Analisis Manajer Investasi

Repricing Aset Investasi untuk Antisipasi Ketidakpastian

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
05 March 2018 10:54
PT Bahana TCW Investment Management merekomendasikan bagi para investor untuk memilih strategi investasi yang terstruktur.
Foto: Ist/CNN Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Para pelaku pasar finansial global tengah meninjau kembali asumsi nilai harga acuan (repricing) terhadap sejumlah aset investasi, yang berpotensi meningkatkan risiko ketidakpastian. PT Bahana TCW Investment Management merekomendasikan bagi para investor untuk memilih strategi investasi yang terstruktur.

Risiko repricing ini mulai terlihat dari pergerakan imbal hasil obligasi Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) melemah 0,3% pekan lalu, karena kenaikan imbal hasil (yield) surat utang Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun yang terjadi sejak awal Februari lalu.

Hal ini bertujuan agar investor tetap memperoleh kestabilan imbal hasil atau return dalam berinvestasi, terhindar dari risiko repricing yang terjadi di pasar saham dan obligasi (fixed income), serta memberikan perlindungan modal (capital protective).

Edward Lubis, President Direktur Bahana TCW Investment Management menyarankan investor bisa mengalihkan portofolio ke investasi atau reksa dana yang memberi yield tetap. "Jika kondisi pasar sudah lebih stabil memperoleh kepastian dari rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dari The Fed, maka investor bisa mengalihkan lagi portofolio ke pasar modal," jelas Edward.

Budi Hikmat, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management menambahkan kondisi ekonomi AS telah menunjukkan perbaikan sebelum Donald Trump sebagai Presiden AS.

Namun, lanjut Budi, Trump kemudian membuat kebijakan pemotongan pajak (tax cut) yang regresif, sehingga berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi di negeri Paman Sam. Pemotongan pajak akan menyebabkan sumber penghasilan negara akan berkurang.

Sementara negara juga memiliki rencana untuk pembangunan infrastruktur yang memakan biaya yang cukup besar. Oleh sebab itu, Pemerintah AS diduga akan meminjam utang dalam jumlah besar.

"Pemulihan ekonomi di AS akan memicu risiko inflasi AS yang lebih tinggi dari 1,8% menjadi 2,1% pada akhir tahun. Hal ini akan mendorong kenaikan yield US Treasury yang menjadi acuan dari bond negara lainnya", jelas Budi.

Aksi repricing telah membuat kenaikan imbal hasil surat utang negara (SUN) Indonesia, namun kondisi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan investor untuk mulai mengatur ulang portofolio mereka. "Saat ini merupakan kesempatan bagi investor lokal untuk melirik yield yang naik ini dan melakukan rebalancing asset," ungkap Budi.

Adapun, potensi dari risiko repricing juga diproyeksi akan terjadi pada pasar modal Indonesia. Akan tetapi, Bahana TCW Investment Management berpandangan optimis bahwa kondisi pasar modal Indonesia akan tetap positif dalam menghadapi dinamika perubahan pasar global.

"Motor penggerak pasar modal Indonesia lebih banyak. Dari sisi internal, Indonesia memiliki bonus demografi penduduk berusia muda dan urbanisasi. Sementara dari sisi eksternal, harga komoditas dari sektor energi, termasuk batubara dan pertambangan mineral lainnya mengalami pemulihan," ungkap Budi.

Tak hanya itu, berbagai sentimen internal yang mewarnai pada tahun ini akan menjadi nilai positif bagi pasar modal Indonesia. Misalnya, kondisi tahun politik yang diwarnai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di banyak wilayah di Indonesia akan mendorong belanja konsumsi masyarakat.

Hal ini menjadi stimulus positif bagi beberapa sektor seperti sektor konsumsi dan media. Kemunculan bisnis digital seperti e-commerce juga akan meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah (UKM), sektor bank, dan telekomunikasi. Pembangunan infrastruktur pemerintah juga akan menambah nilai bagi sektor properti.

Budi optimistis, kondisi tersebut membuat pasar modal Indonesia akan lebih kuat dalam menghadapi dinamika ekonomi global. Adapun, potensial kenaikan pada kondisi obligasi Indonesia tak cukup besar, namun kenaikan yield obligasi bisa menjadi kesempatan bagi investor lokal sebagai penyeimbang aset.
(hps) Next Article Aset Capai Rp101 T, Intip Perayaan Digital 51 Tahun Bank Mega

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular