
Pengusaha Kritik & Kecewa Ada UU Kepariwisataan Baru Gara-Gara Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menilai Undang-Undang Kepariwisataan yang baru disahkan DPR pada 2 Oktober 2025 belum sepenuhnya menempatkan pariwisata sebagai program prioritas dalam pembangunan ekonomi nasional. Padahal, sektor ini menjadi penggerak ekonomi daerah yang melibatkan jutaan pelaku UMKM dan rantai pasok yang luas, mulai dari transportasi, kuliner, hingga ekonomi kreatif.
GIPI menyebut kontribusi pariwisata terhadap devisa dan penyerapan tenaga kerja sangat signifikan. Namun, arah kebijakan pemerintah masih belum mencerminkan keseriusan menjadikan sektor ini sebagai penopang ekonomi nasional.
"Pariwisata berdampak langsung terhadap perekonomian di setiap daerah, seharusnya menjadi prioritas pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan hambatan-hambatan pengembangannya," ujar Ketua Umum DPP GIPI Hariyadi B.S. Sukamdani dalam konferensi yang digelar hybrid, Minggu (12/10/2025)
GIPI juga menyoroti lemahnya infrastruktur kelembagaan dalam promosi pariwisata Indonesia. Hingga kini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang belum memiliki Tourism Board sebagai lembaga promosi nasional yang independen dan berkelanjutan. Ia menyontohkan negara-negara seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan melalui Tourism Board masing-masing dengan dukungan kuat dari pemerintah.
"Komisi VII DPR RI sebelumnya sempat mengusulkan pembentukan Indonesia Tourism Board, namun usulan itu tidak muncul dalam Undang-Undang Kepariwisataan yang baru," kata Hariyadi.
Menurutnya, lembaga ini diyakini dapat menjadi mitra strategis pemerintah dan industri untuk memperkuat branding pariwisata Indonesia di pasar global serta mendorong promosi yang terintegrasi lintas kementerian dan daerah. Selain itu, GIPI menyampaikan kekecewaannya terhadap keputusan DPR dan pemerintah yang menghapus Bab XI tentang Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dari Undang-Undang Kepariwisataan. Penghapusan ini dinilai sebagai kemunduran besar dalam upaya memperkuat kolaborasi antara pelaku usaha dan pemerintah.
"Kami sangat kecewa karena penghapusan ini dilakukan tanpa pembahasan terbuka, padahal GIPI terbukti aktif berkontribusi dalam pengembangan pariwisata nasional," ujarnya.
Hariyadi menegaskan, keberadaan GIPI di dalam undang-undang sebelumnya berfungsi sebagai wadah koordinasi resmi pelaku industri pariwisata. Dengan dihapusnya ketentuan tersebut, kata ia, komunikasi dan sinergi antara sektor publik dan swasta dinilai akan semakin sulit dilakukan.
"Industri ini yang menggerakkan lapangan kerja dan investasi, tapi justru dikeluarkan dari kerangka hukum," katanya.
Selain isu kelembagaan, GIPI juga menyoroti lemahnya skema pendanaan sektor pariwisata. Selama ini, pendapatan pemerintah dari devisa, pajak, dan PNBP wisata belum dikembalikan secara proporsional untuk mendukung pengembangan industri.
"Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan dari pariwisata tanpa membantu industri mengembangkan pasarnya," kata ia.
GIPI mengusulkan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata, yang dapat menarik pungutan dari wisatawan mancanegara dan mengelolanya secara transparan untuk promosi dan pengembangan destinasi. Konsep ini disebut mirip dengan mekanisme yang digunakan di beberapa negara ASEAN, di mana pungutan wisatawan dikelola oleh lembaga promosi pariwisata nasional, bukan langsung masuk ke kas negara.
Namun, GIPI menyayangkan karena konsep BLU tersebut justru diambil alih pemerintah tanpa melibatkan industri. Dalam pasal 57A UU Kepariwisataan yang baru, pungutan wisatawan mancanegara diatur sebagai pendapatan pemerintah pusat, bukan untuk mendukung program industri.
"Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dan membuat pelaku usaha semakin sulit mendapatkan dukungan anggaran," ujar Hariyadi.
GIPI menilai revisi undang-undang yang seharusnya menjadi momentum penguatan sektor pariwisata justru menimbulkan kekecewaan di kalangan pelaku usaha. Selain itu, mekanisme pendanaan yang kaku dan tidak berpihak pada industri dinilai bisa menghambat pencapaian target 14 juta wisatawan mancanegara tahun ini.
"Kami berharap pemerintah tidak memandang industri pariwisata hanya sebagai sumber pajak dan devisa, tetapi sebagai mitra strategis dalam membangun ekonomi nasional," kata Hariyadi.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anak SD Usia 6 Tahun Dapat Tabungan Pensiun di Jerman
