CNBC Indonesia Research

Fenomena Konser Post-Pandemi, Haus Hiburan atau Cuma FOMO?

Tim Riset, CNBC Indonesia
18 November 2022 11:25
Penonton Allo Bank Festival 2022
Foto: Penggemar NCT Dream di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (20/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 sempat membuat berbagai aktivitas industri hiburan berhenti total. Ini dimulai sejak pemerintah memberlakukan aturan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) pada 15 Maret 2020 lalu, tak lama setelah kasus pertama Covid-19 ditemukan di Tanah Air. 

Tentu aturan PSBB tersebut memberi dampak besar terhadap hampir semua industri, termasuk industri kreatif. Salah satu subsektor kreatif yang paling terpukul adalah para pekerja seni yang kehilangan pekerjaan karena beberapa konser ataupun festival terpaksa ditunda hingga dibatalkan. 

Berikut daftar konser atau festival musik yang dibatalkan sepanjang 2020:

Nama KonserTanggal
Efek Rumah Kaca15 Maret 2020
Lalala Festival Lembang18-19 April 2020
Konser Raisa di GBK Senayan27 Juni 2020
We The Fest14-16 Agustus 2020
Synchronize Fest2-4 Oktober 2020
Prambanan Jazz31 Oktober - 1 November 2020

Dampak dari dibatalkannya konser atau festival musik juga menyebabkan banyak pekerja di industri musik kehilangan pendapatan. Melansir data Survei dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada periode 20 Maret-4 April 2020 terhadap 139 pekerja menunjukkan sub-sektor yang mengalami pembatalan kontrak kerja mulai dari pekerja film, video, dan audio visual, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi, dan desain komunikasi visual.

Sejatinya, ekosistem industri musik juga melibatkan berbagai pihak mulai dari para penampil di depan panggung, para pekerja pendukung, hingga para pekerja di industri terkait.

Sindikasi

Memasuki masa adaptasi, para penyelenggara pertunjukan musik berupaya menggelar pertunjukan melalui konsep virtual hingga konsep drive-in.

Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Emil Mahyudin menilai bahwa promotor masih kesulitan untuk menjalankan konser virtual. Melihat biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan live event, tapi keuntungan jauh berbeda karena jumlah penonton sedikit.

Pendapatan dari promotor hanya didapatkan dari sponsor dan sedikit dari penjualan tiket. Ketidakseimbangan ini juga makin terasa berat karena promotor tetap harus membayar musisi dengan tarif yang cukup mahal, dan tidak sebanding dengan pendapatan dan biaya yang dikeluarkan.

Seiring dengan membaiknya kasus Covid-19 di dalam negeri pada tahun ini, pemerintah akhirnya memberikan ijin penyelenggaraan event musik secara offline.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pada Maret lalu juga menegaskan bahwa konser musik kembali diperbolehkan dengan sejumlah syarat. Salah satunya, penonton harus menjalani vaksinasi lengkap atau booster serta menerapkan protokol kesehatan.

Animo masyarakat untuk menikmati hiburan sangat besar, mengingat selama dua tahun terakhir konser musik tidak diadakan secara langsung. Hal tersebut tercermin dari pembelian tiket konser musik yang ludes dalam sekejap.

Salah satunya yakni konser NCT 127 yang digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD. Saat penjualan tiket dibuka, hanya dalam waktu beberapa menit saja tiket terjual habis. Tiket konser artis papan atas lainnya seperti Justin Bieber dan Westlife juga ludes dalam waktu singkat.

Menariknya, tidak hanya konser musik dari musisi mancanegara saja yang diburu. Melainkan beberapa konser musik dalam negeri juga menjadi target pemburuan.

Hal serupa terjadi pada penjualan tiket konser musik tunggal Sheila on 7. Diketahui penjualan tiket konser terjual habis dalam hitungan 30 menit saja. Padahal, konser tersebut masih akan digelar tahun depan.

Fenomena anomali juga terjadi di sejumlah konser musik yang melebihi kapasitas. Teranyar, festival musik "Berdendang Bergoyang" terpaksa harus dihentikan karena jumlah penonton yang melebihi kapasitas, membuat penonton harus berdesak-desakan di kerumunan. Festival musik yang digelar di Istora Senayan hanya mampu menampung 10.000 orang, tapi nyatanya kapasitas penonton membludak hingga 21.000 penonton. Sehingga, konser pun terpaksa dihentikan karena tidak kondusif.

Tidak hanya konser musik, animo masyarakat juga besar terhadap acara seperti meet and greet bintang K-Pop, Sehun EXO yang juga terpaksa dibubarkan karena jumlah pengunjung melebihi kapasitas. Guna menjaga keamanan, acara tersebut pun akhirnya dipersingkat hingga menjadi 10 menit saja.

Minat terhadap konten hiburan Korea memang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Fenomena tersebut kerap disebut dengan 'Korean Wave" atau Hallyu. Menurut Korean Foundation for International Culture Exchange (KOFICE) pada 2021 Indonesia menjadi negara ke-4 tertinggi di dunia yang paling tertarik dengan konten hiburan Korea.

Laporan yang sama juga mengungkap bahwa satu dari dua orang di Indonesia menyukai hal-hal berbau Korea, mulai dari film, drama, musik, dan acara hiburan.

Hasil survei dari 924 responden yang dihimpun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada April 2020 menunjukkan adanya kenaikan 3,3% pada jumlah penonton K-Drama di Indonesia sejak pandemi. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan lockdown disinyalir membuat masyarakat mencari alternatif hiburan di rumah, salah satunya dengan konten-konten berbau Korea. 

Karena itulah, kelompok ini kerap mendapat julukan "fans K-Pop atau K-drama jalur pandemi." 

Lantas, bagaimana pendapat ahli mengenai fenomena ini?

Yuswohady, Managing Partner Inventure sekaligus pengamat pemasaran menilai ada perubahan perilaku konsumen di masa transisi pasca pandemi. Perubahan perilaku ini menyebabkan pent-up demand atau permintaan yang melonjak terhadap sesuatu produk atau layanan yang terjadi karena sebelumnya permintaan anjlok.

Kondisi tersebut turut diperparah dengan adanya efek FOMO atau Fear of Missing Out.

Para concert goers memiliki persepsi bahwa mengikuti event di masa transisi pasca pandemi merupakan kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan atau disebut dengan "Limited Availability Effect".

Mereka tak ingin melewatkan kesempatan tersebut karena ada kemungkinan kegiatan sosial bakal kembali dibatasi. Ini mengingat tren kasus penyebaran Covid-19 di Indonesia yang kembali naik. Apalagi, dalam waktu dekat akan ada beberapa tanggal besar seperti Natal, Tahun Baru, hingga Tahun Baru Imlek yang berpotensi meningkatkan angka penyebaran Covid karena tingginya mobilitas masyarakat. Maka dari itu, potensi diberlakukannya PPKM di masa depan dapat terjadi kembali.

Melansir data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 November 2022, terdapat peningkatan kasus sebesar 97,3% selama dua minggu terakhir dengan kasus positif harian mencapai 7.893 kasus. 

"Bila melihat kecenderungannya, dalam satu minggu ini masih akan semakin naik. Bahkan menjelang liburan panjang, biasanya akan ada kenaikan yang terus menerus, walaupun pelan tapi naik terus," ujar Guru Besar Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. dr. Amin Soebandrio dalam gelar wicara daring BNPB, Rabu (16/11/2022).

Amin menyebutkan, peningkatan tersebut dipicu munculnya Covid-19 subvarian baru yang lebih cepat menular, yaitu Omicron XBB yang merupakan perpaduan antara subvarian BA.2.10.1 dan BA.2.75.

Dari sisi psikologi, manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi untuk bertahan hidup. Namun, ketika pandemi terjadi, kita terpaksa menekan insting tersebut.

Sehingga, ketika kegiatan mulai menggeliat, terjadi permintaan yang membludak.

Fenomena anomali tersebut juga didorong oleh beberapa faktor meliputi perkembangan kepribadian individual, emosional, kepribadian, sosial, dan kebutuhan.

"Sebaiknya dari sisi penyelenggara punya kesiapan yang baik karena konsumen masih berada dalam special case yakni peralihan dari masa pandemi yang tidak pernah terjadi sebelumnya," tutur Regina Navira Pratiwi Ilmuan Psikologi Sosial, Empathinc Psychology Center kepada CNBC Indonesia (18/11).

Maka dari itu, sinergitas yang kuat baik dari pemerintah, para penyelenggara acara, pelaku industri kreatif, serta peran masyarakat sangat diperlukan pada masa peralihan pasca pandemi guna menciptakan kegiatan musik yang kondusif. Sehingga konser/festival musik yang sudah menggeliat di tahun ini tetap akan berjalan, tanpa menyebabkan kerugian terutama dari sisi kesehatan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular