
Penguatan Dolar AS Berpeluang Tekan Pertamina

Di Indonesia, importir terbesar minyak mentah adalah PT Pertamina (Persero). Seperti diketahui, Pertamina mengimpor minyak mentah hingga ratusan juta barel per tahun sebagai bahan baku diolah menjadi BBM (jenis Premium, Pertamax, Pertalite, Solar, dan Avtur) yang kemudian dijual di dalam negeri.
Selain mengimpor minyak mentah untuk diolah, Pertamina juga mengimpor BBM yang akan disimpan dan disalurkan dalam jumlah yang sangat besar. Tercatat impor BBM RON di bawah 90 dan BBM RON 90 ke atas, masing-masing duduk di posisi ke-2 dan ke-3 dari komoditas yang paling banyak diimpor.
Sebagai tambahan, memang ada juga produk minyak yang diekspor Pertamina, tetapi nilainya masih lebih rendah dari produk minyak yang dijual di dalam negeri. Mengutip laporan keuangan Pertamina semester 1/2017, penjualan dalam negeri minyak mentah, gas, dan produk minyak mencapai US$17,46 milyar, jauh mengungguli pendapatan usaha dari penjualan ekspor yang hanya sebesar US$913,64 juta.
Jika sudah begitu, ada kemungkinan Pertamina menaikkan harga jual produk minyaknya, untuk mencegah kerugian lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang mengkonsumsi produk minyak Pertamina (Avtur) untuk beroperasi, juga akan menanggung kenaikan beban operasional. Bahkan, menurut Direktur Utama Air Asia Indonesia, Dendy Kurniawan, komponen bahan bakar bagi dapat mencapai 35%-40% dari total biaya operasional.
Selain Pertamina, perusahaan lain yang berisiko mengalami pembengkakan biaya operasional akibat kenaikan biaya impor bahan baku adalah perusahaan yang bergelut di industri makanan. Ini terlihat dari masifnya nilai impor bahan baku makanan seperti gula dan biji gandum yang duduk di posisi ke-5 dan ke-6 dari komoditas impor yang paling banyak diimpor negeri ini.
Karenanya, perusahaan-perusahaan seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Nippon Indosari Corporindo Tbk (ROTI), dan PT Unilever Indonesia Tbk perlu waspada. (ags/ags)