25% Fresh Graduate Diprediksi Nganggur, Lapangan Pekerjaan Kian Langka

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
Jumat, 21/11/2025 10:45 WIB
Foto: REUTERS/Robert Galbraith/File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Fresh graduate atau lulusan baru kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Setelah melewati masa pandemi, gejolak politik, dan tekanan media sosial, kini mereka masuk ke pasar kerja yang disebut sebagai salah satu yang paling lesu dalam 10 tahun terakhir.

Data Federal Reserve AS menunjukkan jumlah lowongan kerja turun, sementara tingkat pengangguran lulusan baru mencapai 9,3 persen. Ini adalah level tertinggi di luar masa pandemi sejak 2014. Namun menurut Senator Mark Warner (Demokrat-Virginia), kondisi suram ini baru permulaan.

Warner mengingatkan, pengangguran di kalangan fresh graduate dapat melonjak hingga 25 persen dalam dua hingga tiga tahun ke depan, dipicu oleh percepatan penggunaan kecerdasan buatan (AI). Ia menyebut potensi dampaknya bisa menimbulkan disrupsi sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Kalau bagian awal dari jalur karier ini hilang, bagaimana generasi muda bisa mencapai posisi mid-career?" ujar Warner kepada CNBC International, dikutip dari Fortune.

Warner bilang, ia tengah mendorong program pelatihan ulang tenaga kerja. Menurutnya, perusahaan AI harus menanggung sebagian besar biayanya karena teknologi mereka berkontribusi menyebabkan gelombang disrupsi.

Ia juga menggandeng Senator Josh Hawley (Republikan-Missouri) untuk mengajukan rancangan undang-undang yang mewajibkan perusahaan besar dan lembaga federal melaporkan setiap dampak AI pada tenaga kerja, termasuk PHK dan perpindahan pekerjaan kepada Departemen Tenaga Kerja. Data ini nantinya akan dipublikasikan kepada publik dan Kongres.

"AI sudah menggantikan pekerja Amerika, dan para ahli memproyeksikan teknologi ini bisa mendorong pengangguran ke angka 10-20 persen dalam lima tahun," kata Hawley melalui pernyataan resmi. "Masyarakat berhak tahu apa yang terjadi, supaya AI melayani manusia, bukan sebaliknya," imbuhnya.

Warner menambahkan, AI memang akan menciptakan pekerjaan baru dalam jangka panjang, tetapi masa transisinya bisa menimbulkan rasa sakit ekonomi besar jika pemerintah tidak bergerak cepat. Kekhawatiran tidak hanya muncul untuk tingkat entry-level.

Senator Bernie Sanders (Demokrat-Vermont) merilis laporan bulan lalu yang memperkirakan otomatisasi berbasis teknologi, termasuk AI, bisa menghapus hampir 100 juta pekerjaan di AS.

Pekerjaan berupah rendah seperti layanan cepat saji, customer service, dan tenaga kasar dinilai paling rentan. Namun profesi kerah putih seperti akuntan, software engineer, hingga perawat juga disebut bisa terdampak signifikan.

"Ini bukan soal ekonomi saja," tulis Sanders dalam opini untuk Fox News. "Bekerja, apa pun profesinya mulai dari petugas kebersihan hingga ahli bedah otak adalah bagian dari identitas manusia. Orang ingin menjadi bagian produktif dari masyarakat. Apa yang terjadi ketika aspek penting itu hilang?"

Meski Kongres telah berkali-kali menggelar dengar pendapat terkait keamanan AI, Warner skeptis legislator akan mencapai kesepakatan besar dalam waktu dekat. Situasi diperumit oleh laporan bahwa pemerintahan Trump sedang mempertimbangkan perintah eksekutif untuk mencegah negara bagian membuat regulasi AI sendiri, sebuah langkah yang menurut Warner justru bisa melumpuhkan aksi pemerintah federal.

"Kalau tekanan dari negara bagian dihilangkan, Kongres tidak akan pernah bertindak," kata Warner kepada CNBC. "Kita lihat bagaimana kita gagal mengatur media sosial. Jika kita mengulang pola yang sama dalam AI tanpa pagar pembatas, kita akan menyesalinya."



(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Komdigi & Kupas Tuntas Roadmap AI Nasional Menuju Era Baru