Apa Alasan Lippo Melepas Sebagian Kepemilikan Meikarta?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 February 2018 15:48
Proyek tersebut dimiliki oleh PT Mahkota Sentosa Utama yang sepenuhnya merupakan anak usaha dari LPCK. LPKR sendiri menguasai saham LPCK hingga 54%.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Megaproyek Meikarta merupakan proyek andalan dua perusahaan properti milik grup Lippo, yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK). Proyek tersebut dimiliki oleh PT Mahkota Sentosa Utama yang sepenuhnya merupakan anak usaha dari LPCK. LPKR sendiri menguasai saham LPCK hingga 54%.

Tak tanggung-tanggung, nilai investasi yang diperlukan untuk mengembangkan kawasan hunian di Cikarang, Jawa Barat ini mencapai Rp 278 triliun. Lippo pun bergerak cepat dalam memasarkan proyek barunya tersebut.

Pada 2017 misalnya, tidak kurang dari Rp 1,5 triliun digelontorkan hanya untuk belanja iklan. Tak heran jika iklan Meikarta sering kali kita lihat pada media-media.

Sampai dengan akhir kuartal III-2017, proyek yang baru diluncurkan pada Mei 2017 lalu telah mengantongi pendapatan prapenjualan (marketing sales) senilai Rp 4,9 triliun.

Namun, pada akhir Januari lalu perusahaan mengungkapkan PT Mahkota Sentosa Utama LPCK telah menerima pembayaran senilai Rp 2,5 triliun dari investor eksternal sebagai uang muka untuk pembelian saham.

Total uang yang akan dibayarkan oleh investor eksternal tersebut mencapai Rp 4 triliun. Setelah penjualan saham selesai dilakukan, kepemilikan Lippo dalam proyek Meikarta akan turun menjadi sekitar 27%, dari yang sebelumnya 54%.

Aksi korporasi tersebut lantas memaksa Fitch Ratings untuk menurunkan peringkat jangka Panjang perusahaan. Minggu lalu, Fitch menurunkan peringkat jangka panjang perusahaan menjadi B+, dari yang sebelumnya BB-.

Sudah Direncanakan

Seperti sudah disebutkan di atas, kebutuhan pembiayaan untuk Meikarta mencapai Rp 278 triliun, Masalahnya, LPKR dan LPCK sebagai pemilik proyek tidak memiliki dana sebanyak itu. Per akhir kuartal 3 tahun lalu, total aset LPKR adalah sebesar Rp 52,4 triliun, sementara untuk LPCK hanya sebesar Rp 9,5 triliun. Jika ingin menarik utang pun, tidak mungkin nilainya mencapai ratusan triliun melebihi nilai aset.

Oleh karena itu, pada tahun lalu perusahaan sempat mengungkapkan bahwa hanya sebesar 35% pembiayaan yang akan berasal dari kas internal Lippo, sementara sisanya sebanyak 65% akan ditawarkan kepada investor dan mitra kerja Lippo. Walaupun tidak disebutkan secara gamblang, namun jelas bahwa ditawarkannya proyek tersebut kepada investor berarti Lippo akan melepas kepemilikan dalam proyek tersebut.

Mitigasi Risiko

Katakanlah Lippo memiliki uang yang menganggur senilai Rp 287 triliun untuk menggarap Meikarta seorang diri. Kemungkinan besar, langkah divestasi tetap akan diambil oleh perusahaan. Pasalnya, risiko yang terdapat dalam proyek ini sangatlah besar. Bukan dari sisi konstruksinya saja, dari sisi perizinan pun sampai saat ini belum ada kejelasan.

Sejak diluncurkan, tidak sedikit masyarakat yang mempertanyakan izin bagi Lippo untuk mengerjakan proyek tersebut. Bahkan, Republika.co.id menulis Lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik Ombudsman ikut mencecar perusahaan perihal hal perizinan. "Saat Lippo melakukan marketing sementara syarat belum diselesaikan seperti IMB, kenapa Lippo tidak bersabar menunggu itu?" tanya Komisioner Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih saat pertemuan di gedung Ombudsman, Jakarta, 8 September 2017 silam.

Dari keterangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang kepada Ombudsman, diketahui bahwa izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) Meikarta baru terdaftar sebesar 84,6 ha dari total 164 ha yang diajukan pihak pengembang. Tidak hanya IPPT, pengembang juga belum melengkapi izin lainnya seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis dampak lingkungan (Amdal).

Direktur Lippo Cikarang Ju Kian Salim pada saat itu nampak tak bisa menjawab secara pasti pertanyaan yang diajukan. Malahan, saat itu ia berdalih bahwa pembangunan Meikarta merupakan wujud dukungan kepada pemerintah guna menyelesaikan program sejuta rumah.

Melansir Kompas.com pada 8 September 2017, Bahkan, Direktur Informasi Publik Meikarta Danang Kemayan Jati pada kesempatan itu mengakui bahwa studi Amdal memang belum diterbitkan. Otomatis, IMB juga belum diterbitkan (IMB baru bisa diterbitkan jika studi Amdal sudah terbit).

Jadi, resiko dari pengembangan megaproyek ini memang terbilang besar, mulai dari tingginya nilai investasi, sampai proses perizinan yang masih menggantung.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(hps/hps) Next Article Dapat Suntikan Modal, Apa Kabar Proyek Meikarta?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular