Ngeri! Orang Eropa Kuno Ternyata Suka Makan Mumi Mesir

Linda Hasibuan, CNBC Indonesia
Kamis, 16/06/2022 19:28 WIB
Foto: Mumi Nesyamun (Leeds Teaching Hospitals/Leeds Museums and Galleries.)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mendengar kata kanibalisme mungkin bisa membuat Anda bergidik ngeri. Namun, siapa sangka kalau masyarakat Eropa kuno ternyata suka mengonsumsi mayat yang diawetkan alias mumi untuk penyembuhan penyakit. 

Mengutip Live Science, pada abad pertengahan hingga abad ke-19, orang Eropa punya keyakinan bahwa sisa-sisa mayat tubuh manusia yang dihaluskan dan diberi pewarna dapat menyembuhkan berbagai penyakit, mulai dari penyakit pes hingga sakit kepala. Keyakinan bahwa mumi bisa menyembuhkan penyakit telah mendorong bangsa Eropa selama berabad-abad menelan sesuatu yang rasanya tentu tidak enak. Nama obat itu disebut mumia.

Mumia sendiri merupakan produk yang dibuat dari tubuh mumi. Para apoteker menggunakan sisa-sisa mumi yang dibawa dari Mesir ke Eropa pada abad ke-12 untuk dibuat obat, kemudian dijual bebas di apotek.


Mulai dari orang kaya hingga miskin rajin membeli obat mumi karena dipercaya khasiatnya.

Ketika antibiotik belum ditemukan, para dokter bahkan meresepkan tengkorak, tulang, hingga daging yang dihaluskan untuk mengobati berbagai penyakit, mulai sakit kepala hingga mengurangi pembengkakan atau pemulihan wabah.

Namun, dari banyak orang yang yakin mumi bisa jadi obat, Guy de la Fontaine, seorang dokter kerajaan meragukan mumia adalah obat berkhasiat. Sebab, kata Fontaine, ada mumi palsu yang beredar, dibuat dari petani yang meninggal di Alexandria pada 1546. Dengan begitu, orang-orang berpotensi ditipu dengan memakan mumi palsu.

Akibat adanya pemalsuan ini, ditambah pasokan mumi Mesir kuno tak bisa mencukupi kebutuhan, orang-orang mulai bergeser untuk membeli daging dan darah segar (manusia yang baru meninggal) untuk dijadikan obat dan diklaim lebih berkhasiat. Klaim daging dan darah segar lebih berkhasiat ini bahkan diamini oleh sosok bangsawan paling dihormati kala itu.

Sementara, para ahli meyakini apoteker dan dukun masih meracik obat mumi hingga abad ke-18.

Raja Inggris Charles II, misalnya, berani mengonsumsi obat yang terbuat dari tengkorak manusia setelah menderita kejang. Obat dari tengkorak manusia ini digunakan hingga 1909, di mana dokter bisa meresepkannya bagi mereka yang mengalami gangguan kondisi neurologis.

Untuk keluarga kerajaan dan masyarakat dari kelas elit sosial, makan mumi tampaknya obat yang bergengsi karena dokter mengklaim mumi dibuat dari firaun.

Makan malam, minuman keras, dan pesta mayat

Pada abad ke-19, orang-orang tidak lagi mengonsumsi mumi untuk menyembuhkan penyakit, tetapi orang-orang Victoria mengadakan pesta terbuka yang lebih menantang.

Mereka mengadakan sebuah pesta yang dikhususkan untuk membuka sisa-sisa Mesir kuno. Di pesta itu, tuan rumah akan menghibur para tamunya dengan membuka bungkus mumi. Ketika perban terbuka, daging, dan tulang kering muncul, orang akan berbondong-bondong mendekatinya dan melihatnya. Ini menciptakan hiburan tersendiri, pesta bersama mumi sambil minum-minuman keras. 

Pesta membuka mumi berakhir pada abad ke-20. Sensasi mengerikan tampaknya telah memberikan kesan tak lazim dan dinilai menghancurkan peninggalan arkeologis.

Mumi modern

Pada tahun 2016, Egyptologist John J. Johnston menjadi tuan rumah pembukaan mumi publik pertama sejak 1908. Sebagian seni, sebagian sains, dan sebagian pertunjukan, Johnston menciptakan rekreasi tentang bagaimana rasanya hadir di sebuah Pembukaan Mumi di periode Victoria.

Saat ini, pasar gelap penyelundupan barang antik, termasuk mumi, bernilai sekitar US$3 miliar

Tidak ada dokter yang menyarankan untuk memakannya. Tapi iming-iming bahwa mumi bisa menyembuhkan penyakit tetap beredar. Mumi masih diburu untuk dijual, dieksploitasi, dan menjadi komoditas bernilai fantastis. 


(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Kisah Marshel Widianto, Dulu Susah Kini Hidup Ala Rich People