Indonesia Mulai Seperti AS-Korea Selatan, Perubahan Drastis Muncul
Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan angka pernikahan tengah menjadi tren global. Data terbaru menunjukkan penurunan crude marriage rates atau angka perkawinan kasar, dihitung dari jumlah pasangan menikah per 1.000 penduduk, di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Polandia, Meksiko, dan Inggris.
Indonesia pun mengalami kecenderungan serupa. Jumlah pernikahan nasional tercatat turun dari 2,01 juta pada 2018 menjadi 1,47 juta pada 2024. Kondisi ini sejalan dengan perubahan pola hidup generasi muda.
Laporan Statistik Pemuda Indonesia 2023 mencatat, lebih dari setengah atau 68,29% penduduk muda berusia hingga 30 tahun berstatus lajang. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan 2014 yang masih berada di level 54,11%. Sebaliknya, proporsi pemuda yang telah menikah justru turun dari 44,45% pada 2014 menjadi 30,61% pada 2023.
Data tersebut mencerminkan adanya pergeseran nilai pernikahan di kalangan generasi muda Indonesia. Banyak anak muda kini cenderung menunda, bahkan merasa ragu, untuk menikah sebelum memasuki usia 30 tahun.
Pendidikan dan Karier jadi Prioritas
Salah satu faktor utama penundaan pernikahan adalah prioritas pada pendidikan dan karier. Data UNESCO tahun 2023 menunjukkan partisipasi pendidikan di berbagai jenjang meningkat signifikan dalam beberapa dekade terakhir, baik di negara maju maupun berkembang. Rata-rata lama sekolah juga terus bertambah.
Pendidikan dipandang sebagai fondasi penting untuk meraih karier yang mapan. Karena itu, banyak generasi muda menempatkan pencapaian pendidikan sebagai prasyarat sebelum menikah. Tak sedikit yang memilih melanjutkan studi pascasarjana, membangun usaha, atau mengejar posisi profesional tertentu, dengan anggapan langkah tersebut merupakan investasi jangka panjang demi stabilitas pribadi dan finansial.
Sejumlah studi juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan anak muda untuk menyelesaikan pendidikan dan memantapkan karier terlebih dahulu sebelum merencanakan pernikahan. Semakin tinggi kepercayaan diri seseorang dalam merancang masa depan kariernya, semakin kecil kemungkinan pernikahan ditempatkan sebagai prioritas utama.
Tantangan Ekonomi dan Stabilitas Finansial
Selain pertimbangan personal, tantangan ekonomi turut berperan besar. Sebuah riset terhadap 788 mahasiswa pada 2009 menunjukkan, sembilan dari sepuluh responden menilai stabilitas keuangan sebagai syarat penting bagi laki-laki sebelum menikah. Sementara pada perempuan, sekitar 78% responden juga menilai kesiapan finansial sebagai faktor pendukung penting dalam pernikahan.
Meski dilakukan lebih dari satu dekade lalu, pandangan tersebut dinilai masih relevan hingga kini. Keyakinan kemandirian finansial harus dicapai sebelum menikah dikenal sebagai financial barrier to marriage. Kenaikan biaya hidup, harga properti yang kian mahal, serta beban utang pendidikan menjadi alasan kuat kaum muda menunda pernikahan.
Bagi banyak anak muda, kondisi finansial yang mapan, meliputi pekerjaan tetap, penghasilan stabil, dan kepemilikan aset dasar, dipandang sebagai indikator utama kesiapan membangun keluarga.
Pernikahan: Pilihan Penuh Risiko
Makna pernikahan juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya dipandang sebagai institusi sakral dan kewajiban sosial, kini banyak kaum muda melihat pernikahan secara lebih pragmatis dan rasional. Pernikahan dinilai sebagai keputusan personal yang memiliki manfaat emosional dan sosial, namun juga sarat risiko.
Karena itu, banyak aspek dipertimbangkan sebelum menikah, mulai dari usia, kriteria pasangan, kesiapan karier dan mental, hingga pengetahuan. Kesamaan visi, misi, serta komunikasi dengan pasangan menjadi faktor penting, seiring keinginan untuk membangun hubungan yang setara dan bertanggung jawab.
Pengaruh Media Sosial
Pandangan generasi muda terhadap pernikahan juga dipengaruhi masifnya penggunaan media sosial. Beragam informasi, baik kisah sukses maupun pengalaman negatif, mudah diakses dan membentuk persepsi pernikahan bisa menjadi sesuatu yang menakutkan, fenomena yang kerap disebut sebagai "marriage is scary".
Di satu sisi, tekanan sosial dan budaya masih mendorong anak muda untuk segera menikah. Namun di sisi lain, keterbukaan informasi membuat mereka lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Peringatan Bagi Pemerintah
Tren ini menjadi peringatan dini bagi pemerintah terkait potensi perubahan demografi di Indonesia. Jika penurunan angka pernikahan berlanjut tanpa kebijakan yang tepat, dampaknya dapat merambah ke berbagai sektor, termasuk ekonomi, sosial, dan budaya, serta berpengaruh pada angka kelahiran dalam jangka panjang.
"Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi tantangan ini dengan melakukan investasi pada generasi muda, seperti meningkatkan kualitas pendidikan, menciptakan lapangan kerja yang layak, dan menyediakan hunian layak dengan harga terjangkau," demikian hasil penelitian dari Andhika Ajie Baskoro, Diah Puspita Sari, dan Evalina Franciska Hutasoit, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam tulisannya berjudul 'Marriage is Scary': Kenapa Makin Banyak Kaum Muda Menunda Menikah? yang ditayangkan The Conversation pada Rabu (24/12/2025).
(dce)