Saham Rokok Kurang Diminati Investor Tahun Ini

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 March 2018 13:56
PT Gudang Garam TBk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna TBk (HMSP) terkoreksi masing-masing sebesar 10,26% dan 7,82% secara year-to-date (YTD).
Foto: REUTERS/Beawiharta
Jakarta, CNBC Indonesia - Saham-saham emiten rokok tampaknya tidak menjadi pilihan utama investor selama 2018. Sampai dengan perdagangan akhir pekan lalu, dua saham emiten rokok terbesar di Indonesia yaitu PT Gudang Garam TBk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna TBk (HMSP) terkoreksi masing-masing sebesar 10,26% dan 7,82% secara year-to-date (YTD).

Hal ini lantas menjadi masalah, lantaran kapitalisasi pasarnya yang begitu besar. Jika ditotal, kapitalisasi pasar GGRM dan HMSP mecapai Rp 651,84 triliun atau setara dengan 9,5% dari total kapitalisasi pasar semua emiten yang menjadi anggota IHSG. Jadi, dapat dikatakan bahwa pergerakan bursa saham kita sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga saham emiten-emiten rokok. Benar saja, secara YTD IHSG juga ikut terkoreksi yaitu sebesar 0,8%.

Pada perdagangan hari ini, saham GGRM berhasil menguat tipis sebesar 0,37% sampai dengan akhir sesi 1 ke level Rp 75.475/saham, sementara HMSP masih terkoreksi yakni sebesar 1,38% ke level Rp 4.300/saham. Koreksi tersebut menjadikan HMSP saham dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG yang sebesar 0,09%.

Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan HMSP sepanjang 2017 yang dilaporkan beberapa waktu lalu mengecewakan. Penjualan perusahaan tercatat hanya tumbuh sebesar 3,8% menjadi Rp 99,09 triliun. Capaian ini lebih rendah dari tahun 2016 yang sebesar 7,18%.

Sementara itu, laba bersih justru turun tipis sebesar 0,72% menjadi Rp 12,67 triliun, turun dari capaian tahun 2016 ketika laba bersih mampu tumbuh sebesar 23,15%. Semenjak kinerja keuangan tersebut diumumkan pada 6 Maret lalu, harga saham HMSP terus-menerus merosot.

Sementara itu, GGRM dijadwalkan merilis laporan keuangan tahun 2017 di antara 29 Maret-2 April mendatang.

Pelemahan pertumbuhan penjualan sepanjang tahun 2017 tak lepas dari pelemahan daya beli masyarakat Indonesia, yang datang sebagai akibat dari normalisasi tarif listrik bagi 18,7 juta pelanggan rumah tangga pengguna daya 900 VA.

Belum Bangkit
Memasuki 2018, nampak tekanan terhadap daya beli belum akan usai. Survei penjualan ritel yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel sepanjang bulan Januari turun sebesar 1,8% secara year-on-year (YoY). Padahal, pada periode yang sama tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 6,3% YoY.

Pelemahan penjualan paling besar terjadi pada komponen makanan, minuman & tembakau. Pada bulan Januari, penjualannya hanya tumbuh sebesar 2% YoY, turun dari capaian Januari 2017 yang sebesar 7,3% YoY.

RUU Tembakau Tak jelas
Lebih lanjut, nasib RUU tembakau yang diharapkan bisa menunjang kinerja emiten rokok masih tak jelas masa depannya. RUU ini memang menuai banyak kontroversi karena dianggap lebih bertujuan untuk menguntungkan penguasaha rokok ketimbang melindungi masyarakat Indonesia.

Hal ini ditunjukkan oleh pasal 55 draf RUU pertembakauan yang mewajibkan berbagai tempat seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah untuk menyediakan tempat khusus untuk merokok.

Kemudian, dalam RUU tersebut rokok tidak dinyatakan sebagai sebuah zat adkitif. Akibatnya, produksi, distribusi, dan promosi produk-produk tersebut tidak akan mendapat pengawasan seketat sebelumnya.

Akibat dari kinerja keuangan yang kurang memuaskan, penjualan yang belum membaik, serta adanya ketidakpastian terkait RUU pertembakauan, maka tidak heran jika pelaku pasar cenderung bermain aman dengan melepas kepemilikannya atas saham-saham emiten rokok.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Cukai Rokok Akan Naik, Begini Valuasi GGRM & HMSP

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular