimbangan antara suplai-permintaan inilah yang akhirnya menyeret harga aluminium ke kejatuhannya. ***
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular