Jerome Powell, Pemicu Volatilitas Wall Street & Bursa Dunia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 March 2018 20:17
Wall Street dan bursa dunia bergerak bak roller coaster karena pernyataan yang dikeluarkan Jerome Powell.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa hari ini, perhatian pelaku pasar di seluruh dunia tertuju kepada satu sosok, Jerome Powell.

Pria kelahiran 1953 ini merupakan Gubernur Bank Sentral AS (the Federal Reserve) yang baru, menggantikan Janet Yellen. Pelaku pasar lantas menantikan arah kebijakan the Fed dibawah komandonya.
 

Masalahnya, Powell kini makin sulit ditebak. Pada testimoni pertamanya di hadapan House Financial Services Committee 27 Februari silam, Powell menyatakan bahwa ekonomi AS telah membaik sejak Desember 2017.

Kala itu, Powell juga mengatakan bahwa beberapa data membuatnya semakin yakin bahwa inflasi sedang bergerak menuju target.
 Powell menambahkan bahwa semua perkembangan data yang ada akan menjadi bahan pertimbangan dalam membuat proyeksi tingkat suku bunga yang baru.  

Pernyataan Powell itu diartikan pelaku pasar bahwa bank sentral AS dapat menaikkan suku bunga acuan lebih agresif pada tahun ini dari target sebelumnya yang sebanyak 3 kali. 

Bursa saham pun berguguran menyusul testimoni Powell: Indeks Dow Jones Industrial Average turun 1,16%, indeks S&P 500 anjlok 1,27%, dan indeks Nasdaq melemah 1,23%. 

Situasi lantas berbalik saat Powell memberikan testimoni keduanya, kali ini dihadapan Senate Banking Committee pada 1 Maret lalu.  

Saat itu, Powell mengatakan bahwa pihaknya belum melihat tanda-tanda kenaikan tingkat gaji secara signifikan. Oleh karena itu, lanjutnya, dia belum melihat adanya inflasi akibat kenaikan gaji.

Hal ini lantas diartikan oleh pelaku pasar sebagai sinyal bahwa the Fed tidak akan terlalu agresif dalam mengerek suku bunga acuannya tahun ini.
 Wall Street pun menghijau, walaupun pada akhirnya ditutup di zona merah dikarenakan pengumuman pengenaan bea masuk atas baja dan aluminium oleh Presiden Donald Trump.

Barulah pada perdagangan hari kemarin (2/3/2018), komentar dari Powell itu benar-benar mendorong Wall Street berakhir di zona hijau: indeks S&P 500 ditutup naik 0,5% ke level 2.691,25, sementara indeks Nasdaq naik 1,1% ke level 7.257,87. 

20 Maret Menjadi Kunci
Tanggal 20 Maret mendatang waktu setempat atau 21 Maret waktu Indonesia, akan menjawab kebingungan investor mengenai arah kebijakan the Fed kedepannya.  

Pasalnya pada tanggal tersebut, the Fed dijadwalkan merilis tingkat suku bunga acuan terbarunya, berikut dengan 'dot plot'. Sebagai catatan, dot plot merupakan sebuah survei dari 12 anggota FOMC (Federal Open Market Committee) selaku pengambil keputusan terkait proyeksi mereka atas tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun.  

Pada Desember 2017, median dari dot plot untuk akhir tahun 2018 berada pada angka 2%-2,25%. Dari sinilah diketahui bahwa the Fed berencana menaikkan suku bunganya sebanyak 3 kali pada 2018, dengan asumsi setiap kenaikan adalah sebesar 25 bps. 

Mengingat pelaku pasar nampak sudah yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan Maret nanti, maka fokus utama dari pertemuan tersebut adalah versi terbaru dot plot dibawah kepemimpinan Powell. 

Sebagai informasi tambahan, sampai saat ini Powell tidak akan memberikan pernyataan atau konferensi pers sampai dengan 20 Maret. 

Sembari menunggu hal tersebut, bukan tidak mungkin mata uang negara-negara berkembang, termasuk Rupiah, masih akan tertekan.

Walaupun signifikansi rupiah terhadap laju IHSG sudah tidak sebesar dulu, pelaku pasar tetap saja harus waspada.


(ray/ray) Next Article Powell & Wall Street, Duet Maut yang Bikin Harga Emas Lemes!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular