
BPK : Penyelamatan AJB Bumiputera oleh OJK Langgar Ketentuan
Arys Aditya, CNBC Indonesia
05 April 2018 13:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Ternyata, Otoritas Jasa Keuangan (OIJK) melakukan pelanggaran terkait dengan rencana penyelamatan Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. OJK juga disebut sempat berbeda pendapat dengan hasil audit BPK dalam pengambilalihan pengurus AJB Bumiputera.
Hal ini terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2017 yang dipublikasikan oleh BPK. Dalam dokumen tersebut, BPK menyebut Dewan Komisioner OJK sebelumnya mengeluarkan peraturan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan.
Secara kronologis, BPK memaparkan kisruh AJB Bumiputera pertama kali terendus pada 31 Desember 1997 ketika perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu mengalami status insolvent sebesar Rp 2,94 triliun. Pada 2016, OJK 016, OJK kemudian menunjuk dan menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih kepengurusan AJBB.
"Hasil pemeriksaan menunjukkan tentang kriteria mengenai penetapan Pengelola Statuter berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 41/POJK.05/2015," sebut dokumen itu, dikutip oleh CNBC Indonesia, Kamis (5/4/2018).
Sebagai gambaran, AJB Bumiputera telah membuka kembali operasionalnya pada akhir Maret lalu.
BPK menyebutkan beberapa faktor yang tidak dilihat oleh OJK dalam penunjukan pengelola statuter, yakni penunjukan anggota pengelola statuter tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan, tidak ada laporan mengenai kondisi kesehatan AJBB, dan OJK belum memberikan sanksi terkait kesehatan keuangan AJBB.
"Hal ini mengakibatkan perlindungan hak pemegang polis tidak terjamin. Kondisi tersebut disebabkan kelalaian dalam menetapkan POJK dengan tidak memerhatikan UU tentang Perasuransian, Pengelola Statuter tidak melaksanakan tugas dengan baik, dan OJK tidak tegas dalam pengawasan AJBB," ungkap BPK.
Persoalan belum berakhir karena OJK masih ngotot bahwa proses seleksi sudah sesuai POJK Nomor 41 Tahun 2015 dan SEOJK Nomor 44/SEOJK.05/2016. BPK menegaskan bahwa OJK harus tunduk pada UU No. 40/2014 tentang Perasuransian.
Di sisi lain, BPK juga mengindikasikan bahwa OJK semestinya bisa mengetahui kondisi AJB Bumiputera dengan melakukan on-site supervision untuk mendapatkan gambaran nyata dari kondisi kesehatan. Hal ini juga dapat mencegah penyimpangan maupun salah kelola (mismanagement). Sementara, OJK hanya mengetahui kondisi AJB Bumiputera berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan secara berkala.
Perbedaan pendapat antar dua institusi itu kembali terjadi ketika BPK menyarankan agar AJB Bumiputera diberikan sanksi administratif, sedangkan OJK menolak.
"OJK menyatakan bahwa pemberian sanksi pada masa penyehatan dikhawatirkan menjadi kontra produktif, namun menurut BPK sanksi administratif diberikan agar industri perasuransian menjadi sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga meningkatkan perlindungan bagi pemegang polis, peserta dan berperan mendorong pembangunan nasional," tutur IHPS II/2017.
Atas persoalan ini, BPK memberikan dua poin kepada OJK.
Pertama, meningkatkan koordinasi dengan lembaga legislatif dan/ atau eksekutif untuk mempercepat pembentukan peraturan perundang undangan terkait dengan UU tentang program penjaminan polis, PP tentang badan hukum usaha bersama, dan PP tentang badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing, serta kepemilikan warga negara asing dalam perusahaan perasuransian.
Kedua, Segera mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan yang berlaku dalam penanganan AJBB.
"OJK secara umum menyatakan sepakat dengan yang diungkapkan dan akan segera menindaklanjuti rekomendasi BPK," ujar BPK.
(dru) Next Article Sudah Sekarat, Bumiputera Tak Ikuti Arahan OJK
Hal ini terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2017 yang dipublikasikan oleh BPK. Dalam dokumen tersebut, BPK menyebut Dewan Komisioner OJK sebelumnya mengeluarkan peraturan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan.
Secara kronologis, BPK memaparkan kisruh AJB Bumiputera pertama kali terendus pada 31 Desember 1997 ketika perusahaan asuransi tertua di Indonesia itu mengalami status insolvent sebesar Rp 2,94 triliun. Pada 2016, OJK 016, OJK kemudian menunjuk dan menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih kepengurusan AJBB.
Sebagai gambaran, AJB Bumiputera telah membuka kembali operasionalnya pada akhir Maret lalu.
BPK menyebutkan beberapa faktor yang tidak dilihat oleh OJK dalam penunjukan pengelola statuter, yakni penunjukan anggota pengelola statuter tidak melalui uji kelayakan dan kepatutan, tidak ada laporan mengenai kondisi kesehatan AJBB, dan OJK belum memberikan sanksi terkait kesehatan keuangan AJBB.
"Hal ini mengakibatkan perlindungan hak pemegang polis tidak terjamin. Kondisi tersebut disebabkan kelalaian dalam menetapkan POJK dengan tidak memerhatikan UU tentang Perasuransian, Pengelola Statuter tidak melaksanakan tugas dengan baik, dan OJK tidak tegas dalam pengawasan AJBB," ungkap BPK.
Persoalan belum berakhir karena OJK masih ngotot bahwa proses seleksi sudah sesuai POJK Nomor 41 Tahun 2015 dan SEOJK Nomor 44/SEOJK.05/2016. BPK menegaskan bahwa OJK harus tunduk pada UU No. 40/2014 tentang Perasuransian.
Di sisi lain, BPK juga mengindikasikan bahwa OJK semestinya bisa mengetahui kondisi AJB Bumiputera dengan melakukan on-site supervision untuk mendapatkan gambaran nyata dari kondisi kesehatan. Hal ini juga dapat mencegah penyimpangan maupun salah kelola (mismanagement). Sementara, OJK hanya mengetahui kondisi AJB Bumiputera berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan secara berkala.
Perbedaan pendapat antar dua institusi itu kembali terjadi ketika BPK menyarankan agar AJB Bumiputera diberikan sanksi administratif, sedangkan OJK menolak.
"OJK menyatakan bahwa pemberian sanksi pada masa penyehatan dikhawatirkan menjadi kontra produktif, namun menurut BPK sanksi administratif diberikan agar industri perasuransian menjadi sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga meningkatkan perlindungan bagi pemegang polis, peserta dan berperan mendorong pembangunan nasional," tutur IHPS II/2017.
Atas persoalan ini, BPK memberikan dua poin kepada OJK.
Pertama, meningkatkan koordinasi dengan lembaga legislatif dan/ atau eksekutif untuk mempercepat pembentukan peraturan perundang undangan terkait dengan UU tentang program penjaminan polis, PP tentang badan hukum usaha bersama, dan PP tentang badan hukum asing dan kepemilikan badan hukum asing, serta kepemilikan warga negara asing dalam perusahaan perasuransian.
Kedua, Segera mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan yang berlaku dalam penanganan AJBB.
"OJK secara umum menyatakan sepakat dengan yang diungkapkan dan akan segera menindaklanjuti rekomendasi BPK," ujar BPK.
(dru) Next Article Sudah Sekarat, Bumiputera Tak Ikuti Arahan OJK
Most Popular