MARKET DATA

Orang Dayak Bisa Sembuhkan Penyakit Tanpa Medis, Ini Rahasianya

Fergi Nadira,  CNBC Indonesia
14 December 2025 19:30
Gadis Cantik hingga Tatto/Foto: (Ira Filanisa/d'traveler)
Foto: Gadis Cantik hingga Tatto/Foto: (Ira Filanisa/d'traveler)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah dominasi obat modern dan teknologi kesehatan, masyarakat Dayak Taboyan di pedalaman Kalimantan Tengah masih mengandalkan cara berbeda untuk menyembuhkan penyakit. Tanpa rumah sakit, tanpa alat medis canggih, mereka percaya pemulihan tubuh justru dimulai dari keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat, sistem pengobatan tradisional Dayak Taboyan hingga kini masih aktif digunakan, terutama di wilayah dengan akses kesehatan terbatas. Peran balian atau penyembuh tradisional tetap menjadi tumpuan utama masyarakat, baik untuk penyakit fisik maupun gangguan kejiwaan. Temuan ini dibahas para peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PR AK) BRIN dalam diskusi bertajuk Pengobatan Tradisional Masyarakat Dayak Taboyan Kalimantan Tengah beberapa waktu lalu.

Peneliti BRIN Setyo Boedi Oetomo menjelaskan, pengobatan tradisional Dayak Taboyan masih dijalankan berbasis kepercayaan lokal Kaharingan. Praktik ini hidup dan dipraktikkan di Desa Panaen, Kecamatan Teweh Baru, Kabupaten Barito Utara.

Wilayah tersebut, jelas ia, berada sekitar sembilan jam perjalanan darat dari Palangka Raya, melewati jalur Trans-Kalimantan yang sebagian rusak akibat aktivitas tambang dan perkebunan sawit. Kondisi geografis ini membuat akses terhadap fasilitas kesehatan modern sangat terbatas.

"Pengobatan tradisional di pedalaman masih sangat dibutuhkan karena keterbatasan fasilitas medis modern," ujar Boedi dikutip dari website resmi BRIN, Minggu (14/12/2025).

Ia menyebut rumah sakit terdekat berjarak ratusan kilometer, sehingga balian dan bidan kampung menjadi garda terdepan layanan kesehatan masyarakat. Menurut ia, tantangan perjalanan menuju lokasi penelitian, mulai dari jalan berlubang, jembatan kayu sederhana, risiko longsor, hingga potensi gangguan satwa liar.

Namun, penerimaan masyarakat yang terbuka membuat proses penelitian berjalan lancar. Agar diterima, tim peneliti menggunakan pendekatan partisipatif dengan melibatkan peneliti lokal sebagai mediator budaya.

Suku Dayak (Detikcom/Rahman Haryanto)Foto: Suku Dayak (Detikcom/Rahman Haryanto)
Suku Dayak (Detikcom/Rahman Haryanto)

Mereka tinggal di rumah tokoh adat dan mengikuti tata cara adat saat memasuki hutan, termasuk membawa sesajen kecil berupa paku, beras, dan uang logam sebagai simbol permisi kepada roh penjaga alam.

"Pendekatan ini penting agar masyarakat merasa dihormati dan bersedia berbagi pengetahuan tanpa curiga," jelas Boedi. Ia menegaskan riset ini bertujuan mendokumentasikan pengetahuan lokal, bukan mengeksploitasinya.

Prosesi Ritual Pengobatan

Sementara itu, peneliti BRIN Mustolehudin memaparkan prosesi ritual pengobatan Dayak Taboyan yang dipimpin balian bakawat. Dalam tradisi ini, balian bisa laki-laki (balian dawo) maupun perempuan (balian dadas).

Ritual pengobatan biasanya berlangsung selama tiga hari dua malam. Berbagai bahan lokal digunakan, seperti kelapa tua dan beras, serta sesaji berupa telur, janur, bunga, dan patung kecil dari adonan tepung beras yang disebut saradiri. Media ini dipercaya menjadi tempat pemindahan penyakit.

Prosesi ritual diiringi musik tradisional seperti kendang dan gong. Simbol-simbol adat, seperti tangga balian dan penegen ringin, melambangkan hubungan antara dunia manusia dan roh leluhur. Setelah ritual selesai, makanan persembahan seperti ayam rebus, lemang, dan kue tradisional dimakan bersama sebagai bentuk rasa syukur.

"Keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada keyakinan pasien," ujar Mustolehudin. Dalam kepercayaan Dayak Taboyan, penyembuhan terjadi ketika keseimbangan antara manusia dan roh telah dipulihkan.

Menariknya, dalam sejumlah mantra pengobatan ditemukan penggunaan idiom Islam seperti basmalah dan syahadat. Hal ini menunjukkan adanya praktik sinkretisme antara ajaran Islam dan kepercayaan Kaharingan, mencerminkan dinamika spiritual yang adaptif.

Peneliti lain, Joko Tri Haryanto bilang, kepercayaan terhadap roh dalam masyarakat Dayak Taboyan merupakan bagian dari sistem kosmologi yang hidup. Mereka mengenal tiga lapisan dunia, yaitu dunia atas (para dewa), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (roh jahat atau kunyang).

"Penyakit bukan hanya persoalan biologis, tetapi tanda rusaknya relasi manusia dengan alam dan roh penjaga," kata Joko. Dalam konteks ini, balian berperan sebagai mediator spiritual untuk memulihkan keseimbangan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Dayak Taboyan selalu meminta izin sebelum mengambil hasil hutan atau menebang pohon. Pelanggaran adat diyakini bisa menyebabkan penyakit yang disebut "kepohonan", yakni gangguan akibat murka roh penjaga alam.

Salah satu contohnya adalah kayu bajakah, tanaman yang kini dikenal luas karena khasiatnya sebagai antikanker. Menurut kepercayaan lokal, bajakah hanya berkhasiat jika diambil dengan izin dan niat baik. Tanpa itu, kayu tersebut dianggap tidak memiliki daya penyembuh.

Melalui riset ini, BRIN menegaskan pengobatan tradisional Dayak Taboyan bukan sekadar warisan budaya, melainkan sistem pengetahuan utuh yang menyatukan tubuh, jiwa, dan alam.

"Pengetahuan lokal seperti ini penting untuk dipahami, bukan diromantisasi atau dieksploitasi," tegas Joko. Tradisi penyembuhan Dayak Taboyan dinilai menyimpan pelajaran penting tentang keseimbangan hidup, penghormatan terhadap alam, dan makna kesehatan yang melampaui aspek medis semata, yakni spiritual.

(wur)
[Gambas:Video CNBC]


Most Popular
Features