CNBC Indonesia Research
Fenomena Konser Post-Pandemi, Haus Hiburan atau Cuma FOMO?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 sempat membuat berbagai aktivitas industri hiburan berhenti total. Ini dimulai sejak pemerintah memberlakukan aturan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) pada 15 Maret 2020 lalu, tak lama setelah kasus pertama Covid-19 ditemukan di Tanah Air.
Tentu aturan PSBB tersebut memberi dampak besar terhadap hampir semua industri, termasuk industri kreatif. Salah satu subsektor kreatif yang paling terpukul adalah para pekerja seni yang kehilangan pekerjaan karena beberapa konser ataupun festival terpaksa ditunda hingga dibatalkan.
Berikut daftar konser atau festival musik yang dibatalkan sepanjang 2020:
Nama Konser | Tanggal |
Efek Rumah Kaca | 15 Maret 2020 |
Lalala Festival Lembang | 18-19 April 2020 |
Konser Raisa di GBK Senayan | 27 Juni 2020 |
We The Fest | 14-16 Agustus 2020 |
Synchronize Fest | 2-4 Oktober 2020 |
Prambanan Jazz | 31 Oktober - 1 November 2020 |
Dampak dari dibatalkannya konser atau festival musik juga menyebabkan banyak pekerja di industri musik kehilangan pendapatan. Melansir data Survei dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada periode 20 Maret-4 April 2020 terhadap 139 pekerja menunjukkan sub-sektor yang mengalami pembatalan kontrak kerja mulai dari pekerja film, video, dan audio visual, seni pertunjukan, seni rupa, fotografi, dan desain komunikasi visual.
Sejatinya, ekosistem industri musik juga melibatkan berbagai pihak mulai dari para penampil di depan panggung, para pekerja pendukung, hingga para pekerja di industri terkait.
![]() |
Memasuki masa adaptasi, para penyelenggara pertunjukan musik berupaya menggelar pertunjukan melalui konsep virtual hingga konsep drive-in.
Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) Emil Mahyudin menilai bahwa promotor masih kesulitan untuk menjalankan konser virtual. Melihat biaya yang dikeluarkan hampir sama dengan live event, tapi keuntungan jauh berbeda karena jumlah penonton sedikit.
Pendapatan dari promotor hanya didapatkan dari sponsor dan sedikit dari penjualan tiket. Ketidakseimbangan ini juga makin terasa berat karena promotor tetap harus membayar musisi dengan tarif yang cukup mahal, dan tidak sebanding dengan pendapatan dan biaya yang dikeluarkan.
Seiring dengan membaiknya kasus Covid-19 di dalam negeri pada tahun ini, pemerintah akhirnya memberikan ijin penyelenggaraan event musik secara offline.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pada Maret lalu juga menegaskan bahwa konser musik kembali diperbolehkan dengan sejumlah syarat. Salah satunya, penonton harus menjalani vaksinasi lengkap atau booster serta menerapkan protokol kesehatan.
Animo masyarakat untuk menikmati hiburan sangat besar, mengingat selama dua tahun terakhir konser musik tidak diadakan secara langsung. Hal tersebut tercermin dari pembelian tiket konser musik yang ludes dalam sekejap.
Salah satunya yakni konser NCT 127 yang digelar di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD. Saat penjualan tiket dibuka, hanya dalam waktu beberapa menit saja tiket terjual habis. Tiket konser artis papan atas lainnya seperti Justin Bieber dan Westlife juga ludes dalam waktu singkat.
Menariknya, tidak hanya konser musik dari musisi mancanegara saja yang diburu. Melainkan beberapa konser musik dalam negeri juga menjadi target pemburuan.
Hal serupa terjadi pada penjualan tiket konser musik tunggal Sheila on 7. Diketahui penjualan tiket konser terjual habis dalam hitungan 30 menit saja. Padahal, konser tersebut masih akan digelar tahun depan.
Fenomena anomali juga terjadi di sejumlah konser musik yang melebihi kapasitas. Teranyar, festival musik "Berdendang Bergoyang" terpaksa harus dihentikan karena jumlah penonton yang melebihi kapasitas, membuat penonton harus berdesak-desakan di kerumunan. Festival musik yang digelar di Istora Senayan hanya mampu menampung 10.000 orang, tapi nyatanya kapasitas penonton membludak hingga 21.000 penonton. Sehingga, konser pun terpaksa dihentikan karena tidak kondusif.
Tidak hanya konser musik, animo masyarakat juga besar terhadap acara seperti meet and greet bintang K-Pop, Sehun EXO yang juga terpaksa dibubarkan karena jumlah pengunjung melebihi kapasitas. Guna menjaga keamanan, acara tersebut pun akhirnya dipersingkat hingga menjadi 10 menit saja.
Minat terhadap konten hiburan Korea memang berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Fenomena tersebut kerap disebut dengan 'Korean Wave" atau Hallyu. Menurut Korean Foundation for International Culture Exchange (KOFICE) pada 2021 Indonesia menjadi negara ke-4 tertinggi di dunia yang paling tertarik dengan konten hiburan Korea.
Laporan yang sama juga mengungkap bahwa satu dari dua orang di Indonesia menyukai hal-hal berbau Korea, mulai dari film, drama, musik, dan acara hiburan.
Hasil survei dari 924 responden yang dihimpun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada April 2020 menunjukkan adanya kenaikan 3,3% pada jumlah penonton K-Drama di Indonesia sejak pandemi. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan lockdown disinyalir membuat masyarakat mencari alternatif hiburan di rumah, salah satunya dengan konten-konten berbau Korea.
Karena itulah, kelompok ini kerap mendapat julukan "fans K-Pop atau K-drama jalur pandemi."
Lantas, bagaimana pendapat ahli mengenai fenomena ini?