
PR Bos BI Baru : Antisipasi 'Serangan' Asing
Arys Aditya, CNBC Indonesia
26 March 2018 17:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah sejak akhir pekan lalu menjadi sorotan dalam penentuan kriteria pemilihan calon Deputi Gubernur dan Gubernur Bank Indonesia (BI).
Dalam rapat dengar pendapat Komisi XI DPR untuk menerima masukan dari para ahli, Senin (26/3/2018), ekonom senior Rizal Ramli mengemukakan pimpinan bank sentral mendatang harus memiliki perspektif untuk menyelesaikan permasalahan yang fundamental.
"Saya kira setengah dari uang yang beredar di pasar keuangan, equity, adalah milik asing. Jadi kalau di luar ada apa-apa, kita batuk-batuk," ujarnya.
"Ubah komposisi dari short term menjadi long term. Jadi BI nanti harus canggih dan bisa lobi the Fed untuk kasih financing long term dari short term," lanjutnya.
Rizal juga mengkritik bank sentral yang selalu menyebutkan fenomena eksternal sebagai faktor utama pelemahan rupiah. Dia mendesak BI agar tidak lagi menyembunyikan faktor domestik yang menyebabkan rupiah melemah.
"Kalau cuma nyebutin Amerika, China bikin rupiah melemah, itu gampang saja. Jadi BI harus kasih data yang benar," tuturnya.
Sementara, ekonom dan Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko mengemukakan rezim proteksionisme yang melanda perekonomian global akan menjadi kelaziman dalam tahun-tahun mendatang.
Dia mewanti-wanti agar bank sentral semakin cermat dan bertindak semakin strategis.
"Kalau rezim proteksionisme ini berlangsung lama, maka perdagangan Indonesia yang menjadi jantung perekonomian kita akan terkena. BI tidak boleh hanya melakukan stabilisasi rupiah, itu hanya di permukaan," ungkapnya.
Dalam pandangannya di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI DPR RI, Rizal Ramli menyoroti tentang kelemahan struktural dalam makro ekonomi Indonesia sebagai tantangan bagi Gubernur dan Deputi BI yang baru.
Tantangan-tantangan tersebut terdapat pada:
"Seperti menugaskan BI dalam penanggulangan berbagai defisit, dalam restrukturisasi tenor utang, dan mengubah struktur kredit yang timpang. Dan yang paling penting, BI harus berani memberikan data yang benar kepada publik. Katakan kebenaran meskipun kadang itu menyakitkan," tutup Rizal.
(dru) Next Article Ada Ancaman Krisis, Perry Warjiyo: Tugas Kami Belum Selesai!
Dalam rapat dengar pendapat Komisi XI DPR untuk menerima masukan dari para ahli, Senin (26/3/2018), ekonom senior Rizal Ramli mengemukakan pimpinan bank sentral mendatang harus memiliki perspektif untuk menyelesaikan permasalahan yang fundamental.
"Saya kira setengah dari uang yang beredar di pasar keuangan, equity, adalah milik asing. Jadi kalau di luar ada apa-apa, kita batuk-batuk," ujarnya.
Rizal juga mengkritik bank sentral yang selalu menyebutkan fenomena eksternal sebagai faktor utama pelemahan rupiah. Dia mendesak BI agar tidak lagi menyembunyikan faktor domestik yang menyebabkan rupiah melemah.
"Kalau cuma nyebutin Amerika, China bikin rupiah melemah, itu gampang saja. Jadi BI harus kasih data yang benar," tuturnya.
Sementara, ekonom dan Rektor Universitas Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko mengemukakan rezim proteksionisme yang melanda perekonomian global akan menjadi kelaziman dalam tahun-tahun mendatang.
Dia mewanti-wanti agar bank sentral semakin cermat dan bertindak semakin strategis.
"Kalau rezim proteksionisme ini berlangsung lama, maka perdagangan Indonesia yang menjadi jantung perekonomian kita akan terkena. BI tidak boleh hanya melakukan stabilisasi rupiah, itu hanya di permukaan," ungkapnya.
Dalam pandangannya di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI DPR RI, Rizal Ramli menyoroti tentang kelemahan struktural dalam makro ekonomi Indonesia sebagai tantangan bagi Gubernur dan Deputi BI yang baru.
Tantangan-tantangan tersebut terdapat pada:
- Berbagai defisit yang terjadi dalam neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, service payment defisit APBN (pembayaran cicilan pokok dan bunga utang yang tahun ini mencapai Rp 800-an triliun yang porsinya hampir dua kali lipat anggaran infrastruktur atau pendidikan, dan defisit neraca keseimbangan primer.
- Tentang utang, kurang lebih 50% dimiliki asing dan sebagian besar tenornya berjangka pendek. Kondisi ini menyebabkan kerentanan (vulneranilibity) dalam pasar uang.
- Ketimpangan kredit yang berbentuk seperti gelas anggur (bisnis besar dan BUMN di cawan gelas, bisnis menengah di leher gelas, mayoritas rakyat dasar gelas). Sebanyak 83% kredit hanya mengalir ke bisnis besar, sisanya 17% ke bisnis menengah dan rakyat. BI bersama OJK harus dapat mengubah dalam 3 tahun ini struktur kredit menjadi 70% ke bisnis besar dan 30% untuk bisnis menengah dan kecil.
"Seperti menugaskan BI dalam penanggulangan berbagai defisit, dalam restrukturisasi tenor utang, dan mengubah struktur kredit yang timpang. Dan yang paling penting, BI harus berani memberikan data yang benar kepada publik. Katakan kebenaran meskipun kadang itu menyakitkan," tutup Rizal.
(dru) Next Article Ada Ancaman Krisis, Perry Warjiyo: Tugas Kami Belum Selesai!
Most Popular