Tips Investasi Saham Saat Rupiah Bergejolak

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 March 2018 18:25
Mana saham yang sensitif terhadap nilai tukar rupiah.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) punya pengaruh yang sangat sensitif terhadap terhadap pergerakan saham-saham yang ditransaksikan di Bursa Efek Indonesia. Mana saham yang sensitif terhadap nilai tukar rupiah.

Bagaiman jika nilai tukar rupiah menyentuh Rp 15.000/dolar AS? Rupiah terakhir kali menyentuh level Rp 15.000/dolar AS pada saat krisis keuangan tahun 1998 silam. Kala itu, kondisi kesehatan perbankan dalam negeri sangat rapuh yang membuat para spekulan beramai-ramai melakukan short atas rupiah, sehingga depresiasi yang dalam menjadi tak terelakkan.

Pada saat tu, pasar saham pun terkoreksi hingga lebih dari 50%. Namun, membandingkan kondisi pasar modal saat ini dengan pada tahun 1998 menjadi kurang relevan, diakibatkan oleh beberapa alasan.

Pertama, kondisi kesehatan perbankan yang jauh berbeda. Pada saat itu, perbankan cenderung tak berhati-hati dalam menyalurkan kredit, baik itu dalam denominasi rupiah maupun dolar AS. Akibatnya, ketika rupiah melemah, begitu banyak kredit-kredit yang masuk dalam kategori bermasalah (non-performing loan/NPL).

Kedua, pasar saham dapat dikatakan masih underdeveloped pada saat itu (emiten dan investor yang berpartisipasi masih sedikit). Bahkan, imbal hasil obligasi pemerintah pada saat itu belum terekam oleh Reuters.

Maka dari itu, akan lebih fair jika membandingkan kondisi pasar modal Indonesia saat ini dengan tahun 2015. Kala itu, rupiah juga melemah besar-besaran, terdampak dari normalisasi suku bunga acuan oleh the Federal Reserve selaku bank sentral AS.

Sepanjang 2015, rupiah terdepresiasi sebesar 11,35% terhadap dolar AS. Titik terlemah rupiah berada di level Rp 14.695/dolar AS yang ditorehkan pada akhir September 2015. Pada titik itu, rupiah melemah hingga 18,7% terhadap greenback jika dibandingkan dengan posisi akhir 2014.

Pada periode tersebut (akhir 2014-akhir September 2015), IHSG anjlok hingga 21,2%. Sementara itu, imbal hasil obligasi naik sebesar 174 bps. Semenjak tekanan terhadap nilai tukar mereda, bursa saham dan obligasi pun berangsur-angsur menguat.

Jika kini rupiah memang benar bergerak menuju Rp 15.000/dolar AS, akankah pelemahan bursa saham dan obligasi secara besar-besaran kembali terjadi?

Dari sisi ekspor, secara teori sebenarnya pelemahan rupiah berpotensi untuk mendongkrak ekspor. Namun, nampaknya rupiah akan sulit untuk terdepresiasi begitu dalam jika dolar AS tidak perkasa terhadap mata uang negara-negara lain.

Ketika mata uang negara-negara lain ikut terdepresiasi terhadap dolar AS, maka daya beli mereka atas barang-barang impor dari negara mitra dagang akan ikut turun, mengingat sebagian besar perdagangan internasional dilakukan dalam denominasi dolar AS. Akibatnya, kinerja perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor dipastikan tertekan dan sahamnya akan dilepas oleh pelaku pasar.

Harga komoditas pun juga dipastikan akan ikut melemah, seiring aktivitas ekonomi dunia yang melambat. Kinerja keuangan emiten-emiten sektor pertambangan dipastikan berada dalam tekanan.

Masih ingat di pikiran kita bagaimana rasio NPL dari sektor pertambangan melonjak pada tahun 2015 dan 2016 sebagai akibat dari pelemahan rupiah dan kejatuhan harga komoditas. Per akhir 2014, nilainya hanya sebesar 3,57%. Nilainya lantas naik menjadi 5,58% dan 9,04% pada dua tahun berikutnya. Hal yang sama sangat mungkin terulang jika rupiah kembali terdepresiasi secara besar-besaran.

Celakanya, tahun ini penguatan IHSG banyak didorong oleh saham-saham emiten pertambangan, seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG). Ketika harga komoditas turun, saham-saham emiten pertambangan yang sudah mencatatkan kenaikan signifikan tentu akan dilepas oleh pelaku pasar. Dampaknya, kinerja IHSG kembali tertekan.


Tak hanya saham emiten pertambangan, saham emiten perbankan selaku pihak yang menyalurkan kredit juga akan mendapat tekanan.

Khusus Indonesia, ekonomi kita bergantung kepada komoditas (kurang lebih 30% ekspor Indonesia adalah komoditas), maka penerimaan negara yang berkaitan dengan komoditas akan berkurang dan bukan tidak mungkin belanja akan ikut dipangkas. Jika ini yang terjadi, target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,4% menjadi sulit untuk diraih. Lagi-lagi, hal ini akan terefleksikan pada pergerakan IHSG.

Kemudian, pelemahan rupiah yang begitu signifikan akan mempengaruhi kemampuan bayar korporasi dalam negeri atas utang luar negeri. Per akhir Oktober 2017, utang luar negeri swasta tercatat mencapai US$ 168,3 miliar, naik dari posisi akhir 2016 yang sebesar US$ 161,5 miliar.

Memang, Bank Indonesia telah mewajibkan heding bagi korporasi yang mengambil utang luar negeri. Namun, nilainya hanya sebesar 20% dari total utang luar negeri yang ditarik.

Khusus untuk pasar obligasi, pelemahan rupiah yang begitu signfikan akan membuat investor asing memilih untuk melepas kepemilikannya atas surat utang keluaran pemerintah Indonesia.

Pasalnya, keuntungan yang didapat dari kupon akan di offset oleh rugi kurs yang mereka derita. Per 12 Maret, kepemilikan investor asing atas obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan mencapai 38,98%.

Selain rugi nilai tukar, pelemahan rupiah juga sangat mungkin mendorong inflasi naik, mengingat biaya untuk impor menjadi lebih mahal. Akibatnya, selisih atau spread antara imbal hasil dengan inflasi menjadi menipis.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hal yang terjadi pada pasar saham dan obligasi pada tahun 2015 silam dapat terulang kembali jika rupiah benar-benar bergerak menuju level Rp 15.000/dolar AS.

Kini, pelaku nampak harus kembali mengatur ulang strategi investasinya. Saham-saham dengan beta yang rendah bisa menjadi pilihan pada periode yang penuh ketidakpastian seperti saat ini.
(hps) Next Article Uji Nyali Rupiah di 2020

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular