Pekerja Waspada! WHO Wanti-Wanti Risiko Kesehatan Karena Cuaca Panas

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
Sabtu, 23/08/2025 18:20 WIB
Foto: REUTERS/Issei Kato

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahaya kesehatan yang ditimbulkan gelombang panas ekstrem bagi para pekerja di seluruh dunia. Peringatan ini datang seiring perubahan iklim yang membuat gelombang panas semakin sering terjadi dan berdampak pada kesehatan hingga produktivitas kerja.

Dalam laporan terbarunya, WHO menyebut jutaan pekerja kini terpapar risiko heat stress atau tekanan panas. Ini tidak hanya mengganggu kenyamanan tetapi juga berpotensi memicu masalah serius seperti stroke, gagal ginjal, hingga dehidrasi.


"Ini bukan sekadar rasa tidak nyaman, tetapi ancaman nyata bagi kesehatan. Bila tubuh terus terpapar suhu di atas 38 derajat Celsius, risikonya bisa sangat parah," kata Direktur Lingkungan, Iklim, dan Kesehatan WHO, Rüdiger Krech seperti dikutip dari BBC International, Sabtu (23/8/2025).

Laporan tersebut juga mengungkapkan, setiap kenaikan suhu 1 derajat Celsius di atas 20 derajat Celsius dapat menurunkan produktivitas pekerja sebesar 2%. Selain itu, risiko kecelakaan kerja juga meningkat, seperti saat gelombang panas 2023, misalnya, badan asuransi kecelakaan Swiss (Suva) mencatat lonjakan kecelakaan kerja sebesar 7% ketika suhu melewati 30 derajat Celsius.

Kondisi ini terjadi karena tubuh kesulitan beradaptasi, daya konsentrasi menurun, hingga kualitas tidur terganggu akibat suhu panas. Pekerja lapangan, terutama di sektor konstruksi dan pertanian, menjadi kelompok yang paling berisiko.

Beberapa negara Eropa sudah mengambil langkah adaptasi. Italia baru-baru ini mengeluarkan dekrit darurat yang memungkinkan pekerja berhenti bekerja pada jam-jam terpanas. Di Swiss, otoritas di wilayah Geneva dan Ticino sempat menghentikan proyek konstruksi selama gelombang panas 2023. Serikat pekerja terbesar di sana, Unia, menyebut langkah itu penting karena memaksa perusahaan konstruksi mengutamakan keselamatan dibanding target penyelesaian proyek.

"Di banyak lokasi, pekerja sudah tertekan karena keterlambatan proyek. Tapi bekerja di suhu tertentu jelas tidak bertanggung jawab," kata Nico Lutz dari Unia.

Dampak ke Sekolah Hingga Lansia

Meski fokus pada tempat kerja, WHO juga mengingatkan kelompok rentan lain seperti lansia, anak-anak, dan penderita penyakit kronis sangat berisiko saat gelombang panas. Sekolah pun perlu beradaptasi, semisal dengan sistem ventilasi lebih baik atau jam belajar fleksibel.

Di Jerman, sekolah bisa memberlakukan "Hitzefrei" atau pulang lebih awal saat suhu melewati 30 derajat Celsius. Namun kini, suhu setinggi itu semakin sering terjadi sehingga sekolah enggan sering meliburkan siswa. Ketua Asosiasi Guru Swiss, Dagmar Rösler, bahkan mendesak renovasi sekolah agar dilengkapi ventilasi hingga pendingin ruangan.

"Saya hanya ingin anak-anak bisa belajar dalam kondisi yang nyaman, dan guru bisa mengajar dalam situasi yang layak," katanya.

WHO pun menegaskan adaptasi harus melibatkan semua pihak seperti pemerintah, perusahaan, pekerja, lembaga kesehatan, hingga sekolah. Salah satu contohnya, menyesuaikan seragam sekolah agar lebih cocok dengan cuaca panas ekstrem.

Namun, Krech mengingatkan lagi adaptasi ini butuh investasi serius, sementara banyak pemerintah masih lebih fokus pada anggaran pertahanan.

"Kalau berpikir tidak ada uang untuk perubahan ini, pikir ulang. Karena bila produksi harus berhenti atau pekerja jatuh sakit akibat gelombang panas, kerugian produktivitas bisa jauh lebih mahal," ujar Krech.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Kecantikan Tumbuh Pesat, Kemasan Jadi Kunci Daya Tarik