
Investor Saham Gelisah, The Fed Lebih Agresif
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 February 2018 14:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Pidato perdana dari Jerome Powell selaku Gubernur The Federal Reserve (The Fed) menggemparkan pasar saham dunia. Dalam pidato perdananya, Powell menyatakan ekonomi AS telah membaik semenjak pertemuan Desember, beberapa data membuatnya semakin yakin bahwa inflasi sedang bergerak menuju target dan ada kemungkinan The Fed lebih agresif menaikkan suku bunga acuan.
Menjelang pertemuan bulan Maret, Powell menambahkan bahwa semua perkembangan tersebut akan dipertimbangkan dalam membuat proyeksi tingkat suku bunga yang baru. Pernyataan Powell ini diartikan pelaku pasar bahwa bank sentral AS dapat menaikkan suku bunga acuan lebih agresif pada tahun ini dari target sebelumnya yang sebanyak 3 kali.
Selepas pidato Powell, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun lantas melonjak naik ke level 2,91% pada perdagangan kemarin (27/02/2018). Padahal satu hari sebelumnya, imbal hasil masih berada pada angka 2,86%. Perlu diingat bahwa imbal hasil obligasi bergerak terbalik dengan harga; naiknya imbal hasil berarti harga obligasi turun. Senada dengan pasar obligasi, pasar saham ikut ditutup melemah: indeks Dow Jones turun 1,16%, indeks S&P 500 melemah 1,27%, dan indeks Nasdaq turun 1,23%.
Pada perdagangan hari ini (28/02/2018), bursa saham regional kompak diperdagangkan melemah.
Di satu sisi, pertanyaan pelaku pasar terkait dengan stance dari Powell terjawab sudah. Namun, satu pertanyaan baru muncul: sampai kapan koreksi bursa saham dunia akan berlangsung?
Normalisasi
Normalisasi suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) sejatinya sudah dimulai pada akhir 2015 lalu, ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps. The Fed kemudian kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2016, lagi-lagi sebesar 25bps.
Sepanjang 2015 dan 2016 itu pula, pasar saham AS tertekan, seiring dengan ramainya pemberitaan mengenai kenaikan suku bunga acuan. Pada tahun 2015, indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 1,75%. Setahun setelahnya, penguatannya juga relatif terbatas yakni sebesar 9,53%.
Namun pada 2017, situasinya berubah drastis. Indeks S&P 500 justru meroket 19,4%, mengabaikan kenaikan FFR sebanyak 3 kali yang diputuskan the Fed pada periode tersebut. Sebagai perbandingan, imbal hasil obligasi AS pada periode yang sama tercatat terus naik (harganya turun), menandakan bahwa kenaikan FFR telah di price-in di pasar obligasi.
Kebijakan pemotongan pajak yang digagas Presiden Donald Trump membuat pasar saham bergerak naik mengabaikan kenaikan suku bunga acuan. Pemangkasan besar-besaran tingkat pajak korporasi dari 35% menjadi 21% telah memberikan suntikan tenaga bagi bursa saham negeri paman sam.
Investor pun berbondong-bondong memasukan uangnya ke pasar saham. Bahkan, pasar modal Indonesia yang biasanya menjadi magnet bagi investor asing pun ditinggalkan. Pada tahun 2017, investor asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp 39,9 triliun.
Koreksi bisa dalam
Mengingat bahwa kenaikan FFR pada tahun lalu cenderung diabaikan oleh pasar saham AS, koreksi yang saat ini terjadi mungkin akan berlangsung lama dan dalam. Terlebih, potensi kenaikan FFR sebanyak 4 kali nampak sudah semakin nyata.
Selain itu, bursa saham AS sudah memasuki sebuah fase baru yakni koreksi. Sebuah indeks saham dikategorikan memasuki fase koreksi ketika turun sebesar 10% dari titik tertingginya.
Pada penutupan perdagangan 8 Februari lalu, indeks S&P 500 telah terkoreksi 10,16% dari titik tertingginya. Dikatakan Goldman Sachs seperti dikutip dari CNBC, secara rata-rata indeks S&P 500 turun sebesar 13% dalam fase koreksi, dimana hal ini berlangsung dalam kurun waktu 4 bulan. Setelah itu, dibutuhkan waktu 4 bulan lagi bagi indeks S&P 500 untuk dapat kembali ke titik tertingginya.
Situasi lantas dapat bertambah parah jika yang terjadi bukan hanya koreksi, namun bear market (terjadi ketika sebuah indeks saham turun sebesar 20% dari titik tertingginya). Ketika bear market terjadi, perusahaan keuangan asal AS tersebut menjelaskan bahwa secara rata-rata indeks S&P 500 turun hingga 30% dalam kurun waktu 13 bulan. Setelah itu, dibutuhkan waktu selama 22 bulan bagi indeks S&P 500 untuk kembali ke titik tertingginya.
Mengingat kondisi yang dihadapi saat ini, pelaku pasar nampak harus bersiap menghadapi situasi terburuk.
Mahal
Hal lainnya yang dapat membuat bursa saham AS dapat terkoreksi dalam dan dalam jangka waktu yang panjang adalah valuasinya yang sudah mahal. Mengutip Reuters, saat ini price-to-earnings ratio (PER) dari indeks S&P 500 adalah 23,01x, lebih tinggi dari PER indeks saham negara negara maju lainnya seperti FTSE 100-Inggris (13,28x), DAX-Jerman (14,39x), Hang Seng-Hong Kong (13,5x), Strait Times-Singapura (11,95x), dan Kospi-Korea Selatan (12,1x).
Jika bursa saham AS tertekan dalam waktu yang lama, maka kemungkinan besar bursa saham dunia akan ikut tertekan, mengingat besarnya pengaruh bursa saham AS terhadap bursa saham dunia.
(hps) Next Article Saat Bos The Fed Minta Kongres Selamatkan Warga yang Kena PHK
Menjelang pertemuan bulan Maret, Powell menambahkan bahwa semua perkembangan tersebut akan dipertimbangkan dalam membuat proyeksi tingkat suku bunga yang baru. Pernyataan Powell ini diartikan pelaku pasar bahwa bank sentral AS dapat menaikkan suku bunga acuan lebih agresif pada tahun ini dari target sebelumnya yang sebanyak 3 kali.
Selepas pidato Powell, imbal hasil obligasi AS tenor 10 tahun lantas melonjak naik ke level 2,91% pada perdagangan kemarin (27/02/2018). Padahal satu hari sebelumnya, imbal hasil masih berada pada angka 2,86%. Perlu diingat bahwa imbal hasil obligasi bergerak terbalik dengan harga; naiknya imbal hasil berarti harga obligasi turun. Senada dengan pasar obligasi, pasar saham ikut ditutup melemah: indeks Dow Jones turun 1,16%, indeks S&P 500 melemah 1,27%, dan indeks Nasdaq turun 1,23%.
Di satu sisi, pertanyaan pelaku pasar terkait dengan stance dari Powell terjawab sudah. Namun, satu pertanyaan baru muncul: sampai kapan koreksi bursa saham dunia akan berlangsung?
Normalisasi
Normalisasi suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) sejatinya sudah dimulai pada akhir 2015 lalu, ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps. The Fed kemudian kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2016, lagi-lagi sebesar 25bps.
Sepanjang 2015 dan 2016 itu pula, pasar saham AS tertekan, seiring dengan ramainya pemberitaan mengenai kenaikan suku bunga acuan. Pada tahun 2015, indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 1,75%. Setahun setelahnya, penguatannya juga relatif terbatas yakni sebesar 9,53%.
Namun pada 2017, situasinya berubah drastis. Indeks S&P 500 justru meroket 19,4%, mengabaikan kenaikan FFR sebanyak 3 kali yang diputuskan the Fed pada periode tersebut. Sebagai perbandingan, imbal hasil obligasi AS pada periode yang sama tercatat terus naik (harganya turun), menandakan bahwa kenaikan FFR telah di price-in di pasar obligasi.
Kebijakan pemotongan pajak yang digagas Presiden Donald Trump membuat pasar saham bergerak naik mengabaikan kenaikan suku bunga acuan. Pemangkasan besar-besaran tingkat pajak korporasi dari 35% menjadi 21% telah memberikan suntikan tenaga bagi bursa saham negeri paman sam.
Investor pun berbondong-bondong memasukan uangnya ke pasar saham. Bahkan, pasar modal Indonesia yang biasanya menjadi magnet bagi investor asing pun ditinggalkan. Pada tahun 2017, investor asing mencatatkan jual bersih sebesar Rp 39,9 triliun.
Koreksi bisa dalam
Mengingat bahwa kenaikan FFR pada tahun lalu cenderung diabaikan oleh pasar saham AS, koreksi yang saat ini terjadi mungkin akan berlangsung lama dan dalam. Terlebih, potensi kenaikan FFR sebanyak 4 kali nampak sudah semakin nyata.
Selain itu, bursa saham AS sudah memasuki sebuah fase baru yakni koreksi. Sebuah indeks saham dikategorikan memasuki fase koreksi ketika turun sebesar 10% dari titik tertingginya.
Pada penutupan perdagangan 8 Februari lalu, indeks S&P 500 telah terkoreksi 10,16% dari titik tertingginya. Dikatakan Goldman Sachs seperti dikutip dari CNBC, secara rata-rata indeks S&P 500 turun sebesar 13% dalam fase koreksi, dimana hal ini berlangsung dalam kurun waktu 4 bulan. Setelah itu, dibutuhkan waktu 4 bulan lagi bagi indeks S&P 500 untuk dapat kembali ke titik tertingginya.
Situasi lantas dapat bertambah parah jika yang terjadi bukan hanya koreksi, namun bear market (terjadi ketika sebuah indeks saham turun sebesar 20% dari titik tertingginya). Ketika bear market terjadi, perusahaan keuangan asal AS tersebut menjelaskan bahwa secara rata-rata indeks S&P 500 turun hingga 30% dalam kurun waktu 13 bulan. Setelah itu, dibutuhkan waktu selama 22 bulan bagi indeks S&P 500 untuk kembali ke titik tertingginya.
Mengingat kondisi yang dihadapi saat ini, pelaku pasar nampak harus bersiap menghadapi situasi terburuk.
Mahal
Hal lainnya yang dapat membuat bursa saham AS dapat terkoreksi dalam dan dalam jangka waktu yang panjang adalah valuasinya yang sudah mahal. Mengutip Reuters, saat ini price-to-earnings ratio (PER) dari indeks S&P 500 adalah 23,01x, lebih tinggi dari PER indeks saham negara negara maju lainnya seperti FTSE 100-Inggris (13,28x), DAX-Jerman (14,39x), Hang Seng-Hong Kong (13,5x), Strait Times-Singapura (11,95x), dan Kospi-Korea Selatan (12,1x).
Jika bursa saham AS tertekan dalam waktu yang lama, maka kemungkinan besar bursa saham dunia akan ikut tertekan, mengingat besarnya pengaruh bursa saham AS terhadap bursa saham dunia.
(hps) Next Article Saat Bos The Fed Minta Kongres Selamatkan Warga yang Kena PHK
Most Popular