Menkes BGS Blak-blakan Jurus RI Lepas dari Middle Income Trap
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bicara urgensi transformasi kesehatan jelang puncak bonus demografi Indonesia di tahun 2030. Transformasi itu urgen agar Indonesia tidak terjebak dalam kategori negara berpendapatan menengah.
Hal itu dipaparkan BGS, sapaan akrab Budi Gunadi Sadikin, dalam program Global Future Fellows 2023: "Advancing Southeast Asia's Predictive Healthcare" (GFF Healthcare 2023) oleh Pijar Foundation di Jakarta, Kamis (5/10/2023).
"Saya, dan kita, ini dikejar waktu. Pertama, masa kerja saya hanya 3 tahun 9 bulan. Kedua, Indonesia dikejar target 2030 di mana tahun itu puncak bonus demografi kita yang akan menentukan kemampuan kita melewati batasan dari negara berpendapatan menengah ke pendapatan tinggi," ujarnya.
"Jika periode ini terlewat, kita akan terus jadi negara menengah selamanya (middle income trap). Untuk memaksimalkan bonus demografi, kita butuh masyarakat yang pintar dan juga sehat. Karena itulah, kita harus kerja cepat dan melakukan banyak gebrakan," lanjutnya.
Perubahan terbesar, menurut BGS, adalah perubahan fundamental dari arah kegiatan Kementerian Kesehatan. Di mana, menurutnya, saat ini sekitar 80% waktu dan anggaran diarahkan untuk mengobati yang sakit, bukan mengupayakan masyarakat yang sehat.
Padahal, menjadikan masyarakat yang sehat harusnya jadi fokus utama karena lebih efektif dan lebih murah untuk kesejahteraan jangka panjang.
"Pendekatan ini yang sedang kami ubah. Salah satunya melalui transformasi digital. Pemerintah saat ini sedang mendorong rumah sakit dan fasilitas kesehatan (faskes) daerah untuk melakukan standardisasi dan digitalisasi rekam medis dan database hingga akhir tahun ini," kata BGS.
"Data yang terpusat dan dapat diakses dengan mudah akan mengubah wajah kesehatan Indonesia: pasien akan punya rekam jejak personal yang reliabel dan portabel, dan secara makro, kita bisa menggunakannya untuk prediksi penyakit dan pengobatan ke depannya. Di sisi lain, data seperti ini akan mendorong transparansi dan pemerataan harga layanan kesehatan," lanjutnya.
Untuk melakukan ini semua, BGS menekankan pentingnya kolaborasi multisektor dan multipihak, seperti saat dulu berbagai lapisan masyarakat gotong-royong mempercepat proses vaksinasi nasional.
Direktur Kebijakan Publik Pijar Foundation Cazadira F. Tamzil mengatakan bahwa belajar dari pandemi Covid-19, saat ini masalah kesehatan tak hanya fokus satu negara, melainkan lintas negara. Terlebih setelah Indonesia menjabat sebagai ketua ASEAN pada tahun 2023, kesehatan juga diangkat sebagai isu kritis untuk masa depan kita.
Seperti juga yang ditekankan dalam ASEAN Leaders' Declaration on One Health Initiative. Karena itu, menurut Cazadira, saatnya bagi para pihak untuk mengubah sistem kesehatan yang bersifat introspektif, kuratif, dan reaktif menjadi pendekatan yang lebih kolaboratif, prediktif, dan efektif secara regional.
"Meskipun tidak ada sistem perawatan kesehatan nasional yang sama, pandemi membuat negara-negara semakin menyadari bahwa tantangan kesehatan sangat kompleks dan memerlukan solusi inovatif dan kolaboratif melibatkan sektor publik, swasta, dan masyarakat," ujar Cazadira.
"Melalui GFF Healthcare ini saya percaya bahwa pada akhirnya, solusi kesehatan tidak hanya tentang obat-obatan atau perangkat medis, tetapi juga tentang berbagai regulasi pendukung, mekanisme distribusi, dan keterlibatan masyarakat," lanjutnya.
Untuk mendukung pemeriksaan kesehatan berbasis analisis prediktif dan pelayanan kesehatan preventif di ASEAN, GFF Healthcare 2023 memberikan sejumlah rekomendasi. Salah satunya adalah mengembangkan ekosistem riset dalam teknologi kesehatan berbasis AI dan mempermudah proses integrasi data lintas negara. Solusi ini menjadi dasar untuk mempercepat transformasi sistem kesehatan di Asia Tenggara.
(miq/miq)