Rupiah Masuk Daftar Mata Uang Terparah, BI Harus Waspada

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
26 March 2018 11:21
Bank Indonesia (BI) diminta untuk terus mewaspadai tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) diminta untuk terus mewaspadai tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Apalagi, saat ini mata uang Garuda menjadi salah satu mata uang negara yang mengalami depresiasi terparah ketiga sejak awal tahun.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, pergerakan rupiah sudah terlempar jauh dari fundamentalnya. BI, sambung dia, harus melakukan upaya stabilisasi.

"Intervensi dengan cadangan devisa. BI juga bisa melakukan berbagai langkah, seperti kebijakan soal devisa hasil ekspor," kata Bhima saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Senin (26/3/2018).

Menurut Bhima, selama ini kebijakan devisa hasil ekspor yang tertuang dalam Peraturan 13/20/PBI/2011 dianggap masih belum efektif. Alasannya, devisa hasil ekspor saat ini tercatat masih banyak terparkir di luar negeri.

"Kalau lihat di Thailand, devisa hasil ekspor bisa bertahan sampai 8 bulan. Ini yang harus diubah BI," jelasnya.

Mengutip data Reuters, nilai tukar rupiah secara year to date (ytd) melemah 1,3%. Menurut Bhima, kondisi ini perlu menjadi perhatian lebih bagi BI sebagai pengelola stabilitas nilai tukar rupiah.


"Harus waspada, karena sudah ada yang prediksi bisa sampai Rp 14.000/US$. Ini bukan cuma bagi BI, tapi warning bagi pemerintah agar tidak terlalu optimistis," jelasnya.

Sebagai informasi, BI mencatat pada Februari 2018, secara rata-rata harian rupiah melemah sebesar 1,65% menjadi Rp 13.603/US$. Sementara pada Januari 2018, BI mengungkapkan rupiah menguat sebesar 1,36% menjadi Rp 13.378/US$.

Dalam siaran pers pada 22 Maret 2018, BI melihat pelemahan rupiah ini diakibatkan kondisi ekonomi global. Terutama melalui pernyataan Fed Chairman yang lebih hawkish mendorong ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga FFR yang lebih cepat dan lebih tinggi.

"Hal tersebut mendorong pembalikan modal asing dan tekanan pelemahan nilai tukar pada berbagai mata uang dunia termasuk Indonesia. Pelemahan rupiah masih berlangsung pada awal Maret 2018 seiring dengan memburuknya sentimen pasar terkait dengan penerapan inward-oriented trade policy yang dikhawatirkan mendorong retaliasi dari negara lain," demikian penjelasan BI.

"Bank Indonesia akan terus mewaspadai meningkatnya risiko ketidakpastian pasar keuangan global dan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar," terang BI.
(dru) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular