Garap Fintech, Erajaya Pantang Digilas E-commerce

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
28 February 2018 20:03
Garap Fintech, Erajaya Pantang Digilas E-commerce
Foto: Doc. CNBC International
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Erajaya Swasembada Tbk memasuki bisnis jasa layanan keuangan digital, dengan mengakuisisi PT Indonesia Orisinil Teknologi (IOT). Akuisisi ini menjadi sinyal jelas bahwa perseroan menolak kalah dari e-commerce dengan mengoperasikan perusahaan fintech (financial technology).

Dalam keterbukaan informasinya, Sekretaris Perusahaan Erajaya Amelia Allen menyebutkan akuisisi tersebut ditujukan untuk menggarap bisnis layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi.

Keputusan menggarap bisnis fintech ini lebih tepat dimaknai sebagai ekspansi perseroan untuk menopang bisnis intinya, dan bukannya mendiversifikasi bisnis untuk menambah atau menggantikan bisnis inti perseroan.

Untuk memaknai strategi Erajaya memasuki pasar fintech ini lebih jauh, CNBC Indonesia menyajikan analisis untuk membaca alasan dan peluang di balik aksi korporasi yang pada Rabu mengangkat harga saham emiten berkode ERAA sebesar 3,65% itu.

Meski perseroan membukukan rerata pertumbuhan per tahun (compounded annual growth rate/ CAGR) di pos pendapatannya sebesar 12% dalam periode 5 tahun (2012-2016), harus diperhatikan bahwa rerata pertumbuhan laba bersihnya pada periode yang sama justru anjlok 12%.

Pada 2012, Erajaya mampu membukukan laba bersih senilai Rp433 miliar (dari pendapatan senilai Rp12,88 triliun). Namun pada 2016, laba bersih perseroan hanya Rp 264 miliar (dari pendapatan sebesar Rp 20,55 triliun).

Ini menunjukkan bahwa margin laba bersih perseroan anjlok dalam lima tahun terakhir, tepat di masa-masa ketika penyedia layanan jual-beli gadget via e-commerce kian marak. Padahal, posisi Erajaya merupakan distributor terbesar telepon seluler.
Garap Fintech, Erajaya Pantang Digilas E-commerceSumber: Reuters

Salah satu pemicu penurunan tersebut adalah maraknya pasar gelap gadget, di samping aturan mengenai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) yang belum diterapkan secara sempurna terutama untuk produk-produk yang dijual di e-commerce.

Dalam beberapa kesempatan, manajemen Erajaya mengeluhkan tentang banyaknya telepon seluler (ponsel) yang belum memenuhi TKDN, tetapi sudah bisa dijual di marketplace. Ponsel ilegal yang dijual pada umumnya yang merupakan merek terkenal seperti iphone.

Menurut International Telecommunication Union (ITU) dan European Union Intellectual Porperty Office (EUIPO), ponsel pintar ilegal memicu produsen dan distributor ponsel tersebut di Indonesia kehilangan 20% dari potensi pendapatan mereka.

Menghadapi eforia e-commerce, Erajaya justru mempertahankan ekspansi gerai offline miliknya. Perseroan tahun ini berencana membuka 250 gerai, terutama di kota-kota sekunder seperti Malang. Jumlah tersebut naik lima kali lipat dibandingkan dengan gerai baru yang dibukanya pada tahun lalu sebanyak 50 unit.

Saat ini, perseroan tidak hanya menggarap pasar atas, tetapi juga pasar menengah ke bawah dengan menyediakan 17 merek gadget di gerai mereka, mulai dari produk yang menyasar pasar atas seperti Iphone dan Samsung, hingga produk yang digemari pasar menengah ke bawah seperti Xiaomi, Lenovo, dan lain-lain.

Produk yang tersedia di gerai mereka di antaranya adalah: Acer, Alcatel, Apple, Asus, Blackberry, Dell, HTC, Huawei, Lenovo, LG, Motorola, Nokia, Polytron, Samsung, Sony, Venera, dan Xiaomi.

Ke depannya, Erajaya berencana menggenjot penjualan produk-produk China dan Taiwan yang menyasar masyarakat menengah ke bawah sehingga pasarnya lebih besar, dan menjanjikan margin yang lebih baik.

Dengan mengakuisisi PT IOT dan menggarap segmen fintech yang melayani transaksi digital, perseroan mengirimkan sinyal kuat bahwa “realcommerce mereka akan dipertahankan, tetapi dilengkapi dengan layanan yang lebih maju dari e-commerce, yakni pembayaran dan (tak menutup kemungkinan) pembiayaan digital.

Keputusan bisnis demikian memiliki justifikasi kuat karena Indonesia berpeluang menjadi kolam terbesar bisnis digital di Asia Tenggara. Mengutip riset Google dan Temasek, Indonesia mencatatkan penambahan jumlah pengguna internet tertinggi di antara negara ASEAN karena besarnya populasi, pertumbuhan masyarakat menengah, dan peningkatan penggunaan akses teknologi.

Ini akan memicu makin maraknya transaksi digital, yang saat ini bahkan telah melampaui transaksi konvensional. Dalam laporan terbaru PricewaterhouseCooper (PwC) terbaru, yakni 2018 Indonesia Banking Survey, bankir asing dan bankir domestik kelas kakap disebutkan akan berinvestasi besar-besaran di automatisasi.

Perlu dicatat, Bank Indonesia (BI) mengizinkan fintech bergerak di empat layanan, yakni pertama: pembayaran, kliring, penyelesaian transaksi, kedua: pinjaman, penggalian dana, simpanan, ketiga: investasi, manajemen risiko, dan keempat: penyediaan pasar.
Garap Fintech, Erajaya Pantang Digilas E-commerceFoto: Sumber: Asosiasi Fintech Indonesia

Dengan memiliki unit bisnis fintech yang menggarap transaksi berbasis digital, perseroan bisa membangun sistem pembayaran elektronik atas pembelian produk-produk gadget yang dijualnya secara lebih efisien, lebih cepat, dan lebih mudah.

Selain itu, Erajaya juga bisa menggunakan IOT sebagai penyedia fasilitas pembiayaan untuk pembelian gadget. Biaya transaksi dan biaya pemberian kredit (cost of fund) yang selama ini dikenakan oleh perbankan bisa dipangkas atau direbut oleh Erajaya.***

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular