Crazy Rich Jakarta Cebok Pakai Uang Kertas, Begini Akhir Hidupnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Hidup bergelimang harta tidak selalu membawa kebahagiaan. Begitulah kisah tragis Oei Tambah Sia, seorang taipan Batavia di abad ke-19 yang terkenal karena kesombongan dan gaya hidupnya yang kelewat batas. Dari mewarisi kekayaan besar dan kerap pamer hingga menyalahgunakannya untuk berjudi, pesta, dan perempuan, hidup Oei berakhir di ujung tali gantungan.
Tidak hanya itu, ia juga hobi menghamburkan uang dan cebok pakai uang kertas. Kekayaan hasil warisan membuat Oei terlena. Ia justru arogan dan sombong. Dari warisan pulsa, Oei sering main sabung ayam, berjudi, menghisap narkoba, dan menunjukkan sikap arogan.
Alwi Shahab dalam Oey Tambahsia, Playboy Betawi (2007) menjelaskan, salah satu sikap arogan tersebut terlihat saat dirinya buang hajat di pinggir kali. Semasa hidup, ia yang punya uang banyak sering cebok menggunakan uang kertas. Lalu, uang kertas itu diambil dan menjadi rebutan orang-orang miskin.
Selain itu, sikap arogan lain juga terlihat saat Oei berupaya memanfaatkan kekayaan untuk memiliki banyak wanita. Ia memang dikenal sebagai pria tampan dan fashionable. Praktis, mudah baginya untuk menggaet perempuan.
Achmad Sunjayadi dalam [Bukan] Tabu di Nusantara (2018) menceritakan, Oei tak puas dengan satu perempuan dan sering gonta-ganti perempuan yang cantik. Bahkan, ia punya bungalow khusus di kawasan Ancol sebagai tempat bersantai dengan para perempuan.
Biasanya ia mencari perempuan dengan menunggangi kuda sembari berkeliling kota. Jika tidak ketemu, maka ia meminta germo untuk mencarikan perempuan. Atau jika kepepet, maka ia mengambil paksa perempuan dari rumah.
Dengan sikap seperti itu, orang-orang hanya diam seribu kata. Sulit bagi mereka melawan orang punya uang dan kuasa. Alhasil, kelakuan Oei pun makin menjadi-jadi.
Dari deretan kelakuan nyeleneh pria kelahiran 1827 itu, pada akhirnya ada satu yang membuatnya tersandung. Kisah ini bermula saat dia mendekati perempuan berprofesi pesinden bernama, Mas Ajeng Gunjing.
Pertemuan Oei dengan Ajeng terjadi di Pekalongan saat menghadiri pesta pernikahan. Seperti yang sudah-sudah, ia mudah membawa Ajeng ke Jakarta untuk diajak bermesraan. Perempuan itu pun ditempatkan di bungalow miliknya.
Pada suatu waktu, Ajeng jatuh sakit dan dipindahkan ke rumah pribadi Tambah di Tangerang. Di sini, Ajeng dikunjungi saudara kandungnya, Mas Sutejo. Keduanya langsung akrab sebab masih sedarah. Namun, Oei tak mengerti dan melihat itu sembari dipanasi bara api cemburu.
Kemudian, Oei memerintahkan anak buahnya buat membunuh Sutejo. Maka, tewaslah pria Pekalongan itu. Untuk mengelabui, dia juga membunuh anak buahnya dan menuduh pesaingnya Liem Soe King sebagai tersangka.
Namun, akal bulus Oei tercium polisi yang sudah jengah atas tingkah lakunya sejak dahulu. Aparat tak percaya dan sukses mengumpulkan bukti hingga menyatakan bahwa Sutejo tewas di tangan Tambah. Dari sini, ia dibawa ke pengadilan.
Hakim memberi vonis hukuman mati. Akhirnya, pada 1851, ia dihukum gantung di depan Balai Kota (kini kawasan Kota Tua). Hukuman gantung itu disaksikan secara luas oleh warga Jakarta, sembari mengingatkan bahwa tak ada satupun orang yang bisa bertindak sewenang-wenang.
(M Fakhri/hsy)