Rupiah Bak Roller Coaster Tapi Tak Signifikan Pengaruhi IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 March 2018 17:07
Pasar Saham di RI semakin matang, tidak hanya melihat pergerakan nilai tukar rupiah.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham Indonesia nampak sudah lebih 'dewasa' dalam beberapa tahun terakhir. Indikatornya, dampak dari pergerakan rupiah sudah semakin kecil terhadap IHSG.

Tim Riset CNBC Indonesia mengukurnya menggunakan standar deviasi dari nilai tukar dan IHSG pada periode 2014-2018.

Standar deviasi merupakan sebuah ukuran statistik yang menggambarkan seberapa jauh sebaran suatu data dari rata-ratanya dalam suatu periode. Semakin tinggi standar deviasi, maka semakin tinggi pula volatilitas atau pergerakan dari suatu variabel.
 


Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ketika volatilitas rupiah sedang tinggi (2014-2016), maka volatilitas dari IHSG akan tinggi pula.

Menariknya, memasuki tahun 2017, volatilitas dari IHSG tetap tinggi walaupun rupiah terlihat sangat 'tenang' pada kala itu.

Maju ke tahun 2018, rupiah yang kembali bergerak liar (ditunjukkan oleh naiknya volatilitas dibandingkan tahun 2017) nyatanya tak membuat IHSG bergejolak.

Standar deviasi IHSG pada awal tahun ini justru lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
 Dapat disimpulkan bahwa investor sudah tidak terlalu menitikberatkan pengambilan keputusannya pada pergerakan nilai tukar semata. 

Lebih fokus ke faktor domestik
Investor kini tampak menitikberatkan pengambilan keputusannya pada berbagai faktor domestik, tidak hanya kepada rupiah yang pergerakannya banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti yang terjadi pada saat ini. 

Berbagai perombakan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo semenjak menjabat pada akhir 2014 lalu sudah merubah cara pandang pelaku pasar. Misalnya, pencabutan subsidi premium telah berhasil menstabilkan defisit neraca berjalan di kisaran 2%.

Sebelumnya, subsidi premium seringkali membuat impor jebol dan akhirnya memberi tekanan bagi neraca berjalan Indonesia.
 

Upaya pengendalian harga bahan pangan juga telah berhasil menekan inflasi ke kisaran 3% dalam 3 tahun terakhir.

Bahkan pada tahun 2016, ketika konsumsi rumah tangga tumbuh lebih pesat dibandingkan 2015 (5% vs. 4,96%), inflasi justru turun ke level 3,02% dari yang sebelumnya 3,35%.
 

Selain itu, pembangunan infrastuktur gencar dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Hal-hal tersebut lantas membuat para investor yakin bahwa masa depan ekonomi domestik akan cerah, sehingga gejolak nilai tukar tak lagi menjadi momok. 

Bahkan, World Economic Forum (WEF) memproyeksikan bahwa Indonesia akan menyumbang 2,5% dari total tambahan output ekonomi dunia dalam 3 tahun ke depan.

Posisi Indonesia ini merupakan yang keempat terbesar setelah China (35,2%), Amerika Serikat (17,9%), dan India (8,6%).
 

Pada tahun ini, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,3%, meningkat dari capaian tahun lalu yang sebesar 5,07%. 

Bantu pembiayaan
Berubahnya pola pikir investor ini tentu menjadi hal yang positif, bukan hanya bagi pasar saham, namun juga bagi ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Pasalnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia masih membutuhkan banyak sekali pembiayaan guna mengeksekusi rencana-rencananya.

Pembiayaan dari sektor perbankan saja tentu tidak akan cukup.
 Dengan kondisi pasar saham yang kini sudah jauh lebih 'dewasa', tentu diharapkan akan semakin banyak perusahaan yang mencari pembiayaan dengan cara melantai di Bursa Efek Indonesia.

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat didorong ke angka yang lebih tinggi.
  



(ray/ray) Next Article Rupiah Terdampar di Level Terendah Dalam 14 Pekan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular